Mongabay.co.id

Gugus Tugas Bersama EUDR Tertutup? Berikut Masukan Koalisi Masyarakat Sipil

 

 

 

 

 

Uni Eropa punya UU Anti Deforestasi untuk produk-produk yang masuk ke negara itu seperti sawit, karet, kedelai, daging, kopi, cokelat dan produk turunannya. Respon keberatan datang dari negara produsen sawit dunia, Indonesia dan Malaysia. Akhirnya,  Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa membentuk gugus tugas bersama ad hoc (ad hoc joint task force) on European Union Deforestation Regulation (EUDR) guna menjembatani berbagai hal terkait implementasi aturan itu.

Koalisi masyarakat sipil menyambut baik  inisiatif pembentukan gugus tugas bersama ini. Sayangnya, pertemuan 4 Agustus lalu tertutup padahal salah satu tujuan pembentukan Gugus Tugas Bersama EUDR itu untuk penguatan transparansi. Koalisi pun berkirim surat lain berisi berbagai rekomendasi untuk gugus tugas bersama ini.

Informasi dari laman Kementerian Koordinator  Bidang Perekonomian menyebutkan, pada pertemuan yang difasilitasi Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) 4 Agustus lalu menyepakati kerangka acuan mencakup isu-isu antara lain keterlibatan petani kecil dalam rantai pasok, skema sertifikasi nasional yang relevan, data ilmiah tentang deforestasi dan degradasi hutan.

Koalisi masyarakat sipil terdiri 44 unsur dari organisasi masyarakat sipil, serikat petani sawit mandiri dan buruh perkebunan sawit, organisasi masyarakat adat dan komunitas lokal, perempuan dan pemuda. Mereka mewakili pemangku kepentingan yang akan terdampak dari penerapan EUDR.

Sebelum pertemuan, 44 organisasi sipil yang menamakan diri Koalisi Nasional untuk EUDR itu pernah bersurat agar dilibatkan tetapi tak ada respon. Koalisi kembali berkirim surat kepada Gugus Tugas Bersama EUDR, pada 6 Oktober lalu, belum juga ada tanggapan.

“Sebagai yang berpotensi terdampak, penting kami masuk. Agar semua kepentingan kami betul-betul bisa didengar antara petani mandiri maupun smallholders. Sayangnya,  tidak ada respons,” kata  Olvy Tumbelaka, Pengkampanye Kaoem Telapak dalam diskusi di Jakarta, 12 Oktober lalu.

 

Dokumen: Surat Koalisi kepada Gugus Tugas Bersama EUDR

Petani sawit mandiri di Sekadau. Mereka was-was kalau sampai aturan baru Uni Eropa berlaku, berimbas ke mereka. Niatan dalam proposal itu baik, agar produk-produk berkelanjutan. Untuk itu, perlu peran pemerintah dan para pihak agar memberikan perhatian dan pendampingan pada petani mandiri. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Sejatinya, JTF yang dibentuk Mei lalu ini memiliki agenda untuk penguatan dialog pada pertemuan 4 Agustus lalu membahas tema pokok ketelusuran rantai pasok (supply chain traceability) dan transparansi.

Namun, katanya, pertemuan justru tertutup dan tidak inklusif. Koalisi tak menemukan informasi cukup tersedia untuk publik yang dapat digunakan para pemangku kepentingan rentan terdampak.

Koalisi memandang,  perumusan kesepakatan tanpa pelibatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk kelompok rentan, bukan hanya menyalahi prinsip demokrasi dan hak asasi, juga mempengaruhi kualitas pencapaian tujuan JTF terkait pelaksanaan EUDR ini.

Surat koalisi tujukan pada Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Perekonomian di Indonesia, Delegasi Uni Eropa, dan Kementerian Malaysia, bidang perkebunan dan komoditas.

Koalisi, kata Olvy, menginginkan pertemuan berikutnya tidak hanya antar pemerintah, juga melibatkan multi pihak, termasuk masyarakat adat dan petani mandiri.

Menurut rencana, pertemuan kedua akan dilakukan di Malaysia sebelum akhir Desember tahun ini. “Kami harap surat kami ditindaklanjuti karena kami juga memberikan pernyataan sikap,” kata Olvy.

Dalam pernyataan sikap itu, koalisi memberikan beberapa masukan agar tujuan JTF bisa tercapai. Usul ini,  meliputi empat prinsip, yaitu,  transparansi, representasi, partisipasi dan inklusivitas, serta akuntabilitas.

Mengenai transparansi, koalisi menilai perlu ada nplatform media khusus yang dapat menampilkan semua informasi terkait yang dapat diakses publik. Selain itu, penting juga ada pelaporan tertulis secara periok yang dapat diakses di platform media khusus itu.

“Kami harap ada laporan periodik, per enam bulan, misal. Kami ingin ada proses yang bisa diketahui publik,” katanya.

 

Baca juga: Uji Tuntas Uni Eropa, Momentum Perbaiki Tata Kelola dan Perhatikan Petani Swadaya

Tutupan hutan di Pulau Mendol, yang masuk izin PT TUM. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Koalisi juga menilai penting setiap informasi yang hadir tersaji dengan bahasa mudah dimengerti tanpa menggunakan terminologi rumit sulit dimengerti pihak yang paling terdampak, seperti, petani kecil swadaya, buruh perkebunan, masyarakat adat, maupun komunitas lokal. JTF juga dinilai perlu memiliki sekretariat tetap di Indonesia.

Aspek transparansi yang lain terkait keterlibatan semua pihak dalam setiap pengambilan keputusan. “Sebisa mungkin harus berdasarkan konsensus bersama,” kata Olvy.

