- Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang biasa tenang dengan aktivitas keseharian warga berubah jadi mencekam. Pada 8 September lalu, sekitar 1.010 orang tim gabungan terdiri dari TNI, Polri, BP Batam dan Satpol PP memaksa masuk ke perkampungan warga untuk pematokan lahan. Warga menolak, tak mengizinkan ruang hidup mereka jadi proyek Rem[ang Eco-City, apalagi belum ada kejelasan soal nasib mereka setelah itu.
- Proyek tahap awal fokus kepada Kampung Sembulang, yang akan dibangun pabrik kaca terbesar perusahaan Xinyi Group dari Tiongkok.
- Suardi, Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang Galang menegaskan, massa yang menghadang petugas tidak terorganisir. Mereka datang sukarela dan spontan hanya untuk membela kampung halaman.
- Pemaksaan penguasaan ruang hidup warga Rempang ini pun menciptakan trauma mendalam bagi warga. Mereka sekarang pasrah dan berharap suatu saat ada yang menolong. Liputan kami sebelumnya bisa dibaca pada link-link ini.
Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang biasa tenang dengan aktivitas keseharian warga berubah jadi mencekam. Pada 8 September lalu, sekitar 1.010 orang tim gabungan terdiri dari TNI, Polri, BP Batam dan Satpol PP memaksa masuk ke perkampungan warga untuk pematokan lahan. Warga menolak, tak mengizinkan ruang hidup mereka jadi proyek Rempang Eco-City, apalagi belum ada kejelasan soal nasib mereka setelah itu.
Pematokan lahan ini bagian dari rencana proses pembangunan proyek strategis nasional (PSN) yang disebut “Rempang Eco-city”. Sebelum 28 September 2023, masyarakat harus mengosongkan lokasi tahap pertama pembangunan, yaitu Kampung Sembulang, Pulau Rempang.
Pada tahap ini pula, investor asal China Xinyi Group akan membangun pabrik kaca dan panel surya. Nilai investasinya mencapai Rp107 triliun. Tidak hanya Sembulang, 17.000 hektar kawasan ini juga dikembangkan bertahap ke depan.
Baca juga: Perempuan Rempang Tolak Relokasi: Pak Presiden, Apakah Kami Sudah Merdeka?
Masyarakat 16 kampung bergerak
Kehadiran tim gabungan pun akhirnya memicu bentrokan antara aparat gabungan dengan warga di Jembatan 4, Jalan Barelang atau (Batam Rempang Galang, Kota Batam, 7 September lalu. Gas air mata sampai ke sekolah, beberapa siswa dilarikan ke rumah sakit, seorang balita jadi korban.
Kejadian berawal ketika 1.010 tim gabungan hendak masuk ke Pulau Rempang, untuk pengukuran dan pematokan lahan dengan status kawasan hutan itu. Aparat juga akan mendiri pos-pos pengamanan. Kedatangan aparat itu mendapat penolakan warga.
Satu hari sebelumnya, kedatangan tim gabungan ini sudah diterima warga Rempang dari mulut ke mulut. Kondisi itu membuat mereka spontan berkumpul di Jembatan 4 Barelang untuk menghadang aparat dan menyampaikan aspirasi mereka agar tidak ada relokasi.
Pada pukul 09.00 WIB aparat sudah mulai berkumpul di ujung Jembatan 4 arah ke Batam. Begitu juga warga satu persatu datang di ujung jembatan lain. Tepat pukul 09.51 WIB, apparat mulai bergerak ke arah warga, masuk ke Pulau Rempang.
Beberapa mobil water cannon juga ikut melaju perlahan ke arah warga. “Kami minta warga mundur, jika ada yang melawan tangkap saja,” kata Kombes Pol. Nugroho Tri Nuryanto, Kapolresta Barelang (Batam, Rempang, Galang) melalui pengeras suara di mobil taktis.
Saat aparat dan warga berpapasan, hanya beberapa saat saling dorong, warga lempar batu, polisi menembakkan gas air mata sampai peluru karet. Massa kocar-kacir. Mereka berlarian.
