Mongabay.co.id

Perikanan Budi daya, antara Ekologi dan Ekonomi

 

Subsektor perikanan budi daya ditargetkan bisa mewujudkan produksi sebanyak 22,65 juta ton pada 2024 nanti. Target itu diharapkan bisa dikumpulkan dari sejumlah komoditas andalan seperti udang dan rumput laut.

Tetapi, untuk bisa mewujudkan target produksi sebanyak itu, ada banyak tantangan yang harus bisa dilewati oleh Pemerintah Indonesia. Salah satunya, bagaimana mempertahankan wilayah pesisir sebagai sentra produksi dan sekaligus pusat konservasi.

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyebut kalau tantangan paling besar pada perikanan budi daya adalah bagaimana mengembangkan teknik akuakultur dengan menggunakan pendekatan ekosistem.

Teknik tersebut sangat dibutuhkan, karena kegiatan akuakultur memicu terjadinya pencemaran dan juga konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di kawasan pesisir. Sejauh ini, kegiatan akuakultur menjadi salah satu penyumbang angka tertinggi dari produksi perikanan budi daya.

“Hal tersebut tak jarang menimbulkan konflik dan aksi protes dari masyarakat pesisir,” ungkap Koordinator DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, belum lama ini di Jakarta.

Merujuk pada data yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga triwulan IV 2022 rumput laut masih menjadi komoditas dengan produksi tertinggi, yaitu mencapai 2.392.877 ton, lalu ikan Nila dengan produksi 482.249 ton, dan ikan Lele dengan 359.479 ton.

“Dari ketiga komoditas tersebut, total volume produksi budi daya perikanan mencapai 3.664.008 ton,” terang Abdi.

baca juga : Prinsip Keberlanjutan dalam Praktik Perikanan Budi daya

 

Sebagian besar warga Lembongan, Nusa Penida, Bali, kembali bertani rumput laut ketika sektor pariwisata ambruk selama pandemi ini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dia menilai, kebutuhan akan produksi perikanan budi daya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sudah disadari oleh Pemerintah. Hal itu ditunjukkan dengan penetapan kegiatan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sebagai fokus utama, seperti yang sudah berjalan di banyak negara.

Komitmen itu kemudian dipertegas melalui pengembangan budi daya dengan pendekatan ekosistem. KKP sudah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (Perdirjen PB) Nomor 154 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Akuakultur Dengan Pendekatan Ekosistem (ADPE). Aturan ini menjadi landasan penting bagi praktik akuakultur yang berwawasan lingkungan.

Abdi mengatakan, aturan tersebut memuat panduan teknis tentang bagaimana mengelola kegiatan perikanan budi daya, termasuk di dalamnya praktik akuakultur. Regulasi itu juga menekankan pentingnya menjalankan akuakultur dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya perikanan.

Menurut dia, salah satu aspek utama dari ADPE adalah pendekatan berkelanjutan. Dokumen tersebut memberikan panduan mengenai penggunaan lahan yang bijaksana, manajemen air yang efisien, serta penggunaan pakan yang ramah lingkungan.

“Perlunya harmoni antara kegiatan manusia dan lingkungan tidak dapat diabaikan. Dalam upaya menciptakan keselarasan ini, kehadiran ADPE memberikan manfaat yang substansial,” tuturnya.

perlu dibaca : Seperti Apa Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem?

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia

 

Di antara manfaat ADPE, adalah memandu kegiatan akuakultur tidak akan mengganggu peran dan fungsi lingkungan. ADPE berperan penting untuk menjaga keseimbangan alam saat kegiatan akuakultur dan ekosistem dilaksanakan bersamaan.

Kemudian, ADPE juga berkontribusi pada peningkatan dukungan sosial ekonomi atas keberadaan kawasan akuakultur. Juga, memberikan manfaat terhadap perlindungan legalitas pelaksanaan dan perencanaan akuakultur.

Itu berarti, ADPE memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan usaha akuakultur, keyakinan bagi petambak untuk mengembangkan aktivitas budi daya, memperkuat jaminan usaha akuakultur, dan mendukung pertumbuhan investasi, yang mendorong peningkatan produksi.

Terakhir, penerapan ADPE akan memperkuat daya saing produk akuakultur melalui klasterisasi dan sertifikasi produk. Ini memberikan kualitas yang diakui secara internasional, memperluas pasar potensial dan memberikan kontribusi pada perekonomian nasional.

 

Implementasi CBIB

Selain fokus menerapkan praktik perikanan budi daya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, Pemerintah juga fokus untuk menerapkan Cara Budi daya Ikan yang Baik (CBIB) untuk meningkatkan daya saing di pasar lokal dan internasional.

