Mongabay.co.id

Potensi Resiko di Balik Regulasi Baru untuk Awak Kapal Perikanan

 

Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2023 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan dikhawatirkan akan berdampak buruk pada profesi awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja pada kapal perikanan di dalam dan luar negeri.

Walau peraturan tersebut diterbitkan untuk menjawab tantangan keterbukaan informasi dan rekrutmen pekerjaan di Indonesia, namun pada kenyataannya ada berbagai kekurangan yang bisa memicu munculnya beragam persoalan yang menimpa AKP.

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia membuat analisis khusus tentang penerbitan Perpres 57/2023 belum lama ini. Salah satu yang disorot, adalah kewenangan yang tumpang tindih karena sebelumnya sudah ada regulasi hampir serupa.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebut kalau 43 tahun lalu Indonesia sudah memiliki regulasi berupa Keputusan Presiden No 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan. Namun, kehadiran Keppres tersebut tidak memperbaiki kondisi para AKP.

“Hal ini menunjukkan bahwa Perpres 57/2023 sebenarnya bukan merupakan hal baru yang mewarnai sistem ketenagakerjaan di Indonesia,” ungkap dia.

Kehadiran Perpres 57/2023 sendiri diakui menjadi harapan baru bagi perbaikan tata kelola dan keterbukaan informasi rekrutmen AKP di Indonesia. Mengingat, selama 43 tahun Keppres 4/1980 berlaku, carut marut masih tetap saja ada dalam tata kelola rekrutmen dan penempatan kerja AKP.

baca : Belum Ada Kepastian Nasib Awak Kapal Perikanan di ASEAN

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tanpa ragu Moh Abdi Suhufan menyebut, situasi yang terjadi selama empat dekade lebih itu, membuat situasi tak kunjung membaik. Terlebih, setelah Pemerintah menerbitkan Perpres 57/2023, maka regulasi ketenagakerjaan bias buruh darat semakin bertambah panjang.

Dia menganalisis seperti itu, karena kehadiran Keppres 4 /1980 belum berhasil dijalankan dengan baik, sampai Perpres 57/2023 lahir. Di antara kelemahan itu, adalah karena Keppres 4/1980 tidak memiliki sistem pengawasan yang jelas untuk memantau pelaksanaannya di lapangan.

Kondisi itu mengakibatkan para pihak yang memberikan pekerjaan kepada AKP tidak melaporkan lowongan pekerjaan (loker) seperti yang tertuang dalam regulasi. Pun demikian, para penerima pekerjaan juga tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang loker yang tersedia.

Itu berarti, jika Perpres 57/2023 diterbitkan tanpa ada kepastian sistem pengawasan yang jelas dan diturunkan pada regulasi turunan seperti peraturan menteri, maka itu sama saja dengan mengulang kesalahan sebelumnya saat Keppres 4/1980 diterbitkan.

Selain permasalahan sistem pengawasan, Perpres 57/2023 juga menjadi regulasi terbaru di Indonesia yang bias terhadap buruh darat. Kesimpulan itu muncul, karena sistem yang diterapkan dalam pertukaran informasi pekerjaan, hanya menggunakan sistem digital berbasis internet.

Meski sistem digital menjadi simbol dari kemajuan teknologi, namun AKP pasti akan menilainya secara berbeda. Pasalnya, saat sedang bekerja di atas kapal perikanan selama berbulan-bulan di lautan, mereka akan menemui kesulitan ketika harus mengakses internet.

Tegasnya, informasi yang hanya didasarkan pada basis digital akan menjadi hal yang tidak mudah bagi AKP saat berada di lautan tanpa sinyal internet yang stabil. Hal itu membuat mereka akan kesulitan mengakses setiap peluang kerja dengan cepat.

“Itu berpotensi membuat mereka kehilangan kesempatan yang mungkin saja mereka minati,” terang dia.

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Persoalan berikutnya, Perpres 57/2023 tidak memberikan akses kepada para AKP untuk mendapatkan pembekalan kemampuan pekerjaan yang sudah sesuai standard. Padahal, kemampuan dengan standard menjadi penting, dan faktanya sebagian besar AKP Indonesia tidak memiliki prasyarat tersebut.

