Mongabay.co.id

Beruk di Pulau Bangka, Dulu Dihormati Kini Terancam Hidupnya

 

 

Tubuhnya besar, kekar berotot. Bulu tebal berwarna cokelat keemasan yang dulu ada di sekujur tubuhnya mulai menipis, nyaris tersisa kulit. Ketika berdiri tegak, bisa mencapai satu meter. Taringnya besar dan tajam.

Itu adalah gambaran beruk [Macaca nemestrina] yang pernah ditemui Abok Gedoi [54] di sekitar hutan Gunung Pelawan, wilayah sakral Suku Mapur.

“Saat itu saya sedang mencari tumbuhan obat di sekitar hutan. Itu adalah beruk terbesar yang pernah saya temui, namun pergerakannya di antara dahan pohon sama sekali tidak menimbulkan suara, tiba-tiba saja sudah dekat,” kata Abok Gedoi, Ketua Adat Suku Mapur, di Dusun Air Abik, Kabupaten Bangka, pertengahan September 2023.

“Mereka adalah penguasa hutan. Leluhur kami pernah berpesan, kalau bertemu, jangan coba-coba menantangnya. Jadi saat itu saya memilih untuk menjauh,” lanjut Abok Gedoi, sembari mengingat kejadian puluhan tahun lalu itu.

Baca: Trilobita, Kumbang Aneh Penghuni Hutan Pulau Bangka

 

Macaca nemestrina yang terpantau di Sabah, Malaysia. Foto: Wikimedia Commons/Hectonichus/Free to share

 

Di masa lalu, Beruk merupakan satwa yang sangat dihormati Suku Mapur, Suku Melayu tua di Pulau Bangka. Menurut Abok Gedoi, masyarakat Suku Mapur belajar banyak dari beruk. Mulai dari memilih tumbuhan pangan hingga obat, serta gerakan silat Suku Mapur, yang semua pengetahuan itu berasal dari perilaku beruk.

“Salah satu tanaman obat setelah melahirkan yang kami ketahui, yakni akar mengkeles  [Stephania japonica (Tumb) Miers.], berasal dari perilaku beruk betina yang sering memakannya setelah melahirkan,” kata Abok Gedoi, yang juga berprofesi sebagai dukun obat di Dusun Air Abik.

“Sementara gerakan silat Suku Mapur yang menggunakan tembung atau tongkat kayu, juga berasal dari gerakan beruk yang lihai memainkannya.”

Hingga saat ini, hutan tersisa Suku Mapur, yang membentang di wilayah perbukitan bagian utara Pulau Bangka masih menjadi habitat alami beruk. Tapi, menurut Abok Gedoi, penampakan beruk tidak sesering dulu, dikarenakan hutan mulai tergerus.

“Dulu, kalau masuk hutan pasti ketemu. Tapi, saya yakin mereka masih ada, berlindung di sekitar hutan larangan Mapur,” lanjutnya.

Beruk juga terancam aktivitas perburuan yang dilakukan masyarakat luar maupun lokal. Salah satu alasannya, karena dianggap sebagai hama perkebunan.

“Banyak orang yang memburu karena dianggap hama kebun, sering terlihat sejumlah orang yang membawa beruk mati melintasi Dusun Air Abik. Padahal, mereka terpaksa turun ke kebun karena hutan rusak. Mereka cuma mau makan,” ujarnya.

Baca: Bukit Peramun, Hutan Digital Pertama Berbasis Masyarakat di Indonesia

 

Mentilin, satwa langka yang masih mudah ditemui di Bukit Peramun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bagi Suku Mapur, beruk merupakan satwa yang dilarang dikonsumsi. Mereka juga dilarang mengkonsumsi trenggiling [M. javanica], mentilin [Cephalopachus bancanus], kukang [Nycticebus bancanus], ayam jembang [Lophura ignita], dan binturong [Arctictis binturong].

“Kami juga pantang membunuh hewan yang sedang bunting atau sedang dalam masa merawat anakya,” kata Abok Gedoi.

Sebagai informasi, beruk tidak hanya dihormati Suku Mapur, tapi juga sebagian besar masyarakat Suku Melayu di Pulau Bangka. Ketangkasan serta statusnya sebagai ‘penguasa’ hutan tersebar pada Suku Jerieng di Kabupaten Bangka Barat, serta sebagian besar Suku Melayu di Kabupaten Bangka Tengah, hingga Kabupaten Bangka Selatan.

