Mongabay.co.id

Upaya Selamatkan Gunung Wato-wato, Masyarakat Buli ke Jakarta Desak Cabut Izin Priven Lestari

 

 

 

 

 

“Halmahera bangkrut, selamatkan ruang hidup tersisa.” “Kendaraan listrik-mu, korbankan ruang hidup kami.” “Wato-wato benteng terakhir, cabut izin PT Priven Lestari.”

Begitu antara lain bunyi spanduk dan poster perwakilan Masyarakat Buli dan kalangan aktivis saat aksi di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Manggala Bhakti, Jakarta, 14 November lalu.

Masyarakat protes karena Gunung Wato-wato di Halmahera Timur, Maluku Utara,  terancam kehadiran perusahaan tambang nikel, PT Priven Lestari. Kini, perusahaan sudah mulai bangun jalan tambang (hauling).

Mereka mendesak  Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengevaluasi izin perusahaan karena rawan merusak lingkungan dan tak mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan.  Masyarakat juga menuntut pencabutan izin konsesi perusahaan nikel di Halmahera Timur ini.

Perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato didampingi sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Forest Watch Indonesia, dan sejumlah organisasi mahasiswa Maluku dan Maluku Utara di Jakarta.

Said Marsaoly, perwakilan Masyarakat Buli Peduli Wato-wato, mengatakan, Halmahera jadi sasaran korporasi raksasa, termasuk Wato-wato.

Kedatangan mereka ke Jakarta, katanya, untuk menyampaikan kepada pemerintah, terutama KLHK soal kerusakan lingkungan hidup mereka.

Aktivitas perusahaan, katanya, mengkhawatirkan. Sumber air bersih mereka terancam rusak karena hutan hutan gundul.

Area di kaki Gunung Wato-wato,  kata Said, untuk sumber air, bagian atasnya daerah resapan. Bahkan, Pemerintah Maluku Utara ingin jadikan air di sana untuk pasokan PDAM.

Tambang terbuka ini, katanya, akan meninggalkan kerusakan hutan dan lingkungan.

 

Baca juga: Masyarakat Protes Was-was Tambang Nikel Hancurkan Gunung Wato-wato

Perwakilan Masyarakat Buli ketika diterima di KLHK, 14 November lalu. Foto: Aliansi Masyarakat Buli Peduli Gunung Wato-wato.

 

Saat ini, katanya, masyarakat yang hidup di sekitar tambang nikel maupun pabrik-pabrik nikel di kawasan industrinya mengalami berbagai kesulitan. Tambah lagi, sumber energi industri ini dari pembangkit batubara.

Di desa sekitar tambang, seperti Lelilef Sawai dan Lelilef Waibulen serta Desa Gemaf, Weda Tengah, Halmahera Tengah, dari hutan, sumber air, sungai sampai laut rusak.  Lingkungan, ekonomi sampai kesehatan warga jadi taruhan.

Sumber pangan pun terancam, ketika awalnya masyarakat bisa penuhi pangan dari hasil tania tau kebun. Tambang dan kawasan industri datang, kebun dan lahan pertanian hilang, sumber pangan masyarakat pun tergerus.

Terlebih lagi, di sekitar desa-desa itu ada banyak perusahaan tambang yang memasok nikel mentah ke kawasan industri,  PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, juga ada kawasan industri nikel di bawah PT Harita Group.

“Dua wilayah itu adalah zona pengorbanan, di mana zona pembongkaran nikel dan operasi pabrik smelter dan PLTU meninggalkan kerusakan lingkungan, dan mewariskan penyakit serta mengesampingkan hak masyarakat,” katanya.

 

Aktivitas pembukaan jalan oleh perusahaan PT Priven Lestari untuk rencana penambangan mereka, foto Aliansi Masyarakat Buli Peduli Gunung Wato-wato. Foto: Aliansi Masyarakat Buli Peduli Gunung Wato-wato.

 

Kalau di kawasan hutan Gunung Wato-wato juga ada pertanian maupun perkebunan warga  seperti pala, cengkih, juga nenas. “Itu sumber utama ekonomi warga.”

