Mongabay.co.id

Kala Tata Kelola Karut Marut, Kajian Sebut Sektor Pertambangan Rawan Korupsi

 

 

 

 

 

 

 

Tata kelola pertambangan di Indonesia, karut marut.  Konsolidasi kepentingan antara pejabat negara, politisi dan pebisnis tambang menjadi risiko korupsi paling tinggi.   Kondisi makin rawan korupsi kala terjadi kebijakan sentralisasi perizinan di sektor pertambangan. Terutama,  pasca pemerintah dan DPR mengubah Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara serta bikin UU omnibus law atau UU tentang Cipta Kerja tiga tahun lalu.

Demikian antara lain benang merah laporan Transparency International Indonesia (TII  bertajuk “Penilaian Risiko Korupsi Perizinan & Pengawasan Usaha Pertambangan di Indonesia.” Laporan ini menggunakan pendekatan mining award corruption risk assesment (Marca) yang fokus kajian di Aceh, Kalimatan Timur, dan Sulawesi Tenggara selama Februari-Agustus 2023.

Kajian TII 2023 menemukan, setidaknya ada 16 risiko korupsi di sektor pertambangan, antara lain, enam risiko kontekstual dan 10 risiko kesenjangan & kerentanan.

Gita Ayu Atikah, peneliti TII mengatakan, secara ringkas, kajian ini menyimpulkan,  konsolidasi kepentingan antara pejabat negara, politisi dan pebisnis tambang (jaring patronase dan klientelisme) jadi risiko korupsi paling tinggi.

Dalam pendalaman studi di tiga lokasi itu, konsolidasi kepentingan ini menyebabkan tata kelola pertambangan kehilangan kapasitas untuk diuji secara akuntabel.  Juga,  bias pemisahan antara kepentingan publik dan korporasi oligarki (privat)–meski sumber daya alam mineral dan batubara yang diakses merupakan kepentingan publik.

Dalam situasi seperti ini, menurut studi TII, apapun pembenahan administrasi berujung pada kemudahan berusaha dan kepastian perizinan, tidak dapat berfungsi meredam risiko korupsi dari relasi jejaring oligark itu.

“Selain upaya serius menata ulang atau pembaharuan tata kelola izin pertambangan secara menyeluruh, penting dipikirkan terobosan kebijakan politik yang dapat memutus relasi jaring patronase dan oligarki korupsi yang mampu menyandera otoritas negara itu,” kata Gita, merujuk laporan dalam pelucuran laporan September lalu di Jakarta.

 

 

 

 

 

Kasus korupsi

Kasus-kasus korupsi di sektor pertambangan, terutama yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi temuan TII terkait korupsi. Ia beriringan dengan berbagai kelemahan regulasi dan upaya memastikan ketaatan dalam seluruh tahapan bisnis pertambangan.

Satu contoh, studi KPK 2010 menyatakan,  ada kekurangan bayar pajak dari perusahaan tambang batubara yang menambang emas hitam ini di kawasan hutan Rp15,9 triliun. Ia terjadi di tiga pulau besar: Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Juga diperkirakan, Rp28,5 triliun potensi penerimaan negara hilang dari pajak perusahaan batubara.

Pangkal masalah, menurut KPK,  persoalan administrasi dan sistem perizinan buruk, serta pemerintah lemah dalam mengawasi penerimaan negara.

KPK juga menghitung ada tunggakan penerimaan bukan pajak (PNBP) pertambangan batubara pada 2017 mencapai Rp25,5 triliun.

Kemudian, melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA), lembaga anti rasuah ini mendorong penataan izin usaha pertambangan dan memangkas IUP dari 4.877 pada 2014 jadi 2.631 pada 2018 se Indonesia.

Meski kemudian,  menurut catatan masyarakat sipil, terjadi pelemahan KPK melalui revisi UU KPK 2019.

