- Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, ramai belakangan ini karena rencana pembangunan proyek strategis nasional, Rempang Eco-City, mendapat penolakan keras masyarakat. Mayoritas warga menolak relokasi tempat tinggal mereka.
- Akhirnya, pemerintah pun menunda sementara rencana pengosongan pada 28 September lalu.
- Pemerintah pusat maupun daerah terus melakukan pendekatan ‘humanis’ kepada masyarakat agar mau relokasi. Penyebutan relokasi pun berubah jadi “pergeseran” dengan anggapan pindah tak keluar pulau tetapi masih di Rempang.
- Penolakan relokasi atau pergeseran terus warga Rempang suarakan. Meski begitu, sebagian warga sudah memilih pindah.
“Lebih baik mati berdiri, daripada mati berlutut.” Begitu kalimat Riska, perempuan Pasir Panjang, Pulau Rempang, Kota Batam, ketika menyampaikan 11 pernyataan sikap penolakan relokasi di hadapan Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, 21 September lalu.
Rudi kaget karena tersiar kabar kalau Kampung Pasir Panjang, sebagian besar warga menerima relokasi. Rudi bereaksi.
Dia mempertanyakan, siapa yang bertanggung jawab terhadap surat pernyataan itu, padahal pemerintah anggap sudah selesai dengan tokoh masyarakat.
“Yang kamu bacakan ini siapa yang bertanggung jawab?” kata Rudi.
Riska menimpali. “Kami semua masyarakat (yang bertanggung jawab).”
Suara penolakan terus digaungkan mayoritas masyarakat Pulau Rempang atas rencana relokasi, belakangan berubah penyebutan jadi ‘pergeseran.’
Pemerintah mengumumkan penundaan sementara waktu ‘pergeseran’ pada 28 September lalu.
“Ini kan baru ditunda, kami maunya relokasi ini ditiadakan. Silakan cari tempat lain, Pulau Rempang dan Galang ini kan luas, kenapa harus kampung kami?” kata Kandar, warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau ini.
Sama dengan Kandar, Zubri, warga Sembulang, juga bersikukuh tak akan mau relokasi ataupun digeser meskipun diberi ganti lebih mewah. “Tidak akan sejengkalpun kami pindah,” katanya.
Penolakan relokasi juga disampaikan warga dalam bentuk video pendek di media sosial 30 September lalu. Pada hari yang sama, BP Batam menggelar konsultasi publik soal perencanaan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Warga tidak hanya menyampaikan penolakan relokasi, juga konsultasi publik soal amdal di kampung mereka.
Baca juga: Kala Proyek Rempang Eco-city Melaju, Warga Menolak Berhadapan dengan Aparat
BP Batam klaim warga dukung
Meskipun mayoritas masyarakat Rempang menolak relokasi, ada sebagian kecil mulai mendaftarkan untuk relokasi, bahkan sudah ada yang pindah ke hunian sementara yang dijanjikan BP Batam. Dalam beberapa rilis BP Batam sebutkan itu.
Siaran pers BP Batam, 27 September lalu menyebutkan, setidaknya sudah 317 keluarga mendaftarkan rumah mereka. Tiga pindah ke rumah hunian sementara.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR), ada lima kampung terkena proyek tahap awal, yaitu, Kampung Pasir Panjang, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Sembulang Pasir Merah, dan Blongkeng. Di lima kampung itu ada 961 keluarga.
Keputusan terakhir pemerintah warga di lima kampung akan dipindahkan ke Kampung Tanjung Banun. Jarak sekitar tiga kilometer dari kampung lama.
Heri, warga Pasir Panjang, Pulau Rempang mengatakan, pilihan untuk mau relokasi adalah hak individu. Dia berharap, tidak ada provokator yang memecah belah masyarakat.
“Ini hak masing-masing individu mendukung,” ujar Heri, dalam rilis BP Batam, 28 September lalu.
Mongabay berkunjung Kampung Pasir Panjang, satu posko BP Batam, tempat warga mendaftarkan rumah untuk relokasi. Beberapa warga yang menerima relokasi terlihat di lokasi. Mereka enggan berkomentar kepada media.
Pada setiap rilis media Rudi menegaskan, tidak ada paksaan kepada warga yang menerima relokasi. Pendekatan terus mereka lakukan secara persuasif.
Baca juga: Pulau Lepas ke Investor, Warga Rempang Tak Mau Relokasi
Suara tokoh
Pemerintah menyatakan sudah mengakomodir aspirasi masyarakat Rempang. Kenyataan, di tapak bawah aspirasi mereka belum tersampaikan.
Pada 17 September lalu, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia berkunjung ke Pantai Melayu, Rempang. Dia bertemu Gerisman Ahmad, Ketua Umum Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat).
Salah satu aspirasi yang diterima Bahlil dari Keramat adalah usulan warga lima kampung prioritas agar dipindahkan ke Tanjung Banun. Pemindahan diminta tetap di Pulau Rempang, tidak ke Pulau Galang.