Dia mendesak, KLHK tak memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan apalagi sampai pelepasan untuk izin pertambangan ini.

Selain ke KLHK, perwakilan warga Buli juga ke DPD, dan DPR untuk membahas persoalan Priven Lestari yang sudah buka jalan tambang sepanjang satu kilometer lebar 40 meter.

M Jamil, Divisi Hukum dan Advokasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan,  Gunung Wato-wato adalah daerah resapan air.  Sumber airnya merupakan tumpuan  hampir 20.000 warga di Kecamatan Maba dan Wasile. Daerah itu juga lumbung pangan terutama padi di Maluku Utara.

Di Gunung Wato-wato, katanya, ada hutan lindung dan hutan desa penetapan KLHK pada 2021.

 

Baca juga: Sumber Air Gunung Wato-wato Terancam Tambang Nikel, Bagaimana Kondisi Sungai Sagea?

Teluk Buli, tak jauh dari Gunung Wato-wato, yang akan jadi sasaran tambang nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Upaya warga menyuarakan penolakan tambang nikel di Wato-wato dari level kecamatan sampai provinsi ini seakan membentur tembok batu. Sebaliknya, malah ada upaya mengkriminalisasi warga.  Dia bilang, sudah ada surat panggilan dari polisi terhadap 13 warga Kecamatan Maba yang menolak tambang pada Juli 2023, dengan tuduhan penganiayaan, pengancaman, dan perusakan.

Saat ini, Masyarakat Buli terus mempertahankan Gunung Wato-wato, benteng terakhir atau ruang tersisa Halmahera Timur yang sudah porak-poranda oleh tambang nikel.

Di kabupaten ini, ada 27 izin usaha pertambangan (IUP), dengan luas konsesi 172.901,95 hektar. Konsesi-konsesi ini, katanya,  menghancurkan ruang hidup warga Haltim.

Kini, Gunung Wato-wato sudah dalam ‘kuasa’ Priven Lestari, dengan luas izin 4.953 hektar mencakup Pegunungan Wato-wato.

“Padahal, Gunung Wato-wato tempat sakral termasuk pemukiman, pertanian, dan sumber mata air.”

Dia mendesak, Menteri Siti Nurbaya tak mengeluarkan IPPKH untuk Priven Lestari.

Setelah orasi di depan KLHK, para pengunjuk rasa dapat izin masuk untuk sampaikan poin tuntutan kepada perwakilan kementerian ini.

Tuntutan mereka antara lain, pertama, Menteri LHK Siti Nurbaya tak mengeluarkan IPPKH untuk Priven Lestari. Juga evaluasi dan cabut Izin lingkungan dan penegakan hukum atas operasi perusahaan yang mulai bikin jalan tambang di kawasan hutan.

Kedua, menuntut Menteri ESDM, Arifin Tasrif dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia segera mengevaluasi dan mencabut izin tambang Priven Lestari. Ketiga, menuntut Kapolri, Listyo Sigit Prabowo agar menindak Polres Halmahera Timur untuk tak bersekongkol dengan perusahaan, apalagi melakukan kriminalsiasi terhadap warga.

 

Aksi Aliansi Masyarakat Peduli Wato-wato Halmahera Timur di depan Kantor KLHK, Jakarta, November ini. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

 

Belum ada izin IPPKH?

Dalam pertemuan bersama aliansi itu, KLHK menyebut Priven Lestari sampai saat ini belum mengajukan IPKKH untuk konsesi pertambangan di Halmahera Timur.

Andika, staf Humas KLHK, kepada perwakilan pengunjuk rasa menyampaikan, Priven Lestari hingga kini belum pernah mengajukan IPKKH.

“Priven di Halmahera Timur. Kita cek data base KLHK, mereka belum pernah mengajukan IPKKH. Kami tidak memiliki data mereka,” katanya.

Saat ini,  katanya, aduan masyarakat diterima dan akan ditindaklanjuti.

“Kita menerima aspirasi dan pengaduan dari Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato terkait keberadaan Priven Lestari.”

 

Gunung Wato-wato dengan kamera udara dari Desa Subaim, Kecamatan Wasile. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version