Dalam catatan TII, lebih 2.000 izin usaha pertambangan dinyatakan dicabut Presiden Joko Widodo awal Januari 2022. Izin-izin itu disebut tak aktif selama bertahun-tahun dan menyebabkan peningkatan kesejahteraan rakyat dari pemanfaatan kekayaan alam tersandera.

Persoalan ketidaktaatan kewajiban dan ketidakpastian lahan, kata Gina,  sebetulnya jadi temuan berulang KPK dalam tata kelola pertambangan. Misal, temuan pelanggaran kewajiban keuangan di sektor pertambangan pada 2014.

Serupa temuan BPK pada 2021, termasuk tumpang tindih usaha dengan kawasan hutan yang bahkan subjek hukum tidak diketahui.

“Menyelesaikan berbagai persoalan warisan buruk tata kelola pertambangan yang berjalan sebelumnya bukan pekerjaan mudah.”

Laporan TII pada 2017  menggarisbawahi, eratnya kaitan persoalan tata kelola dengan risiko korupsi di sektor pertambangan. Terutama, katanya,  berkaitan dengan kerentanan proses perizinan dan praktik-praktik dalam pemberian izin.

Soal administrasi dan perizinan, kata Gina, bukan satu-satunya masalah tata kelola pertambangan. Yang jadi pelik,  justru keterkaitan kroni politik, konflik kepentingan kelompok elit, dan perdagangan yang sistematis.

 

 

Tambang batubara di Kalimantan, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Pengawasan lemah

Studi TII menemukan, pasca revisi UU Minerba, Pemerintah Aceh menerbitkan 10 izin usaha pertambangan. Izin itu antara lain, diterbitkan untuk Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh, yang pernah terjerat tindak pidana korupsi. Penerbitan izin ini justru berbekal otonomi khusus, padahal aturan itu telah menghilangkan kewenangan pemerintah daerah.

Pada rentang 2020-2022, ada tujuh izin terbit oleh Pemerintah Kalimatan Timur dan Sulawesi Tenggara.

TII menemukan fakta ada pemilik manfaat yang mengendalikan tiga perusahaan dengan tiga IUP untuk komoditas batubara di Kalimatan Timur dan Aceh. Banyak juga usaha pertambangan berjalan ilegal.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimatan Timur, menyebutkan, setidaknya ada 168 titik tambang ilegal di Kalimatan Timur sejak 2018-2022.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, pada 2023 ini setidaknya lebih 2.000 izin tambang ilegal, yang hasilkan nilai peredaran ekonomi ilegal.

Publish What You Pay Indonesia pernah mencatat aliran keuangan gelap (illicit financial flow) dari sektor pertambangan setidaknya Rp23,9 triliun.

Sisi legalnya, pertambangan berkontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 dikutip TII, sekitar 9% produk domestik bruto (PDB) dari sector tambang dan mempekerjakan lebih 95.000 orang.

Dalam catatan Lembaga  Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP) diolah Fitria 2020, menyebutkan, PNBP minerba mencapai Rp34 triliun.

Namun, kata studi TII, tambang ilegal atau legal seringkali tak banyak beda ketika prinsip-prinsip melindungi lingkungan atau partisipasi publik yang jadi kewajiban pelaku usaha banyak dilanggar.

“Keuntungan ekonomi tambang yang demikian tinggi juga tidak menyertakan beban bagi publik luas yang harus mensubsidi dampak usaha tambang dalam bentuk kerusakan lingkungan dan perampasan hak,” kata Gita.

Dari aspek pengawasan, ada kewajiban pengawasan berkala dan penyampaian laporan hasil kepada publik.

Namun, desentralisasi kewenangan tak dibarengi kapasitas fiskal, kelembagaan, dan mahalnya politik elektoral di Indonesia jadi risiko kontekstual dalam korupsi pertambangan.

Dalam konteks pertambangan, upaya peningkatan pendapatan daerah mudah diterjemahkan sebagai penerbitan IUP sebanyak-banyaknya. Kondisi ini justru menyebabkan pemerintah daerah kehilangan kemampuan pengawasan dan pengendalian.