Moh Abdi Suhufan menjelaskan, walau ada sertifikasi kemampuan dasar, namun pada kenyataannya keduanya tidak mudah diakses oleh AKP. Sebabnya, karena sertifikasi kemampuan dasar itu memerlukan biaya yang sangat mahal.

Ada pun, sertifikasi yang dimaksud sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perikanan Nomor 33 tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, Dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.

Fakta tersebut membuat para AKP tidak memiliki kemampuan yang bersertifikat. Alhasil, saat mengerjakan tugas pekerjaan di atas kapal perikanan, mereka hanya mengandalkan kemampuan secara otodidak saja. Alias, mereka belajar secara manual ketika sudah menjadi AKP.

“Perpres 57/2023 memiliki penekanan kesempatan bekerja pada kemampuan yang dimiliki tanpa mempertimbangkan situasi AKP tersebut. Alhasil, Perpres 57/2023 sulit untuk diimplementasikan bagi AKP,” ungkap dia.

Berikutnya, kehadiran Perpres 57/2023 dinilai hanya akan berpotensi melanggengkan pelanggaran hak yang dimiliki AKP. Penilaian tersebut muncul, karena diperkirakan akan ada efek domino yang berpotensi berbanding terbalik dari tujuan kehadiran Perpres 57/2023.

Efek tersebut, tidak lain adalah akan semakin maraknya loker ilegal di sektor pekerja perikanan. Loker ilegal akan terus tumbuh subur, karena kebutuhan terhadap tenaga AKP masih sangat besar. Sementara, di saat yang sama kemampuan dasar formal AKP di Indonesia masih sangat terbatas.

Jadi, di samping Perpres 57/2023 sulit diimplementasikan karena berbagai alasan di atas, juga akan ada efek domino yang semakin mengancam karir para TKI sebagai AKP di atas kapal perikanan di dalam dan luar negeri.

baca juga : Tantangan Menyulap Kelemahan Jadi Kelebihan Awak Kapal Perikanan

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Agar kedua belah pihak, yakni pemberi dan pencari kerja bisa mendapatkan tenaga kerja dan pekerjaan, maka membuka loker secara ilegal akan terus menjadi pilihan yang tepat dan masuk akal. Jika harus mengikuti regulasi, peluang yang diharapkan tidak akan pernah terwujud.

Tanpa kemampuan formal, akan ada efek domino lainnya yang akan diterima oleh para AKP. Di antaranya, pemberi kerja berpotensi akan memberikan upah jauh lebih murah dari yang diterima AKP saat ini.

Saat Perpres 57/2023 sudah diterbitkan, Indonesia sedang menghadapi persoalan hak asasi manusia (HAM) dan ketenagakerjaan semakin sulit dibendung. Salah satunya, terjadi di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Muara Baru, DKI Jakarta.

 

Bentuk Pelanggaran

Peneliti DFW Indonesia Imam Trihatmadja memaparkan sejumlah temuan di salah satu pelabuhan ikan terbesar di Indonesia itu. Salah satunya, praktik pelanggaran hak tenaga kerja dari aspek perekrutan, proses kerja, hingga pasca- kerja.

Gambaran tersebut menjadi contoh bahwa Pemerintah masih abai dalam meratifikasi Konvensi ILO No 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Meskipun, secara rinci aturan tersebut telah menjelaskan hak-hak AKP tentang jam kerja, sistem pengupahan, dan kepemilikan atas sertifikat.

Konvensi ILO 188 adalah aturan internasional yang menjadi norma perlindungan bagi AKP, dibuat oleh Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) dan disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.

Selain gambaran di atas, PPS Nizam Zachman juga menjadi bukti bahwa Pemerintah Indonesia belum berhasil menerapkan Permen KP 33/2021. Indikasi itu terlihat karena belum adanya pengawasan atas kepemilikan sertifikat, informasi atas lapangan kerja di sektor perikanan, serta jaminan AKP mendapatkan sistem pengupahan yang adil.

“Apabila kondisi terus berlangsung, dapat dikatakan Pemerintah menormalisasi kondisi AKP perikanan yang tidak memiliki kepastian, baik secara finansial mau pun sosial,” ungkapnya.

baca juga : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?

