Mongabay.co.id

Nelayan Was-was Lingkungan Rusak Kalau Ada Kawasan Industri di Pulau Rempang

 

 

 

 

 

 

 

Aktivitas warga di kampung-kampung, Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, kembali seperti biasa setelah ada penundaan pengosongan pulau, pada 28 September 2023. Pasukan polri dan TNI sudah ditarik mundur setelah sempat panas karena warga akan direlokasi untuk proyek Rempang Eco City.

Kawasan industri yang masuk ‘proyek strategis nasional’ dengan investor Xinyi Grup ini, antara lain akan bangun pabrik pemrosesan pasir silika, industri soda abu, industri kaca panel surya, industri kaca float, dan industri silicon industrial grade. Juga, industri presilicon, industri pemrosesan crystal, hingga industri cel dan modul surya dan lain-lain.

Pada awal Oktober lalu, masyarakat pulau yang dominan nelayan ini mulai kembali melaut. Mereka mulai menjalankan aktivitas seperti biasa. Beberapa dari mereka pada setiap sore hari naik ke darat sambil membawa berbagai jenis hewan laut hasil melaut hari itu.

Hasil laut mereka berbagai jenis ikan karang, gonggong, udang kipas, kepiting, rajungan dan lain-lain. Tangkapan ikan mereka jual ke Pulau Batam, untuk memasok restoran-restoran seafood besar di kota itu.

“Ini hasil dari pesisir laut di depan, semua masih segar dan hidup,” kata Adi Sembrangin, nelayan dari Pulau Mubut, Kelurahan Karang, Batam.

Pulau Mubut,  ini tepat berada di seberang Kampung Pasir Merah, Pulau Rempang. Jarak hanya sekitar 10 menit perjalanan dengan kapal nelayan.

Kampung Pasir Merah menjadi lokasi utama pembangunan kawasan industri oleh Xinyi Group dari Tiongkok. Karena mau ada perusahaan ini hingga pemerintah menggebu-gebu mengosongkan Rempang demi hilirisasi pasir kuarsa dan silika.

Meski kembali melaut, tetapi keceriaan Adi dan beberapa nelayan di sekitar perairan Pulau Rempang,  tidak lagi seperti dulu. Mereka mengaku masih was-was setelah diundang dalam konsultasi publik rencana pembuatan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) BP Batam, 30 September lalu.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Tunda Pengosongan, Warga Rempang Bertahan Tak Mau  Kehilangan Kampung

Nelayan menunjukan udang kipas dan ranjungan hasil melaut di Pesisir Pulau Rempang, Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia.

 

Dorman, nelayan lainnya mengatakan, setelah konsultasi amdal nelayan khawatir dampak yang akan ditimbulkan. Mereka baru menyadari proyek Rempang Eco-city antara lain, pembangunan pabrik kaca tak hanya mengambil ruang hidup masyarakat yang sudah ratusan tahun tinggal di darat. Juga akan merusak ekosistem laut nelayan sekitar.

“Jadi, disinilah proyeknya.  Ini sudah pasti laut kami di depan ini akan dikeruk, pesisir akan direklamasi untuk pelabuhan, tentu ini sangat mengganggu mata pencaharian kami,” kata Dorman,  sambil memperlihatkan peta rencana pembangunan pabrik kaca yang dia peroleh ketika konsultasi amdal itu.

Dia juga khawatir, pembangunan akan merusak terumbu karang di pesisir Kampung Sembulang. Padahal, katanya,  karang menjadi tempat ikan dan biota laut berkembang biak. “Otomatis dampak pasti kepada kondisi laut, karang rusak, ikan hilang, udang juga akan hilang,” kata pria 43 tahun itu.

Setidaknya,  di Pulau Mubut terdapat 130 keluarga, atau sekitar 400 jiwa. “Mayoritas kami ini melaut, jadi kami berharap pemerintah memperhatikan kami juga, kalau memang merusak, kami menolak pembangunan ini,” kata Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Sumber Daya Laut Perikanan Wilayah Perairan Pulau Mubut dan sekitar ini.

