- Kawasan industri nikel Harita Group di Pulau Obi, bergantung penuh pada energi bersumber dari batubara. Dalam tulisan pertama, memperlihatkan, debu-debu batubara terdampak dengan kehidupan dan kesehatan masyarakat sekitar.
- Berdasarkan riset Trend Asia bersama Bank Climate Advocates dan Recourse, tak terlihat ada penurunan penggunaan batubara di Kawasan Industri Pulau Obi. Sebaliknya, industri nikel ini justru menambah fasilitas dan kapasitas PLTU captive untuk menggerakkan smelter pabrik nikel.
- Dari data publikasi Global Energi Monitor (GEM) menunjukkan, masih ada total 360 MW yang akan dibangun di kawasan industri ini. Total kapasitas PLTU captive ini masih di bawah target 4.200 MW yang dipasang untuk memenuhi kebutuhan fasilitas smelter–semua masih tahap pengajuan perizinan bersama pembangkit listrik batubara di PT Obi Nickel Cobalt.
- Penambahan kapasitas PLTU captive untuk pabrik baru dan yang direncanakan, akan berpotensi meningkatkan kematian dini dan meningkatkan penyakit ISPA akibat memburuknya kualitas udara dan memperburuk kerusakan lingkungan.
Kawasan industri nikel Harita Group di Pulau Obi masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Pembangkit masih terus akan dibangun untuk memenuhi kebutuhan energi kawasan.
Berdasarkan riset Trend Asia bersama Bank Climate Advocates dan Recourse, tidak terlihat ada penurunan penggunaan batubara di kawasan industri Pulau Obi. Sebaliknya, industri nikel ini justru menambah fasilitas dan kapasitas PLTU captive untuk menggerakkan smelter pabrik.
Dalam laporan menyebut, pada pabrik berteknologi HPAL di HPL gunakan pembangkit listrik batubara kapasitas 30 MW untuk memproduksi produk bahan baku baterai. Di pabrik tahap keduanya, akan dibangun tambahan pembangkit listrik berkapasitas 60 MW dengan perkiraan selesai awal 2023.
MSP dengan pabrik feronikel berteknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) menggunakan pembangkit listrik batubara kapasitas 114 MW. Ia untuk ggerakkan produksi feronikel berkapasitas 25.000 ton per tahun.
Di smelter feronikel tahap pertama HJF–baru resmi beroperasi akhir 2022—pakai PLTU berkapasitas 2×150 MW. Kemudian, smelter tahap keduanya sedang membangun PLTU dengan kapasitas 4×150 MW.
Pembangkit listrik ini akan menggerakkan delapan jalur produksi produk feronikel berteknologi RKEF di HJF dengan kapasitas produksi 95.000 ton per tahun.
Dalam dokumen perusahaan, PT Pesona Khatulistiwa Nusantara (PKN), pertambangan batubara di Kalimantan Utara diatur jadi pemasok “batubara eksklusif” ke kawasan industri. PKN terafiliasi dengan Hasta Panca Mandiri Utama yang terhubung bisnis dengan induk TBP, PT Harita Jayaraya.
Donald J Hemanus, tercatat sebagai presiden direktur di PKN dan komisaris utama di TBP.
Sementara pabrik baru, PT Obi Nickel Cobalt (ONC) berteknologi HPAL untuk produksi bahan baku baterai atau produk MHP–bareng HPL–juga bakal dilengkapi pembangkit listrik batubara berkapasitas 4×380 MW. Konstruksinya sedang berjalan di bawah tender perusahaan asal Tiongkok, China Energy Construction.
Dari data publikasi Global Energi Monitor (GEM) menunjukkan, masih ada total 360 MW yang akan dibangun di kawasan industri ini. Total kapasitas PLTU captive ini masih di bawah target 4.200 MW yang dipasang untuk memenuhi kebutuhan fasilitas smelter–semua masih tahap pengajuan perizinan bersama pembangkit listrik batubara di PT Obi Nickel Cobalt .
Baca juga: Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [1]
Apa kata perusahaan?
Ekhel Chandra Wijaya, Media Relations and Partnership Manager Harita Nickel, mengatakan, perusahaan menyadari potensi polusi udara dan risiko lingkungan dari pembangkit listrik batubara. Namun, katanya, energi fosil itu tetap digunakan karena kurangnya infrastruktur jaringan listrik yang memadai.
Soal angka penyakit ISPA, katanya, sudah ditemui di Pulau Obi sebelum TBP beroperasi. Penyakit ini, katanya sudah lama dan terus menjadi salah satu penyakit yang paling banyak di Desa Kawasi.