Usulan ini yang kemudian dibawa Bahlil dalam rapat terbatas di Istana Negara bersama Presiden Joko Widodo, 25 September 2023.
“Dari pertemuan itu (17 September), saya kemudian banyak mendapat masukan masukan,” kata Bahlil dalam rapat terbatas yang dikutip dari siaran pers BP Batam, 26 September.
Bahlil tidak hanya menyampaikan usulan lokasi relokasi beberapa poin yang menjadi perhatian pemerintah dari hasil pertemuan dengan tokoh masyarakat itu.
Mulai dari ganti untung, menjaga makam leluhur masyarakat, serta melibatkan masyarakat dalam investasi. “Jadi, apa yang diminta tokoh-tokoh sewaktu saya disana dan Pak Rudi datang, Alhamdulillah, sudah kita akomodir secara kekeluargaan,” kata Bahlil.
Baca juga : Masyarakat Adat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia
Begitu juga yang disampaikan Rudi. Dia menyambut baik pusat mengkomodir sejumlah aspirasi masyarakat Rempang.
“Kami sudah sampaikan semua. Seluruh harapan dari warga sudah kita sampaikan. Alhamdulillah, sebagian besar sudah diakomodir. Semoga ini jadi langkah awal dalam kebangkitan ekonomi di Pulau Rempang,” ujar Rudi.
Namun, masyarakat yang menolak relokasi tidak menganggap kunjungan Bahlil bentuk menampung aspirasi. Bahkan, ketika Bahlil berkunjung ke Pantai Melayu, warga tidak bisa bicara langsung kepada Menteri Investasi itu.
Video warga meminta bicara dengan Bahlil juga viral di media sosial. “Kami ingin bicara pak,” begitu jeritan warga yang ingin bicara soal penolakan relokasi kepada Bahlil.
Masyarakat Rempang yang hadir sempat melayangkan protes karena mereka tidak dapat berbicara langsung dengan menteri. “Kami tidak mau relokasi.”
Zubri, warga Sembulang mengatakan, pertemuan dengan tokoh masyarakat di Pantai Melayu bukanlah keputusan final. Masyarakat Pulau Rempang tetap menolak relokasi ataupun pergeseran.
“Perubahan kata dari relokasi ke pergeseran itukan trik saja, agar pemerintah bisa mendapatkan lahan kami. Relokasi atau digeser sama saja hilang kampung kami.”
Dia bilang, masyarakat adat lima kampung terdampak relokasi akan tetap berjuang agar tidak direlokasi.
“Kami masyarakat Sembulang, yakin menolak relokasi, meskipun diiming-imingkan rumah mewah, tanah, biaya subsidi, itu semua tidak sebanding dengan kampung kami yang ada ini.”
Solidaritas nasional
Berbagai organisasi masyarakat sipil tergangung dalam Solidaritas Nasional untuk Rempang menyebut, ada dugaan pelangagran HAM berat di Rempang. Ada dua temuan dari observasi dan investigasi lapangan yang mengindikasikan hal itu, yakni, pengusiran dan pembatasan akses masyarakat terhadap layanan dasar kesehatan.
Edy Kurniawan dari Advokasi dan Jaringan YLBHI mengatakan, dua hal ini tergolong pelanggaran HAM sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 huruf d dan e UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. “Ini ciri-ciri pelanggaran HAM berat,” katanya.
Koalisi pun menemukan banyak pendudukan polisi dan aparat militer di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan. Hal ini, katanya, juga bentuk pelanggaran HAM, karena masyarakat tak bisa mengakses layanan publik secara normal.
Pembatasan hak masyarakat atas layanan dasar, kata Edy, bisa melebar. “Bisa berdampak ke pekerjaan, pendidikan, pangan dan sebagainya.
Selain itu, dalam Basic Principles and Guidelines on Development-Based Eviction and Displacement A/HRC/18 Dewan HAM PBB pada 2009 menyuarakan hal serupa.
Edy menyebut, instrumen HAM ini gamblang menyatakan penggusuran paksa sebagai pelanggaran HAM berat.
“Lagi-lagi, ini akan berdampak pada sektor hak asasi manusia yang lain.”
Pelanggaran HAM di Pulau Rempang disebut Edy tidak bisa membuat pemerintah mengelak. Penyelesaian kasus ini, katanya, harus dengan prinsip akuntabilitas. Pelaku pelanggaran HAM, seperti, kekerasan aparat ataupun pelanggaran berat berupa relokasi atau pengusiran harus bertanggungjawab.
“Komnas HAM harus berani penyelidikan terhadap pelaku-pelaku untuk mendorong akuntabilitas atau pertanggungjawaban pelanggaran HAM. Ini untuk menghindari korban lain.”