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya (Dirjen PB) KKP Tb Haeru Rahayu menerangkan, sertifikasi CBIB memang menjadi strategi yang sedang dijalankan saat ini. Tujuannya, agar daya saing produk bisa terus meningkat dan bisa diterima lebih luas lagi di pasar global.

Selain CBIB, ada juga sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB), Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB), Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik (CPOIB), dan Cara Distribusi Obat Ikan yang Baik (CDOIB).

Dia mengatakan, penerapan CBIB menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi para pelaku usaha. Dengan demikian, tuntutan pasar yang harus terus menaikkan nilai ekspor setiap produk perikanan budi daya bisa terus dilakukan.

Dia mengungkapkan, sertifikasi seperti CBIB juga diterapkan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Kedua negara tersebut menerapkan sertifikasi good aquaculture practices untuk mendorong para pelaku usaha di sana bisa terus meningkatkan mutu produk perikanan budi daya agar bisa bersaing di pasar global.

baca juga : Memulihkan Lingkungan Tempat Produksi Perikanan Budi daya. Untuk Apa?

 

Para bekerja tengah memberikan pakan udang di tambak Budi daya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kebumen, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Guru Besar Ilmu Akuakultur IPB University Sukenda menjelaskan bahwa penerapan CBIB pada usaha budi daya perikanan sudah menjadi kebutuhan dan bukan sekedar pelengkap. CBIB akan menjamin terjaganya empat aspek, yaitu keamanan pangan, tanggung jawab lingkungan, tanggung jawab sosial, dan ketertelusuran.

CBIB juga penting, karena menjadi persyaratan dan kewajiban pelaku usaha sesuai aturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian, penerapan CBIB juga menjadi wajib, karena bisa meningkatkan daya saing produk akuakultur di pasar dunia, dan bisa meningkatkan mutu dan produktivitas masyarakat pembudi daya.

“Peningkatan quality control agar kita bisa bersaing secara global. Makanya, CBIB itu mutlak harus dilakukan oleh semua pembudidaya kita,” terangnya.

Agar peningkatan quality control bisa berjalan baik, harus ada pendampingan yang rutin para pembudi daya, mengintroduksi pentingnya CBIB, dan terus lakukan monitoring hingga semua pembudi daya bisa melakukan dengan baik.

“Kemudian beri mereka tanda bahwa mereka telah menerapkan CBIB dengan sertifikat CBIB,” tambah Sukenda.

 

Tantangan Inovatif dan Ramah Lingkungan

Selain melalui CBIB, upaya untuk menggenjot produksi perikanan budi daya juga dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi. KKP bekerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi, untuk mengembangkan perikanan budi daya yang produktif dan ramah lingkungan.

“Khususnya untuk komoditas-komoditas potensial yakni udang, kepiting, lobster, nila salin, dan rumput laut,” ucap Dirjen Perikanan Budidaya KKP Tb Haeru Rahayu.

Pemilihan lima komoditas tersebut untuk dikembangkan, adalah karena pertimbangan pasar yang luas. Hal itu akan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan akan mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

baca juga : Mimpi Produksi Udang 2 Juta Ton Dimulai dari Kebumen

 

Sebuah tambak udang di pesisir pantai. KKP menggenjot produktivitas budi daya udang melalui CBIB dan IISAP. Foto : KKP

 

Dia mengungkapkan, potensi pasar udang secara global setiap tahunnya sangat besar. Diperkirakan sedikitnya potensi senilai USD60,4 miliar bisa dikumpulkan dari udang pada 2023 ini. Jumlah tersebut akan terus meningkat hingga menjadi USD123,8 miliar dalam jangka waktu sepuluh tahun ke depan.

Selain udang, potensi besar ada pada komoditas rumput laut yang secara global diperkirakan nilainya bisa mencapai USD7,79 miliar pada 2023. Seperti udang, nilai rumput laut juga akan terus meningkat menjadi USD19,66 miliar pada 2033 mendatang.

Komoditas berikutnya yang nilainya diperkirakan akan terus meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, adalah nila. Tahun ini, ikan tersebut nilainya sudah mencapai USD13,9 miliar dan akan meningkat menjadi USD21,6 miliar pada 2033.

Lalu, komoditas seperti kepiting juga memiliki potensi yang sama besarnya dan diperkirakan bisa mencapai USD0,8792 miliar pada 2023 dan akan terus meningkat menjadi USD1,5161 miliar pada sepuluh mendatang.

“Terakhir lobster juga memiliki potensi pasar luar biasa diperkirakan mencapai nilai USD7,2 miliar sampai akhir tahun nanti,” terang dia.

perlu dibaca : Pertama di Indonesia, Teluk Jukung Lombok Timur ditetapkan Jadi Sentra Budidaya Lobster

 

Salah seorang nelayan budidaya di Telong Elong, Jerowaru, Lombok Timur panen lobster. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Akan tetapi, walau potensi sangat besar, namun terdapat tantangan pada pengembangan perikanan budi daya secara nasional. Di antara tantangan itu, adalah inovasi teknologi pengembangan pakan alternatif pengganti tepung ikan dari bahan baku lokal dan pakan alami.