“Fakta keterbatasan dan lemahnya pengawasan terbukti atau ditunjukkan juga dengan minimnya persoalan tata kelola dalam usaha pertambangan maupun pelanggaran hukum yang terjadi,” sebut studi.

 

 

 

 

Sisi lain, lemahnya pengawasan dan tata kelola secara umum berulang kali disinyalir karena persoalan konflik kepentingan dan budaya klientelistik atau praktik patronase yang sudah dalam kondisi kritis di Indonesia.

“Proses penerbitan izin pertambangan rentan praktik konflik kepentingan, karena pejabat daerah dapat dipengaruhi hubungan pribadi atau politik dengan perusahaan pertambangan,” kata Danang Widoyoko, Sekretaris Jendral TII.

Kalau menarik kewenangan dari daerah ke pusat atau sebaliknya, katanya,  ada kepentingan besar, yaitu elit politik dan ekonomi sering tampak dalam wujud korupsi termasuk pemburuan rente.

Kondisi ini, katanya, bisa menyebabkan izin keluar untuk perusahaan dengan tak memenuhi syarat atau tidak memiliki perlindungan lingkungan dan sosial.

Selain itu, pergeseran kewenangan penerbitan izin ke pemerintah pusat, tak serta merta menyelesaikan persoalan benturan kepentingan. Hubungan erat antara pemerintah, politik, dan pebisnis industri pertambangan–bahkan kadang tumpang tindih, tak hanya terjadi dalam tingkat politik lokal.

 

 

Tepat satu tahun lalu, pada April 2020 kejadian serupa juga terjadi, 9 orang penambang tradisional tewas tertimbun material longsor di lubang tambang Talakiak, Nagari Ranah Pantai, Kecamatan Sangir Batang Hari berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi kejadian baru-baru ini. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Perbaikan tata kelola

Kemudahan perizinan dan sentralisasi kebijakan sektor pertambangan melalui UU Cipta Kerja dan UU Minerba tak serta merta menyelesaikan persoalan korupsi dalam tatak kelola pertambangan.

Sentralisasi perizinan tambang, katanya, justru membawa beban tata kelola usaha perizinan secara signifikan kepada pemerintah pusat, termasuk dalam pengawasan.

“Transisi kebijakan politik perizinan semacam ini kerap kali dimanfaatkan aparatus sebagai celah menerbitkan izin atau peningkatan status perizinan yang umumnya akan dipermudah,” ujar Gita.

Dari aspek publik, katanya, terjadi pelemahan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan. Sementara, secara normatif, hampir tak ada ruang bagi publik untuk keberatan terhadap kebijakan pertambangan yang terbit oleh pemerintah pusat.

Tingginya ketergantungan pelaku usaha pada peraturan pemerintah dan perizinan, katanya, sangat terkait politik dan pejabat politik. Kondisi ini, mendorong makin marak indikasi konflik kepentingan secara signifikan dalam tata kelola pertambangan di Indonesia.

Penolakan tambang oleh masyarakat maupun organisasi masyarakat sipil lebih banyak dipandang sebagai ancaman pembangunan ekonomi hingga masuk kategori pasal pidana karena merintangi usaha pertambangan.

Gita bilang, perubahan kebijakan ini tak diikuti pembentukan peraturan pelaksana spesifik yang menentukan prosedur penerbitan izin usaha pertambangan. Dalam banyak kasus, katanya, ketidakjelasan proses bisnis semacam ini akan makin memperbesar risiko korupsi.

“Misal, terkait waktu yang pasti dalam proses perizinan hingga aturan pembatasan kepemilikan izin,” kata Gita.

 

 

 

Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University mengatakan, dalam pertimbangan logika rasio manfaat dan biaya, sepanjang segala biaya transaksi yang harus dibayar bisa ditutup dengan keuntungan, berapa pun biaya transaksi tak akan dianggap sebagai masalah oleh para pelaku usaha pertambangan.

