Mongabay.co.id

Jejak Daya Rusak Batubara, dari Kaltim ke Pulau Obi

 

 

 

 

 

 

“Berikan bukti, bukan janji.”  Begitu tulisan tertera di kaos Katijan, tatkala menyusuri kebunnya di Kelurahan Margomulyo, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.  Saat itu, dia melewati jalan setapak dengan ditumbuhi berbagai tanaman saat mau menunjukkan sumber mata air yang pernah menjadi andalan.  Kini, air mulai tak mengalir.

Katijan menandai kehadiran sumber mata air itu dengan menanam bambu. Sumber mata air ini menjadi alasan Katijan membeli tanah beberapa tahun lalu.

Saat kemarau, sumber air menjadi penyelamat. Warga sekitar pun sempat mengambil air di lokasi itu.

Dia menduga, sumber air mulai menyusut ketika perusahaan tambang batubara, PT Singlurus Pratama,  mulai beroperasi.

Penggalian lubang batubara jauh lebih dalam dari mata air di kebunnya. Air pun, katanya, pergi ke tanah yang lebih dalam. Air yang tertampung sekarang itu dari hujan beberapa hari lalu. “Kalau sana dalam otomatis mengikuti yang dalam, ‘kan kering sekarang, sekarang nggak dipakai,” katanya.

Tak hanya sumber air berkurang, warga pun terganggu debu. Bahkan, katanya, beberapa waktu lalu, batubara sempat terbakar. Bau menyengat begitu mengganggu.

Dia pernah melaporkan soal debu batubara ke Ketua RT.

“Dua mingguan ini masalah debu, debu sama kobongan batubara,” katanya.

Ujang, warga lain juga keluhkan soal debu batubara. Dia bilang, ketika menyapu lantai rumah debu terlihat pekat berwarna hitam. Padahal, jendela rumah sudah ditutup.

Kondisi itu, katanya, tidak pernah terjadi, baru setelah ada perusahaan batubara.

“Kalau uang debu dikira kita ngemis minta, saya nggak mau. Kalau uang kesehatan, kewajiban, karena kita yang dekat [dengan perusahaan beroperasi],” kata Ujang.

 

Baca juga: Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [1]

Ujang menunjukkan debu yang melekat di kaca rumahnya. Foto: Muhibar Sobary Ardan

 

Khadafi, Ketua RT07 Kelurahan Margomulyo, membenarkan laporan warga soal keluhan debu. Dia telah melaporkan keluhan itu ke kelurahan. Saat kemarau, katanya, debu batubara dari aktivitas perusahaan kian parah.

Warga pun banyak keluhkan sesak napas.

“Kena ISPA dan segala macam. Saya resah dari tambang,” kata  Khadafi.

Dari salinan surat keluhan, ada 28 warga menyertakan tanda tangan keberatan dengan debu batubara. “Itu permintaan dari warga, warga terdampak sekali.”

Dia bilang, keluhan soal debu pertama kali pada Juli 2023. Keluhan terus berdatangan pada musim kemarau. Dia pun menindaklanjuti.

“Saya tidak bisa berjanji apa-apa. Sudah saya laporkan ke LPM, ke lurah, segala macam, keadan warga saya seperti ini, tidak diindahkan mau di apa? Saya tidak bisa apa apa,” katanya.

Pradarma Rupang, peneliti Jatam Kaltim, mengatakan,  aktivitas perusahaan memberikan dampak ekologis seperti rusaknya sungai.

“Terutama pencemaran air di Sungai Merdeka, hulu dari Sungai Merdeka itu ketemu dari aliran sungai-sungai di Margomulyo dan Amborawang Barat,” katanya.

Dia juga khawatir,  aktivitas perusahaan membuat daya rusak di Desa Beringin Agung,  yang terkenal dengan pangan, terutama padi sawah.

“Ini yang kita lihat bagaimana aktivitas Singlurus di Samboja sudah kerap kali mendapat keluhan warga sekitar.”

 

Baca juga: Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [2]

Tambang batubara milik PT Singlurus Pratama di Kelurahan Margomulyo, Kutai Kartanegara. Foto: Muhibar Sobary Ardan

 

Dari Kaltim ke Pulau Obi

Berdasarkan Minerba One Map Indonesia, laman besutan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Singlurus merupakan perusahaan pemegang izin usaha pertambangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKB2B).

Izin operasi pengerukan batubara seluas 21.699 hektar itu berada di Kabupaten Paser, Balikpapan dan Kutai Kartanegara, termasuk di Kelurahan Margomulyo.

Catatan Minerba One Data Indonesia, saham Singlurus dimiliki empat perusahaan dengan berbagai bendera negara–Indonesia dan Singapura. Rinciannya.  Lanna Resources Public (company ltd) dengan saham 65%,  PT Indocoal Pratama Jaya 15%, PT Harita Jayaraya 12%  dan PT Ambhara Karya Perdana 8%.