 

Seorang nelayang sedang memperbaiki jaring ikan. Foto : shutterstock

 

Secara rinci, Peneliti DFW Indonesia Miftachul Choir memaparkan hasil temuan DFW Indonesia di PPS Nizam Zachman. Berikut detailnya:

  1. Proses rekrutmen masih diliputi calo manipulatif, memaksa, dan intimidatif;
  2. Pemilik dan kapten kapal menormalisasi AKP yang tidak memiliki sertifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan seperti Basic Safety Training (BST), serta minim pengawasan dari pihak Syahbandar pelabuhan;
  3. Komodifikasi atas perbekalan oleh kapten yang membuat AKP harus membayar perbekalan;
  4. Tidak adanya jam kerja dan jam istirahat yang adil;
  5. Tidak ada perincian dan transparansi atas sistem bagi hasil; dan
  6. Pemotongan gaji melalui kasbon akibat manipulasi dan intimidasi calo.

Atas temuan fakta tersebut, DFW Indonesia mendesak agar Pemerintah Indonesia, khususnya PPS Nizam Zachman bisa meningkatkan perlindungan terhadap AKP melalui:

  1. Perbaikan regulasi tata kelola AKP, yaitu revisi Permen KP 33/2021 dengan memuat ketentuan tentang sistem rekrutmen yang adil, sistem pengawasan AKP, dan kepastian status AKP sebagai pekerja dengan hak-hak normatif yang melekat;
  2. Melakukan inspeksi dan pemeriksaan atas kelengkapan sertifikasi dan kompetensi seperti Basic Safety Training (BST), Buku Pelaut, dan Perjanjian Kontrak Laut bagi setiap awak kapal perikanan yang akan berlayar;
  3. Menggabungkan dan membuat otoritas tunggal yang bertangung jawab untuk mengatur tata kelola, standar kompetensi dan sertifikasi, serta perlindungan AKP; dan
  4. Mempertimbangkan sistem pengupahan berbasis upah minimum provinsi di industri perikanan, dan mendorong pelaku usaha pekerja perikanan untuk transparan dalam menetapkan upah AKP.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno belum lama ini memberikan tanggapannya kenapa AKP Indonesia masih mengalami nasib yang tidak baik saat bekerja di atas kapal perikanan milik pelaku usaha negara lain.

Menurut dia, karena hingga sekarang belum ada aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) berkaitan dengan tata laksana rekrutmen dan penempatan AKP yang menjadi turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. “Itu semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya eksploitasi terhadap AKP Indonesia,” ucap dia.

Ketidakjelasan aturan di dalam negeri, juga dinilai akan bisa melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di level internasional. Kondisi tersebut bahkan akan semakin memburuk, jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum dilakukan diratifikasi.

 

Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PBN

 

Bagi dia, melakukan ratifikasi aturan internasional tak hanya bagus untuk kekuatan Indonesia di mata dunia. Namun juga, untuk memperkuat tata kelola AKP yang ada di regional Asia Tenggara, utamanya yang tergabung dengan perkumpulan negara ASEAN.

Mengingat, dari 11 negara anggota ASEAN, sampai sekarang tercatat baru Thailand yang sudah melakukan ratifikasi Konvensi ILO 188. Selebihnya, termasuk Indonesia, belum ada yang sukses melaksanakan ratifikasi.

Sekretaris Jenderal SBMI Anwar Ma’arif menjabarkan kalau ratifikasi K-188 menjadi langkah yang sangat penting untuk perlindungan buruh migran Indonesia, khususnya AKP. Dari 700 kasus yang sudah ditangani pihaknya, sebagian besar korban mengalami kerja paksa di atas kapal perikanan berbendera Cina, Taiwan, dan sejumlah negara Eropa lain.

Dia menyebut, dari 11 indikator kerja paksa versi ILO, lebih dari enam indikator sudah dialami para AKP Indonesia. Dari semua indikator itu, paling banyak adalah kasus dengan gaji ditahan, jam kerja panjang, penganiayaan, dan penyiksaan.

“Bahkan, banyak AKP yang mengalami kondisi paling buruk hingga meninggal dunia dan dilarung ke laut. Proses pelarungannya juga tidak sesuai standar internasional,” tuturnya.

 

 

Exit mobile version