“Maka, dalam bisnis sumber daya alam seperti tambang dan hutan alam–yang keberadaannya langsung tersedia tanpa usaha manusia–keuntungan sambil membayar biaya transaksi itu yang menyebabkan mandeknya keberlanjutan,” kata Hariadi.

Dia berkata, perhitungan manfaat dan biaya itu membuat pelaku usaha pertambangan akan melakukan eksploitasi berlebihan serta memanipulasi produksi mineral dan batubara.

“Apalagi, para pelaku usaha pertambangan biasa tak reklamasi setelah selesai konsesi.”

Ketidaklestarian pengelolaan sumber daya alam buntut biaya transaksi tinggi itu, kata Hariadi, melahirkan kerusakan alam yang harus ditanggung bersama penduduk di bumi. Kerusakan alam, katanya,  menciptakan polusi hingga pelbagai bencana.

Untuk itu, kata Hariadi, pengelolaan sumber daya alam tak hanya berdasarkan perhitungan untung-rugi, karena merupakan barang publik.

Ketika barang publik, ada kepentingan publik. Kalau menyandera pengelolaan hanya pada seberapa untung usaha, katanya, akan melahirkan kerusakan dan bencana.

“Ujungnya, pengelolaan sumber daya alam tak lestari akan ciptakan ketimpangan dan ketidakadilan sosial.”

TII mendorong pemerintah lebih kuat mengambil langkah lebih signifikan terkait membangun tata kelola yang berintegritas di sektor pertambangan. Terutama, katanya, dalam memperluas ruang akuntabilitas publik, dengan tetap memilah dan memisahkan kepentingan publik dan privat.

 

Pesisir pantai terjadi endapan lumpur merah dari operasi tambang nikel PT Antam pada 2021. Tak hanya laut tercemar, mangrove pun terancam. Foto: dokumen warga

 

Yang juga krusial, memisahkan aturan benturan kepentingan dan rezim hukum yang kuat untuk mencegah dan merampas rente dari pertambangan ilegal.

TII pun rekomendasikan beberapa hal,  antara lain, pertama, revisi UU No.3/2020 tentang Pertambangan Minerba, dengan menghapus pasal kriminalisasi terhadap masyarakat. Juga, menjamin ruang keberatan, dan menyediakan mekanisme pengaduan andal untuk mencegah persoalan lingkungan, sosial, ekonomi dampak usaha pertambangan.

Lalu, menyediakan mekanisme transparansi dan partisipasi publik efektif untuk setiap permohonan kegiatan usaha baru. Kemudian, memastikan kriteria, standar dan informasi yang sama terkait tata kelola pertambangan berlaku juga pada pemerintah daerah yang memiliki otonomi khusus.

Kedua, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perlu memperkuat kerangka hukum dan integritas tata kelola dengan memasukkan nilai-nilai integritas dalam kaidah pertambangan yang baik. Misal, dengan mengadopsi sistem blacklist atau penolakan terhadap terpidana korupsi atau tindak pidana lain yang menyebabkan kerugian negara di sektor pertambangan.

Juga memastikan seluruh aturan turunan yang diperlukan dalam penetapan wilayah pertambangan, pemberian izin, dan pengawasan. Lalu, menyediakan prasyarat dan kapasitas institusional, juga verifikasi terhadap pemilik manfaat (beneficial owner), dan memperkuat sistem pengendaliannya.

Ketiga, bagi Badan Pemeriksa Keuangan dan Extractive Industries Transparency Initivative Indonesia  perlu audit penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara. Caranya, dengan menguji semua laporan produksi dan penerimaan negara yang dicantumkan dalam RKAB perusahaan.

“Terakhir, KPK mesti mendorong penguatan sistem pencegahan benturan kepentingan dalam tata kelola pertambangan, dengan evaluasi dan memperkuat kerangka hukum yang tersedia di KESDM.”

 

Warga Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, protes rencana kehadiran tambang emas di wilayah mereka. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

******

 

 

Exit mobile version