Sampai saat ini, kata Dorman, nelayan masih satu suara menolak pembangunan ini kalau tidak memperhatikan dampak kerusakan lingkungan yang akan timbul.

Nelayan di pesisir Pulau Rempang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya merupakan nelayan tradisional yang menangkap dengan alat tradisional. “Kami pakai bubu, jaring, menyelam kadang pancing,” kata Dorman.

Setiap sore hari nelayan memasang jaring. Pada esok harinya, jaring diangkat ke darat. “Dalam satu hari rata-rata nelayan bisa dapat Rp150.000-Rp200.000- lah,” katanya.

Semua hasil tangkapan nelayan itu dibongkar di Pelabuhan Pasir Merah Sembulang. Pelabuhan nelayan ini juga akan dibangun jadi besar untuk keperluan bongkar muat proyek pabrik kaca.

“Ketika Sembulang ini berubah menjadi pelabuhan, kami akan kehilangan arah, kemana kami akan mengirim barang kami,” katanya.

Sebagai Pokmaswas kawasan laut di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri, kata Dorman, di perairan Pulau Mubut, juga ada kawasan laut konservasi. Mereka pun khawatir, kalau kawasan konservasi terdampak.

Di perairan itu,  nelayan masih banyak menemukan satwa-satwa langka dilindungi seperti dugong, penyu dan lumba-lumba. “Kalau pesisir Sembulang dibangun, tentu kawasan perairan ini akan rusak, kami jadi risau, tugas kami menjaga kawasan konservasi ini.”

 

Baca juga: Kala Proyek Rempang Eco-city Melaju, Warga Menolak Berhadapan dengan Aparat

Rencana pembangunan Rempang Eco-city. Infografis :Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana amdal?

Setelah surat konsultasi publik amdal di Rempang tersebar, banyak pihak mengecam proyek Rempang Eco-city tidak beres. Masyarakat tempatan hendak direlokasi, tetapi amdal belum selesai.

Dalam rilis Walhi 2 Oktober 2023,  mereka menyatakan, seharusnya pemerintah fokus konsultasi amdal terlebih dahulu, tanpa harus meminta warga pindah.

“Pemerintah, seperti biasa hanya menyampaikan iming-iming lapangan pekerjaan, tapi tidak jujur menyampaikan berapa banyak mata pencaharian, sejarah, dan hal lain yang akan dihancurkan,” kata Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional.

Fesly Paranon,  Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, mengatakan, konsultasi publik soal amdal pada 30 September 2023 karena ini kewajiban BP Batam dalam melengkapi syarat pelepasan kawasan hutan. “Salah satunya, menyusun amdal. Makanya hari ini [30 Oktober] kita merekam semua usulan masyarakat, menyaring semua masukan, untuk jadi bahan kajian internal,” katanya.

Dari kajian amdal ini, katanya,  akan keluar strategi-strategi meminimalisir dampak lingkungan dari pembangunan itu. “Nanti masukan masyarakat kita kaji internal, supaya warga tidak terkena polusi dari pabrik kaca, kita menyusun strategi agar dampak berkurang, bahkan sampai tidak ada.”

Wahyudin, Pusat Unggulan Iptek Sumber Daya Pesisir yang masuk dalam tim penyusunan amdal mengatakan, dari konsultasi publik ditemukan ada beberapa risiko kerusakan lingkungan kalau ada pembangunan ini. Seperti gangguan biota perairan, penurunan pendapatan nelayan, dan lain-lain.

“Karena kita melihat akan dibuat pelabuhan, tentu untuk pesisir, nelayan akan resah gangguan itu, memberikan dampak, kami sudah masukan dampak-dampak yang ditakuti nelayan itu,” katanya.

Setelah semua masukan terkumpul, kata Wahyudin, akan kajian tersendiri dengan melihat seberapa besar dampak lingkungan dari pembangunan ini.