Kasus Rempang ini disebut Edy sebagai satu momentum pemerintah mengakhiri impunitas. Impunitas, katanya, jadi penyebab utama pelanggaran HAM selama ini.
Abai lingkungan dan masyarakat
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, menyebut, ini upaya penghancuran laut dan pulau-pulau kecil yang didesain rapi, sistematis dan terstruktur lewat proyek Rempang Eco-City.
Pabrik kaca dan panel surya yang disebut akan masuk ke Rempang, katanya, kemungkinan mengambil pasir silika dari sekitar pulau.
“Pabrik kaca dan solar panel sumber utama dari pasir silika dari laut. Ada peta sebaran di sekitar sana,” kata Boy.
Tanpa pabrik kaca pun, kata Boy, sudah banyak izin konsesi tambang di kiri-kanan pulau. Investasi, sudah banyak bertebaran di timur dan barat Pulau Rempang.
“Potensinya, akan ada kerusakan lingkungan skala besar dan konflik di masyarakat.”
Selama ini, masyarakat di pulau-pulau itu merupakan nelayan yang mengandalkan kondisi perairan di sekitar pulau. Tambang pasir untuk menyuplai kebutuhan pabrik, katanya, akan merusak wilayah tangkap nelayan.
BP Batam menyebut, pabrik kaca di Rempang akan menyediakan 30.000 lapangan pekerjaan. Kalau pekerjaan jadi buruh, katanya, hanya akan menggerogoti kesehatan mental dan fisik masyarakat.
“Pendapatan mungkin lebih besar kalau jadi buruh, tapi kesehatan dan lingkungan yang sehat berkurang.”
Boy menyebut, nafsu pemerintah menjalankan proyek strategis Nnsional (PSN) di Pulau Rempang, katanya, bisa hancurkan lingkungan dan masyarakat Melayu di sana.
Proyek Rempang Eco-City awalnya inisiasi kerjasama antara BP Batam dengan perusahaan, PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2004. Proyek ini hampir tidak ada pergerakan atau realisasi sebelum diambil alih pemerintah menjadi proyek strategis nasional (PSN) pada 28 Agustus 2023.
Komnas HAM menilai ada kesan buru-buru atas proyek ini. Dari catatan Komnas HAM, peluncuran Rempang Eco-City baru 12 April 2023.
“Lalu diikuti perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Xinyi International Investment, perusahaan investasi China, perjanjian ini di Kota Chengdu, China 28 Juli 2023, di hadapan kepala negara,” kata Prabianto Mukti Wibowo, Komisioner Mediasi Komnas HAM dalam Talkshow Ruang Publik KBR 25 September lalu.
Setelah jadi PSN, katanya, investor memberikan tenggat pengadaan tanah seluas 2.000 hektar paling lambat 28 September 2023. Rangkaian kejadian yang serba cepat ini yang dipandang Komnas HAM sebagai tindakan terburu-buru.
“Dipaksakan sekadar memenuhi keinginan investor, tanpa mempertimbangkan dampak pada masyarakat yang sudah tinggal di wilayah itu turun-temurun.”
Apalagi, berdasarkan temuan Komnas HAM yang investigasi lapangan 15-17 September lalu, masyarakat hanya mendapat dua kali sosialisasi soal proyek ini pertengahan Agustus lalu.
Masyarakat yang hadir pun hanya warga yang menjabat sebagai aparat desa dan dipaksa ikut. “Kelihatan sekali partisipasi sangat kurang,” katanya.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pola pemerintah mempercepat proyek mangkrak kerap terjadi di berbagai PSN lain. Sayangnya, pemerintah kerap luput menunjukkan alasan kuat di balik penunjukkan suatu proyek sebagai PSN, termasuk di Rempang.
“Pemerintah kalap, gelap mata terhadap investasi skala besar,” kata Dewi.
Model pembangunan di Pulau Rempang, katanya, menerapkan praktik penyingkiran hak-hak masyarakat adat yang sudah ada sejak dulu. Masyarakat disebut tidak memiliki sertifikat dan hak di tanah.
Seharusnya, kata Dewi, pemerintah bisa mengedepankan reforma agraria di Pulau Batam. Terlebih, pada 2019 masyarakat dijanjikan dapat sertifikat hak atas tanah.
“Kenyataan, justru mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat yang sama sekali tidak memiliki hak di sana,” katanya.
Dalam catatan KPA, terjadi 73 konflik akibat PSN selama tiga tahun terakhir.
YLBHI menyebut, sudah berkali-kali mengingatkan rezim pemerintahan Joko Widodo soal potensi penggusuran ruang hidup dan pencabutan hak hidup masyarakat karena PSN.
Hasil investigasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dan Komnas HAM menunjukkan, pengarahan dan pendudukan aparat keamanan di Rempang menghadirkan iklim intimidatif bagi masyarakat.
“Ini praktik nyata penyalahgunaan kekuasaan melalui kebijakan otoriter,” kata Edy.