Dalam aspek representasi, koalisi mengusulkan agar perwakilan yang akan dilibatkan dalam JTF tidak ditunjuk sepihak oleh pemerintah. Keterlibatan pihak yang akan terdampak penting, katanya,  untuk memastikan partisipasi penuh dan bermakna seluruh pemangku kepentingan terwujud.

Untuk aspek partisipasi dan inklusivitas, usul koalisi agar JTF melibatkan kepentingan semua pihak yang menerima manfaat dan terkena dampak EUDR. Perempuan pun, katanya,  jadi pihak yang perlu diakomodir dan mendapat peran respresentatif.

Untuk akuntabilitas, sebut koalisi, proses pengambilan keputusan dalam JTF secara partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Meknisme komplain atau pengaduan pun penting JTF sediakan untuk memfasilitasi keluhan berdasarkan temuan lapangan.

Koalisi juga menyasar pengadaan peta jalan dan indikator yang jelas secara terukur. Penyusunan peta jalan ini pun penting lewat konsultasi publik tak terbatas hanya pada perwakilan pemangku kepentingan dalam gugus tugas.

Sri Palupi, peneliti Ecosoc  Institute kembali menekankan perlunya keterlibatan semua pihak untuk memastikan JTF melibatkan petani dan masyarakat adat di tingkat tapak.

“Bagaimana mau atasi hambatan yang dikatakan Pemerintah Indonesia soal ini (EUDR) bisa berdampak pada smallholders kalau di JTF saja tidak melibatkan pihak yang terdampak?” katanya.

Secara logis, meminimalisasi dampak pada petani seharusnya mulai dengan memastikan petani-petani itu terlibat dalam setiap diskusi terkait implementasi EUDR. Dengan demikian, katanya, petani dan masyarakat adat berisiko terdampak pun bisa memberikan perspektif mereka.

“Solusi dari hambatan yang dialami para petani swadaya ini bisanya muncul dari mereka sendiri,” kata Palupi.

Dari pendamping petani menyampaikan kalau dampak EUDR sudah terjadi. Sendy De Soysa,  Program Officer Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) menyebut,  sudah ada pembeli yang menerapkan EUDR yang membuat dukungan kepada petani melalui pemberian kredit pendanaan untuk perbaikan tata kelola.

Buyer-nya kebetulan dari Norwegia. Dia bilang ada EUDR membuat support kepada petani dalam bentuk fund tidak lagi bisa dilakukan,” kata Sendy.

Padahal, pendanaan yang masuk ke rekening kelompok tani  itu biasa dimanfaatkan kelompok tani untuk mendukung pertanian berkelanjutan mereka. Mulai dari audit sertifikasi, perbaikan jalan, budidaya perkebunan hingga perlindungan kawasan-kawasan dengan nilai konservasi tinggi di lahan mereka.

Belum jelas bagaimaan detail regulasi anti deforestasi Uni Eropa ini memengaruhi pembeli itu. Yang jelas, katanya, petani yang merasakan dampak langsung dari regulasi ini di lapangan.

“Kalau begini, bagaimana petani bisa terus mempertahankan nilai-nilai keberlanjutan mereka?”  Untuk tata kelola berkelanjutan, petani mesti mengalokasikan dana bukan gratis.

 

Baca juga: Kala Uni Eropa Sahkan UU Produk Bebas Deforestasi, Apa Artinya bagi Indonesia?

Kawasan hutan di Pulau Bangka yang terkotak-kotak oleh perkebunan sawit skala besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sarat bisnis?

Sementara Wahyu Perdana,  Juru Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut mengatakan,  JTF masih kental kepentingan bisnis ketimbang mengatasi persoalan di tingkat tapak. Hal ini terlihat dari perwakilan Indonesia dan Malaysia, serta CPOCP yang memfasilitasi pertemuan itu.

Pemerintah, katanya,  cenderung mengandalkan sektor bisnis dan mengutamakan mereka dalam pembahasan EUDR. Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia pun cenderung mengglorifikasi capaian Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam komunikasi publik terkait EUDR.

Padahal, katanya,  kalau lihat audit BPK 2019, dari 2.115 perkebunan sawit terdaftar, masih ada 83,6% belum penuhi syarat dan tesertifikasi ISPO.

Dari situ, tampak ketidakmampuan pemerintah memaksa sektor privat memenuhi standar dalam negeri. Dalam implementasi EUDR,   katanya, pemerintah harus bisa lakukan itu. Untuk itu, katanya,  penting memastikan keterlibatan berbagai elemen masyarakat.

“Minimal kalau tidak mau bicara dengan kami (organisasi masyarakat sipil), ajak bicara kelompok yang terdampaklah,” katanya.

Senada dikatakan Palupi. Dia menyebut EUDR seharusnya bisa jadi cara memperbaiki tata kelola sawit yang selama ini banyak  persoalan dari masalah lingkungan, sosial dan HAM. Kuncinya, ada pelibatan semua pihak dalam setiap perumusan kebijakan.

“Korporasi dan pemerintah sudah menyuarakan komitmen yang sama untuk kurangi deforestasi. Harusnya tidak ada resistensi terhadap EUDR.”

 

Baca juga: Menyoal Aturan Uji Tuntas Uni Eropa bagi Petani Sawit Mandiri

1. Anggota KUD Karya Mandiri tengah menghitung hasil panenan TBS, Senin 17 Oktober 2022. Foto: Jon Afrizal/Amirariau.com

*******

Exit mobile version