Data catatan KESDM itu menyebutkan, PT Lanna Harita Indonesia dimiliki beberapa perusahaan, seperti Lanna Resources Public, PT Harita Mahakam Mining dan Pan-United Investment Pte. Ltd.

Laporan bertajuk Dirty Roads Electric Vehicles Trail, Environmental and Humanitarian Crime Behind The Octopus Harita Business Group, oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2023, memperlihatkan, dua perusahaan tambang terhubung dengan PT Trimegah Bangun Persada. Ini perusahaan nikel yang beroperasi di Pulau Obi,  Halmahera Selatan, Maluku Utara. Perusahaan nikel itu didirikan PT Harita Guna Dharma Bhakti atau Harita Group.

Laporan Jatam menjelaskan, salah satu pemegang saham di Harita Guna Dharma Bhakti adalah PT Harita Jayaraya–perusahaan yang memiliki saham di PT Singlurus Pratama.

Harita Jayaraya juga memiliki anak perusahaan PT Mahakam Mining, perusahaan yang memiliki saham PT Lanna Harita Indonesia. Data-data kepemilikan perusahaan itu didapatkan Jatam melalui dokumen AHU dari Kementerian Hukum dan HAM.

Rupang mengatakan,  Lanna Harita Indonesia memiliki beberapa catatan ketika beroperasi di Kalimantan Timur.  Antara lain, satu orang tewas di lubang tambang, kerusakan jalan dan banjir karena aktivitas tambang di Desa Tanah Datar,  Kutai Kartanegara.

“Lanna Harita Indonesia juga mewariskan puluhan lubang tambang,” katanya.

Dia menilai, keterhubungan antar perusahaan itu menunjukkan ada aliran dana yang mendukung aktivitas penghancuran dan daya rusak yang melibatkan lintas daerah. Baik di Pulau Obi, dengan kawasan industri nikelnya, dan Kutai Kartanegara maupun Samarinda untuk batubaranya.

“Itu aktornya adalah Harita Jayaraya,” sebut Rupang.

Menurut dia, langkah perusahaan yang memiliki banyak anak perusahaan itu untuk menutupi jejak kepemilikan dan pengendali.

Dia bilang, bisa saja pabrik smelter atau PLTU captive di Obi tidak memasok batubara langsung dari Singlurus Pratama atau Lanna Harita Indonesia. Namun, katanya,  dukungan dana dalam penyertaan modal di antara dua industri, batubara dan nikel, itu saling berkaitan.

Penjualan batubara Singlurus dan Lanna Harita Indonesia itu menghasilkan keuntungan.

“Benefitnya masuk ke industri ekstraktif nikel di Pulau Obi. Jadi,  keberadaan Jayaraya itu membuktikan pengendali akhir dari dua industri kotor Kaltim dan Maluku.”

 

Katijan menunjukkan sumber mata air. Foto: Muhibar Sobary Ardan

 

Supano, Manager External Relation PT Singlurus Pratama, mengklaim memiliki hubungan baik dengan masyarakat sekitar tambang.  Dia bilang, keluhan warga biasa disampaikan langsung kepada perusahaan.

Keluhan itu, katanya, sudah terselesaikan. Perusahaan disebut telah menjalankan aturan lingkungan sesuai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Dia mengatakan, tambang sudah berjalan dan tak ada masalah di Kelurahan Margomulyo.

“Kalau ditanya saya hanya menjawab saya menambang di konsesi Singlurus,” katanya melalui saluran telepon, 14 November lalu.

Supano membenarkan,  Harita Jayaraya memiliki saham di Singlurus Pratama. Namun, dia enggan berkomentar untuk keterhubungan perusahaan itu dengan kawasan industri nikel di Pulau Obi. Menurut dia, itu urusan perusahaan masing-masing,  tidak etis disampaikan.

Dia juga tidak bisa memastikan apakah perusahaan mengirim batubara ke Pulau Obi. Perusahaan, katanya,  telah menjalankan ketentuan domestic market obligation (DMO) dan beroperasi sesuai aturan.

“Itu juga belum tentu pasti (kirim batubara ke Pulau Obi), bisa jadi ternyata namanya bisnis saling menguntungkan. Kalau kita mau Harita yang beli, mau perusahaan yang A yang beli, yang penting untung, gitu aja,” katanya.

Selain penelitian jejak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di balik gurita bisnis Harita Group, Jatam juga ada laporan berjudul “Prospektus kebencanaan dari penambangan dan pengolahan nikel di Pulau Obi.”

 

Kawasan industri nikel di Pulau Obi. Kepulan asap pabrik dan PLTU batubara lepas ke udara. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

 

Imam Shofwan, Kepala Divisi Riset dan Database Jatam, mengatakan, ada beberapa temuan dari dua penelitian itu, seperti pemain utama bisnis di Pulau Obi adalah Harita Group.