Berdasarkan statistik kesehatan Desa Kawasi 2023 sampai September mencatat, rata-rata 30 kasus per bulan, pada September 2023 dengan 14 kasus ISPA.
“Jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata kasus ISPA selama periode Januari-September 2023,” klaim Ekhel, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima 4 November lalu.
Dia bilang, untuk mitigasi risiko, mengurangi emisi, dan meningkatkan kualitas lingkungan, perusahaan lakukan beberapa hal, antara lain, gunakan kubah penyimpanan batubara, dan memakai ban berjalan angkut batubara. Juga, pakai filter electrostatic precipitator (ESP) yang disebut mampu menangkap 98,8% debu sebelum keluar dari cerobong PLTU atau smelter.
Mereka, katanya, juga gunakan sistem pemantauan emisi berkelanjutan (continuous emission monitoring system/ CEMS) yang memudahkan mengevaluasi tingkat kepatuhan terhadap kualitas udara.
“Hasil pemantauan menunjukkan mutu udara yang tidak melebihi baku mutu ambien kualitas udara di Desa Kawasi,” kata Ekhel.
Kubah penyimpanan batubara, katanya, mampu menampung sekitar 370.000 ton batubara dalam ruang tertutup. Kubah itu meminimalisir polusi udara dan batubara agar tidak terbawa angin.
Soal pencemaran air, Ekhel klaim, warga masih menggunakan sumber air bersih yang sama sebelum perusahaan beroperasi. Perusahaan, katanya, terus memantau kualitas mata air dan hasil analisis selama lebih 10 tahun pada 2013-2023. Hasilnya, kualitas air sesuai baku mutu pemerintah.
Ekhel bilang, perusahaan menerapkan beberapa inisiatif pengurangan emisi dan penggunaan energi terbarukan. Dalam pengelolaan nikel, mereka pakai metode rendah emisi. Salah satu, dia mengklaim, intensitas emisi rendah dari operasional pemurnian bijih nikel.
Sisi lain, perusahaan sedang mengembangkan fasilitas tenaga surya berkapasitas 300 MWp sebagai tahap awal mengurangi ketergantungan pada energi berbasis batubara. Pembangkit itu, katanya, mulai beroperasi pada 2025.
“Perusahaan sedang dan terus menjajaki semua teknologi yang tersedia untuk mengurangi emisi. Secara bertahap akan menerapkan inisiatif energi terbarukan seiring tersedianya peluang baru.”
Narasi palsu
Novita Indri, Juru Kampanye Program Trend Asia–organisasi masyarakat sipil yang fokus riset dan kampanye transisi energi di Asia–mengatakan, kebutuhan batubara untuk pabrik nikel di kawasan industri Harita Group kemungkinan jauh lebih tinggi dari data yang mereka olah.
“Bisa jadi [kebutuhan batubara] jauh lebih besar. Karena kebutuhan suplai listrik untuk industri itu sangat besar, banyak dan butuh energi yang benar-benar stabil. Maka itu di kawasan industri itu yang paling banyak dikonsumsi adalah batubara,” katanya.
Kalau melihat prospek perluasan bisnis di kawasan industri nikel Harita Group, belakangan makin besar dengan penambahan pabrik beserta infrastruktur lain.
Novita khawatir, perluasan ini akan diikuti permintaan kebutuhan batubara yang besar.
Penambahan kapasitas PLTU captive untuk pabrik yang baru dan direncanakan, kata Novita, akan berpotensi meningkatkan kematian dini dan penyakit ISPA akibat memburuknya kualitas udara dan memperburuk kerusakan lingkungan.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam mengatakan, daya rusak di Kawasi, tempat industri nikel Harita beroperasi dibiarkan tanpa ada pemulihan serius baik ekosistem maupun ruang hidup warga.
Dengan menambah fasilitas pabrik berikut kapasitas PLTU batubara sama dengan menambah laju kerusakan di Pulau Obi dan sekitar.
Fasilitas industri yang disiapkan dia nilai sekadar mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya, saat bersamaan menambah derita bagi warga, dan lingkungan. “Ini kabar baik bagi korporasi, ini kabar buruk bagi warga Kawasi,” kata Melky.
Penggunaan batubara dalam bisnis industri nikel menjadi masalah di tengah kampanye kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai solusi krisis iklim.
Kendaraan yang diharapkan rendah karbon, justru daya rusak tinggi kalau lihat dari seluruh rantai produksi hulu-hilir.
Melky mengatakan, kampanye kendaraan listrik bebas emisi dan ramah lingkungan adalah narasi sesat yang digembar-gemborkan.