“Selain itu inovasi pengembangan kajian rekayasa mitigasi atas dampak perubahan iklim dalam budi daya ikan,” tambah dia.

Untuk itu, perguruan tinggi ditantang untuk bisa membuat inovasi seperti yang sudah KKP lakukan dan berjalan saat ini di Budi daya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.

Menurut dia, keterlibatan perguruan tinggi akan memperkuat upaya yang sudah dilakukan KKP. Sebab, perguruan tinggi memiliki sarjana perikanan punya kemampuan dalam menjalankan breeding program, bioteknologi, dan sistem klaster komoditas unggulan berbasis kawasan.

“Perguruan tinggi memiliki high order thinking skill, kemampuan memecahkan masalah yang kompleks,” pungkasnya.

 

Produktivitas Budi daya Udang

Selain menggandeng perguruan tinggi, pengembangan udang juga dilakukan dengan menggandeng Bank Pembangunan Asia (ADB). Tujuannya, untuk meningkatkan produktivitas melalui Infrastructure Improvement for Shrimp Aquaculture Project (IISAP).

Tb Haeru Rahayu berharap, kerja sama tersebut bisa mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas produksi udang secara nasional. Dengan demikian, udang yang berasal dari Indonesia bisa memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di pasar internasional.

Bentuk dukungan yang diberikan ADB adalah berupa pinjaman dengan nilai sebesar Rp1,348 triliun yang dibayar dalam jangka waktu hingga Desember 2027. Pinjaman tersebut diharapkan bisa meningkatkan infrastruktur budi daya udang secara nasional.

Dia menyebut kalau Indonesia pada saat ini memiliki tambak udang seluas 300.501 hektare (ha). Rinciannya, seluas 247.803 ha atau 82 persen adalah tambak tradisional. Sementara, 15 persen adalah tambak semi intensif, dan 3 persen adalah tambak yang intensif.

Pengembangan udang dilakukan, karena sampai sekarang masih menjadi komoditas yang mendominasi total ekspor Indonesia pada sektor perikanan. Sepanjang 2022 KKP mencatat nilai ekspor udang nasional mencapai USD2,16 miliar atau berkontribusi 34,57 persen terhadap nilai ekspor perikanan Indonesia.

penting dibaca : Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budi daya

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dan jajarannya memanen udang. KKP menggenjot produktivitas budi daya udang melalui CBIB dan IISAP. Foto : KKP

 

Tentang IISAP, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Vivi Yulaswati memberikan penilaian secara khusus. Menurut dia, proyek IISAP dapat menumbuhkan nilai tambah dalam berbagai kegiatan budi daya udang di Indonesia.

Peningkatan nilai tambah itu diyakini akan mampu meningkatkan kualitas, dan daya saing tinggi yang berkelanjutan di pasar global. Selain itu, IISAP bisa menghasilkan model percontohan yang dapat diduplikasi di berbagai daerah lainnya.

“Dan tentunya terjadi transfer knowledge, serta penyerapan tenaga kerja, dan menambah devisa negara,” ungkap dia.

Proyek IISAP sendiri dinilai sudah selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2025–2029 dan diharapkan bisa mengurangi ketergantungan impor melalui penguatan sarana dan prasarana seperti broodstock.

Juga, untuk mengembangkan laboratorium perikanan, merevitalisasi tambak masyarakat lengkap dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Itu semua bertujuan untuk meningkatkan produktivitas usaha budi daya masyarakat dan menambah nilai tambah dari produksi udangnya.

Country Director ADB Indonesia Eric Quincieu pada kesempatan lain menyatakan kalau Indonesia adalah pemain kunci dalam pasar udang global. Saat ini, Indonesia menempati peringkat lima besar produsen udang dunia dengan pangsa pasar global sebesar 8,7 persen.

Dia yakin, IISAP bisa menjadi media untuk memperkenalkan dan mengembangkan kegiatan budi daya berkelanjutan yang mendukung rencana aksi Healthy Oceans and Sustainable Blue Economy. Lokasi IISAP direncanakan akan dibangun di tujuh lokasi di tujuh provinsi.

Ketujuhnya adalah Aceh, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan. Melalui proyek tersebut, IISAP diharapkan bisa terus meningkatkan kontribusinya terhadap peningkatan perekonomian nasional, produktivitas, profitabilitas, dan kelestarian lingkungan budi daya udang. (***)

 

Exit mobile version