“Sejak dulu, orang tua kami selalu berpesan kalau beruk itu adalah satwa yang harus dihormati, jangan disakiti apalagi diganggu,” kata Makmun, Ketua Adat di Desa Gudang yang terletak di kaki Bukit Permisan, Kabupaten Bangka Selatan.

Baca: Pentingnya Keragaman Pangan Hutan Bagi Perempuan

 

Hutan yang sangat penting bagi habitat satwa liar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terancam

Secara umum, spesies beruk [Macaca nemestrina (M.n.)] atau Southern Pig-tailed Macaque memiliki tiga sub spesies, yakni M. n. nemestrina, M.n. leonina, dan M.n. halamanensis. Mereka tersebar di Brunei, Indonesia [Bangka, Kalimantan, dan Sumatera], Malaysia [Semenanjung Malaysia; Sabah dan Sarawak di Kalimantan], serta Thailand bagian selatan.

Sejak 13 Maret 2022, IUCN Red List menetapkan beruk sebagai satwa dengan status Genting [Endangered]. Ini dinilai berdasarkan dugaan adanya penurunan populasi sekitar 50 persen dalam tiga generasi terakhir [kisaran 33 tahun untuk spesies ini].

“Kemungkinan akan terus berlanjut di masa depan jika ancamannya tidak diatasi,” dikutip dari situs resmi IUCN Red List.

Dari sumber yang sama, penurunan populasi ini diduga disebabkan konversi habitat utama mereka secara permanen. Diantaranya karena, pembukaan perkebunan sawit dan karet skala besar, serta aktivitas pertambangan.

“Hilangnya habitat dan fragmentasi akibat penyebaran sawit [Elaeis guineens] tampaknya merupakan ancaman terbesar bagi populasinya, baik di Indonesia maupun Malaysia,” dikutip dari IUCN Red List.

Ini diperburuk dengan pengaruh pembangunan jalan dan infrastruktur, perubahan iklim, serta perburuan.

“Perburuan dan penangkapan untuk dijadikan peliharaan ilegal dan lainnya masih terjadi. Ini memberikan gambaran mengkhawatirkan mengenai kelangsungan hidup spesies ini dalam jangka panjang,” mengutip IUCN Red List.

Sebelumnya, beruk juga diperkirakan dapat memanfaatkan habitat yang terkena dampak antropogenik, seperti mencari makan di perkebunan sawit, hingga wilayah perkotaan. Namun, studi Ruppert dkk tahun 2018 menyatakan, beruk akan kembali ke hutan untuk istirahat serta tidur, dan hanya memilih pohon-pohon tua. Karenanya, penebangan pohon besar secara selektif juga akan mengancam kehidupan mereka.

M. nemestrina sangat bergantung pada hutan utuh di dekatnya [Holzner dkk.202] dan menegaskan keraguan sebelumnya mengenai kemampuan mereka untuk bertahan secara permanen di habitat yang sangat terganggu [Caldecott 1986],” dikutip dari IUCN Red List.

Baca juga: Di Hutan, Perempuan Suku Mapur Bahagia

 

Bukit Peramun menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penebar benih

Beruk memang penghuni sejati hutan rimba dengan pohon-pohon besar. Ini dikuatkan dengan penelitian bahwa mereka sangat tergantung terhadap pohon-pohon besar untuk tidur, membesarkan anak, serta mencari makan.

Mengutip IUCN Red List, beruk tinggal di hutan primer dan sekunder dataran rendah, hutan pantai, rawa, hingga pegunungan [1.900 meter], tapi lebih menyukai kawasan hutan kering di kaki perbukitan dan lereng.

Beruk senang buah-buahan matang dan mentah [32 persen], artropoda dan invertebrata [32 persen]. Pucuk dan batang tanaman [15 persen], daun [11 persen], dan makanan lain termasuk vertebrata kecil, bunga, jamur serta kulit pohon yang juga menjadi santapannya [Ruppert et al. 2018].

“Beruk diketahui berperan sebagai penebar benih di hutan Dipterocarpaceae dataran rendah di Malaysia [Ruppert dkk. 2014],” masih dikutip dari laporan IUCN Red List.

 

Exit mobile version