Warga mundur, hingga mendekati SD 24 Galang. Pada kondisi ini gas air mata terus ditembakkan untuk membubarkan massa bahkan mengarah ke gedung sekolah. Sontak anak-anak yang sedang belajar kaget. Mereka berhamburan keluar sekolah lari ke belakang bukit di dekat sekolah. Beberapa siswa bahkan jatuh pingsan hingga sesak napas. Mereka dilarikan ke rumah sakit karena gas air mata.
Baca juga: Kala Pulau Lepas ke Investor, Warga Rempang Tak Mau Relokasi
Trauma
Satu hari pasca bentrok, warga masih trauma. Mereka datang itu spontan untuk bertahan dan melindungi kampung. Ada juga warga yang terkena imbas ketika melewati lokasi kejadian bentrok.
Muhammad Ridwan, lelaki 60 tahun, warga Pulau Rempang ini kepalanya luka hingga dapat perawatan 12 jahitan usai bentrokan dengan aparat. “Saya hanya ingin membela kampung agar tidak digusur, maka saya ikut,” kata Ridwan kepada Mongabay, 8 September 2023.
Begitu juga dikatakan, Kiptiyah, warga Pantai Melayu, Pulau Rempang. Perempuan ini ikut aksi berada di barisan depan. “Kami kira aparat lagi latihan gabungan, tiba-tiba buarr kami ditembaki gas air mata,” kata perempuan 53 tahun itu.
Sampai saat ini Kiptyah masih trauma. Bahkan dia tidak kuat mendengarkan video kejadian bentrok itu. “Udahlah jangan putar lagi, Ini rasanya di depan ada rasa-rasa semprotan gas air mata saja,” kata perempuan yang akrab disapa Buk Peyek ini.
Suardi, Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang Galang menegaskan, massa yang menghadang petugas tidak terorganisir. Mereka datang sukarela dan spontan hanya untuk membela kampung halaman. “Siapa yang tidak marah dan takut kampung halaman nenek moyang mereka diambil,” katanya.
Dia ikut dalam barisan, dia tidak menyangka terjadi bentrokan. Dia sudah mempersiapkan diri untuk maju kalau memang polisi ingin bicara dengan tokoh masyarakat. “Saya kira, seperti di aksi biasa, ada komunikasi dulu dengan tokoh masyarakat, tetapi polisi langsung masuk.”
Kiptiyah bilang, gas air mata datang begitu cepat. “Polisi bilang, mundur-mundur, tidak lama setelah itu burr,” katanya.
Begitu juga yang dikatakan Ridwan. Dia sudah mencoba melarikan diri setelah polisi bilang ‘tangkap-tangkap’. Tetapi, tiba-tiba peluru karet menyasar kepalanya. “Saya langsung pusing dan berdarah, terasa peluru itu kena kepala,” katanya.
Nolak relokasi jadi tersangka?
Setelah kejadian, polisi langsung memberikan penjelasan. Menurut Nugroho yang memimpin tim gabungan, proses tim gabungan sudah sesuai tahapan dari sosialisasi sampai menghadapi massa.
Gas air mata yang masuk ke sekolah itu, katanya, terbawa angin. “Begitu juga balita yang kena, dia tidak meninggal, itu hoax,” kata Nugroho, 8 September lalu.
Dia mengatakan, setidaknya polisi menangkap delapan warga yang menolak relokasi. Tujuh orang sudah jadi tersangka, sedangkan satu lagi masih dalam pemeriksaan. Dari data yang didapat Mongabay, warga itu nelayan dan petani di Pulau Rempang.
Nugroho klaim kondisi kondusif. Aparat gabungan sudah masuk kampung-kampung, warga tidak ada lagi penolakan. “Kita sudah bisa pasang pematokan dan pengukuran lahan, serta kami juga akan dirikan tujuh pos tim gabungan di Pulau Rempang ini.”
Tidak hanya pengukuran lahan, dalam waktu dekat ini tim gabungan juga akan mengosongkan kawasan Pulau Rempang. Pasalnya segera diserahkan kepada pengembang yaitu PT Makmur Elok Graha.
“Pada 28 (September ini) Pulau Rempang clean and clear untuk diserahkan kepada pengembang MEG,” kata Nugroho 7 September lalu.
******