“Nelayan jangan khawatir, ini tidak akan membuat nelayan tidak bisa melaut, untuk menjadi nelayan tidak perlu tinggal laut, nanti tinggal di darat, tetapi tempat parkir kapal masih disediakan di pesisir. Itu lumrah di daerah lain,” katanya, coba mencari alasan.

Lewat amdal, katanya,  akan meminimalisir dampak walau dia sadar ekosistem laut akan rusak. Dia beralasan, semua itu bisa diganti dengan restorasi mangrove atau perbaikan ekosistem karang yang rusak.

 

 

Baca juga:Pulau Lepas ke Investor, Warga Rempang Tak Mau Relokasi

Seorang nelayan menepi dengan pemandangan pohon mangrove di Pasir Merah Sembulang, Kota Batam, Provinsi Kepri. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman tambang pasir

Boy Jerry Even Sembiring,  Direktur Eksekutif Walhi Riau tidak hanya mengkhawatirkan kerusakan ekosistem laut dampak pembangunan industri di pesisir. Tetapi beban baku kaca dan solar panel ini berasal dari tambang pasir kuarsa dan silika.

Menurut Even,  besar kemungkinan lokasi tambang-tambang untuk pemenuhan bahan baku pabrik ini akan diambil dari wilayah pesisir, laut dan pulau kecil di sekitar Rempang.

“Artinya pembangunan pabrik tidak hanya akan menggusur masyarakat melayu di Rempang, lebih jauh akan mengancam aktivitas nelayan di lokasi-lokasi yang akan ditambang,” katanya.

Boy mengatakan, tak hanya berdampak kepada lingkungan, proyek ini akan mendorong kepunahan Masyarakat Adat Melayu, memisahkan mereka dari tanah leluhur dengan cara penggusuran dan menghancurkan sumber kehidupan dari pesisir dan laut.

“Ini menurut kami, apabila dikaji lebih dalam masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, pengusiran paksa sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan dan genosida,” kata Boy, dihubungi Mongabay, awal Oktober lalu.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, proyek strategis nasional (PSN) ini seperti monster yang tidak bisa dihalangi sama apapun, termasuk oleh Undang-undang.

“Kami melihat PSN proyek genosida terhadap masyarakat adat dan hak tradisional mereka,” katanya kepada Mongabay.

Dia bilang, genosida kultural ini tidak tentang budaya seperti biasa, tetapi laut bagi masyarakat adat di Rempang adalah bagian wilayah kultural.

“Laut bagi mereka bukan soal menangkap ikan, tetapi itu wilayah kultural, wilayah hidup, dimasa mendatang, nasib mereka tidak tahu seperti apa,” katanya.

Masyarakat adat, katanya,  sering terabaikan karena bagi pemerintah uang segalanya. “Kalau ada janji akan dibangunkan kampung nelayan modern, bukan modern atau tidak, ini soal kehilangan ruang hidup, tanah, laut mereka yang dirampas. Yang jelas PSN proyek genosida kultural.”

Dalam rilis AMAN 18 September lalu  menyebutkan, selama hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kasus-kasus perampasan wilayah adat cukup meningkat seiring pelaksanaan PSN.

Atas nama investasi, pemerintah tidak ragu merampas, menggusur, dan melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat yang hidup ratusan tahun di atas wilayah adatnya.

AMAN mencatat,  ada 301 kasus perampasan wilayah adat selama 2019 –2023. “PSN ini sebenarnya untuk kepentingan siapa sih? kepentingan rakyat atau oligarki?” tanya Arman.

Begitu pula PSN di Pulau Rempang, katanya, pulau itu ditunjuk dulu jadi lokasi PSN, baru sosialisasi ke masyarakat tempatan.

“Seharusnya ditanyakan dulu kepada masyarakat, baru diputuskan masuk PSN atau tidak.”

 

Baca juga : Masyarakat Adat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia

Gongong salah satu kekayaan laut di Pesisir Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepri. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

**********

 

 

Exit mobile version