Jaringan perusahaan Harita juga disebut memiliki beberapa sektor usaha dari sawit, batubara hingga nikel.

“Kalimantan Timur, punya tambang Harita di sana,” kata Imam kepada Mongabay,  28 November lalu.

Harita Group memiliki keterhubungan bisnis di Pulau Obi dan Kaltim. Harita Jayaraya,  memiliki saham di perusahaan Singlurus Pratama. Harita Mahakam Mining, anak perusahaan Harita Jayaraya, punya saham di Lanna Harita Indonesia.

“Artinya apa? Mereka berkolaborasi di bisnis kotor ini, bisnis ini  berkolaborasi dengan bisnis yang mereka klaim rendah karbon, kerusakan sama saja di lapangan,” kata Imam.

“Bisnis ini kolaborasi dimana-mana, merusaknya juga dimana-mana.”

Menurut dia, situasi lapangan di Pulau Obi berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan pemerintah bahwa industri nikel itu rendah karbon. Keperluan energi saja,  dari batubara dan dalam jumlah besar.

Data yang ditemukan Mongabay dari KSOP Kelas I Samarinda, ada peningkatan jumlah batubara yang dikirim ke Pulau Obi dari Kaltim. Rinciannya, sebanyak 377.170 ton pada 2019, 458.691,57 ton pada 2022 dan 754.358,25 ton per September 2023.

Imam menilai, peningkatan muatan batubara ke Pulau Obi itu untuk mendukung smelter nikel.

“Jadi, apa yang diklaim pemerintah (industri nikel) rendah karbon, fakta di lapangan sebaliknya. Masih bergantung energi kotor begitu besar.”

Ekhel Chandra Wijaya,  Media Relation and Partnerships Manager Harita Nickel, mengatakan, ihwal dampak lingkungan oleh PLTU di Pulau Obi. Perusahaan, katanya,  beroperasi di lokasi cukup sulit terjangkau hingga memerlukan pembangkit listrik batubara. Infrastruktur jaringan listrik kurang memadai.

“Meski demikian, perusahaan tetap mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan karyawan, masyarakat sekitar, dan lingkungan,” klaim Ekhel melalui pernyataan tertulis, 3 November lalu.

Dia sebut seluruh operasi perusahaan dengan prinsip dan praktik pertambangan yang baik, bertanggung jawab dan berkelanjutan.

“Kami sangat menyadari potensi polusi udara dan risiko lingkungan karena pembangkit listrik menggunakan batubara,” katanya.

Dia jelaskan beberapa inisiatif perusahaan untuk memitigasi risiko, mengurangi emisi dan meningkatkan kualitas udara, seperti menggunakan kubah penyimpanan batubara yang tertutup atau Indoor coal storage dome berukuran 600×140 meter persegi.

Langkah ini,  katanya dinilai mampu menampung sekitar 370.000 ton batubara di ruang tertutup.

“Melalui coal dome ini proses loading batubara hingga ke PLTU menjadi tertutup.”

 

Sekolah yang berada di dekat tempat penimbunan batubara di Kawasi. Lantai sekolah penuh debu batubara. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan juga menggunakan conveyor belt untuk mengurangi partikel debu dan polusi udara.

Dia juga mengatakan,  perusahaan memperoleh pasokan batubara dari beberapa perusahaan di Indonesia dalam menjalankan aktivitas di Pulau Obi.

PLTU batubara captive pun masih akan terus dibangun di Pulau Obi. Hal ini akan memperburuk masalah di pulau ini.

Pulau yang hanya seluas 2.542 kilometer persegi ini Imam nilai terlalu kecil untuk penambangan dan kawasan industri begitu besar.

Imam pun mempertanyakan komitmen pemerintah yang hendak mempensiunkan PLTU batubara tetapi pembangkit baru justru hendak dibangun di Pulau Obi.

“Efeknya sudah terasa sekali di lapangan di Kampung Kawasi, itu timbunan batubara itu sudah setinggi 15 meter. Itu ditimbun dekat sekolah dan pemukiman warga,” kata Imam.

Beberapa bulan lalu, warga dipaksa pindah dari Kampung Kawasi ke area relokasi yang disebut Eco Village. Letaknya sekitar 11 kilometer dari Kampung Kawasi.

Warga menolak tetapi dipaksa pindah.

“Caranya,  memindahkan anak-anak sekolah dulu. Anak-anak SMP-SMA itu dipindah paksa bulan lalu, itu mendapatkan penolakan keras dari warga,” kata Imam.

 

Surat keluhan dampak batubara PT Singlurus Pratama yang dikeluhkan warga. Foto: Muhibar Sobary Ardan.

********

 

*Liputan ini merupakan kolaborasi Mongabay Indonesia bersama Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam program fellowship ‘Pentingnya Phase-Out dalam Upaya Penanggulangan Krisis Iklim di Indonesia’.

 

Exit mobile version