Kendaraan listrik, kata Melky, bukan solusi keluar dari krisis iklim dan beralih dari energi fosil, justru menjadi masalah baru.
“Karena sumber bahan bakarnya dari energi fosil, kita beralih ke kendaraan listrik. Padahal, model dan bentuknya sama saja, daya rusaknya sama, hanya berpindah tempat keruk dan memangsa pulau lain.”
Pemerintah, kata Novita, lupa melihat secara utuh rantai produksi kendaraan listrik mulai hulu di penambangan, sampai rantai produksi di smelter sebagai bahan baku baterai. Kalau dikalkulasi, emisi justru sangat besar.
“Itu yang lupa disampaikan pemerintah kepada publik, bahwa, oke, kendaraan listrik mungkin bersih di pemakaian, tapi lupa, ternyata rantai produksi juga masih belum bersih.”
Trend Asia mencatat, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari kawasan industri nikel Pulau Obi mencapai 3.49.944 ton emisi karbon dioksida (CO2e) pada 2022, setara dengan enam kali lipat emisi Timor Leste pada 2021.
Data ini sekaligus membantah klaim perusahaan bahwa emisi yang dihasilkan dari operasional pemurnian bijih nikel rendah.
Lembaga pendana
Kawasan industri nikel di Pulau Obi ini dibiayai oleh sejumlah bank internasional dan domestik–yang terlibat langsung maupun tidak langsung untuk pengembangan proyek hilirisasi nikel.
Dari catatan keuangan perusahaan yang diperiksa Trend Asia, terdapat Bank Oversea-Chinese Banking Corporation Limited (OCBC) NISP Tbk, DBS Bank Ltd, dan KEB Hana. Ketiga bank ini adalah klien International Finance Corporation (IFC), yang merupakan anggota kelompok Bank Dunia.
Tiga klien IFC itu membiayai industri nikel Harita Group sejak Desember 2016 hingga Januari 2023. Dana ratusan juta dolar Amerika Serikat yang keluar dari kantong IFC dipakai membiayai industri ekstraktif yang berisiko lingkungan dan sosial yang dilarang dalam standar kerja Lembaga itu.
Bank-bank itu disebut telah melanggar semangat komitmen pendekatan ekuitas hijau IFC dengan terlibat dalam kegiatan berisiko tinggi yang akan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi, yang akan memperparah perubahan iklim. Juga, berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, kesehatan dan keselamatan masyarakat, dan keanekaragaman hayati di Pulau Obi.
Melky mengatakan, bank-bank internasional mesti mengevaluasi skema pendanaan mereka selama ini, termasuk ke kawasan industri nikel di Pulau Obi. Duit yang mereka alirkan justru dipakai untuk menghancurkan ruang hidup warga berikut mengusir mereka dari kampung.
“Skema pembiayaan seperti ini juga harus dievaluasi. Yang terjadi di Pulau Obi, jejak kerusakan luar biasa, berjangka panjang, berkelanjutan, jadi skala kolosal,” katanya.
Trend Asia mendesak, IFC menutup celah yang memungkinkan mereka salurkan pembiyaake industri nikel yang bergantung pada batubara, berkarbon tinggi, serta merusak lingkungan dan sosial.
Melky juga mengingatkan, kepada pasar-pasar internasional untuk tak membeli produk-produk nikel dari Indonesia yang seluruh rantai proses punya jejak emisi, sampai pelanggaran hak asasi manusia luar biasa.
“Hingga pasar global yang membeli produk-produk ini, secara tidak langsung terlibat dalam seluruh rangkaian kejahatan terhadap warga dan lingkungan itu sendiri.”
***
Ketika datang ke Obi, sulit melihat langit cerah tanpa kabut asap dan suara bising. Jalanan di sepanjang pemukiman juga berlubang dan penuh air saat hujan, berdebu saat panas–tanpa ada perbaikan.
Warga menduga, kerusakan dan lingkungan yang kotor di pemukiman sengaja tak diperbaiki untuk mengusir mereka perlahan-lahan dari kampung ke ecovillage atau pemukiman baru yang dibangun perusahaan berjarak sekitar lima kilometer.
“Sekarang, tong tinggal dapa usir. Tapi sampe dapa usir, akan ada kejadian besar. Tong tara akan pindah. Mati, kong mati!,” warga Yulius. (Selesai)
*Liputan ini merupakan kolaborasi Mongabay Indonesia bersama Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam program fellowship ‘Pentingnya Phase-Out dalam Upaya Penanggulangan Krisis Iklim di Indonesia’.
******