Mongabay.co.id

Tantangan Menjaga Stabilitas Kualitas Produk Perikanan Budi daya Nasional

 

Tidak banyak negara di dunia yang mampu bersaing secara bagus di pasar perikanan budi daya internasional. Produk yang berkualitas, menjadi salah satu tolok ukur kemampuan sebuah negara bisa menembus persaingan atau tidak.

Sebagai negara yang sudah mengembangkan perikanan budi daya sebagai subsektor unggulan, Indonesia sudah melakukan berbagai cara dan upaya untuk mengembangkannya. Semuanya bermuara agar Indonesia bisa bersaing sebagai negara unggulan di pasar global.

Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia itu, di antaranya adalah dengan fokus menjaga kualitas produk perikanan budi daya melalui sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB). Cara tersebut diyakini akan bisa membawa Indonesia pada level lebih baik dari sekarang ini.

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tb Haeru Rahayu mengatakan, sertifikasi CPIB terus didorong untuk dilakukan para pelaku usaha, salah satunya karena itu diyakini bisa menjadi senjata sangat efektif dan efisien dalam pengembangan usaha.

“Itu jadi senjata bersaing di pasar global,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Keyakinan tersebut yang mendorong Pemerintah untuk melakukan percepatan sertifikasi CPIB bagi usaha perikanan budi daya di seluruh Indonesia. KKP tidak mau berdiam diri, dan memilih untuk melakukan pengejaran secara aktif kepada seluruh pelaku usaha.

Upaya agar percepatan bisa berjalan baik, adalah dengan menggelar beragam bentuk sosialisasi yang diharapkan bisa meningkatkan pemahaman para pelaku usaha. Termasuk, para pembenih di pusat pembenihan atau hatchery, auditor, dan pemerintah daerah.

baca : Teknologi Ini Percepat Produksi Benih Ikan Berkelanjutan

 

Pembenihan ikan kakap putih di Balai Perikanan Budi daya Laut (BPBL) Batam, Kepulauan Riau. Foto : KKP

 

Dia menerangkan, selain sebagai senjata untuk bisa memenuhi permintaan benih ikan di pasar global, sertifikasi CPIB juga menjadi bagian dari perangkat penting dalam melaksanakan kegiatan usaha perikanan budi daya yang berkelanjutan.

Lebih dari itu, sertifikasi CPIB juga diyakini bisa meningkatkan efisiensi produksi dan produktivitas perikanan budi daya. Hal itu menjadikan sertifikasi CPIB sebagai satu instrumen penting yang wajib ditaati oleh para pelaku usaha pembenihan.

Tb Haeru Rahayu mengatakan, jika pelaku usaha mematuhi syarat untuk bisa mendapatkan sertifikat CPIB, maka mereka akan bisa mendapatkan produk berkualitas tinggi dan sesuai dengan permintaan pasar dunia.

Itu berarti, sertifikasi CPIB akan memberi keuntungan yang besar kepada para pelaku usaha perikanan. Mengingat, akan muncul benih ikan atau pun udang yang berkualitas dan bermutu, seperti yang diharapkan para pelaku usaha dan konsumen.

“Kalau benih ikan atau udangnya bermutu, maka keberhasilan usaha budi dayanya juga tercapai,” jelasnya.

Melihat ada dampak positif yang akan didapat para pelaku usaha, dia mengingatkan kepada para pihak terkait untuk tidak memandang negatif upaya percepatan sertifikasi CPIB yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Tegasnya, Pemerintah tidak mengambil keuntungan dari sertifikasi CPIB.

Namun menurut Tb Haeru Rahayu, sebesar apa pun upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mempercepat sertifikasi CPIB kepada seluruh pelaku usaha, Pemerintah Daerah tetap memegang peran yang sangat penting untuk melaksanakan percepatan tersebut.

Menerapkan CPIB, berarti juga memastikan pasokan benih yang dibutuhkan para pelaku usaha selalu tetap ada dan terjamin kualitasnya. Tugas tersebut juga tidak mudah, karena memproduksi induk unggul dan benih yang bermutu saat ini menjadi tantangan yang harus dilewati Pemerintah.

baca juga : Teknologi HSRT, Inovasi Pembenihan Ikan untuk Skala Rakyat

 

Benih ikan dewa atau Tor Soro, ikan endemik di Dusun Margamukti, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Agar bisa menghasilkan produksi induk unggul dan benih yang bermutu, harus ada kerja sama yang kuat dan berkesinambungan antara Pemerintah dengan pemangku kepentingan di pusat dan daerah, akademisi, dan lembaga riset. Tujuannya, agar pengembangan teknologi dan pemuliaan unggul bisa terwujud.

Tantangan tersebut tidak mudah, namun diyakini oleh Tb Haeru Rahayu akan bisa mendorong pencapaian target produksi perikanan budi daya nasional. Untuk itu, dukungan dari banyak pihak sangat diperlukan dalam pemenuhan produksi dan kebutuhan induk unggul dan benih bermutu tinggi.

KKP sebagai regulator akan menyiapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dibutuhkan untuk membuat pedoman yang bisa diterapkan di lapangan. Sementara, jejaring perbenihan nasional akan bertugas untuk peningkatan mutu calon induk, induk, dan benih ikan.

Jejaring ini sudah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Jejaring Perbenihan Nasional. Dia berharap, jejaring dapat menumbuhkan ekosistem logistik penyediaan benih dan induk yang efektif, efisien, komprehensif.

“Serta selaras dalam pengambilan kebijakan baik di level pusat hingga ke daerah,” pungkasnya.

Direktur Perbenihan KKP Nono Hartanto mengatakan kalau jejaring perbenihan nasional adalah gabungan unsur pemerintah pusat dan daerah, dan diharapkan ada unsur dari akademisi, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Para pihak tersebut diharapkan bisa sama-sama berkomitmen untuk fokus mengembangkan teknologi, dan pemuliaan induk unggul untuk meningkatkan efisiensi budi daya. Juga, untuk meningkatkan produksi benih bermutu yang beredar di masyarakat.

Sementara, tentang upaya percepatan sertifikasi CPIB di Indonesia, dia juga memberikan analisisnya. Menurutnya, untuk bisa mempercepat sertifikasi CPIB di level pelaku usaha, diperlukan tenaga penyuluh perikanan yang bagus.

baca juga : Pengembangan Logistik Induk dan Benih Nasional untuk Perikanan Budi daya

 

Penebaran benih ikan endemik di Danau Tamblingan, Bali sebagai salah satu cara menjaga dan melestarikan ikan endemik dari kepunahan sekaligus menjamin ketahanan pangan. Foto : KKP

 

Namun, mengandalkan tenaga penyuluh perikanan yang bagus saja tetap dinilai tidak akan cukup. Dibutuhkan tenaga dari petugas-petugas yang bekerja pada pemerintah daerah, agar proses percepatan sertifikasi bisa berjalan sesuai harapan.

Tetapi, agar para petugas dari pemerintah daerah bisa bekerja dan memandu proses sertifikasi CPIB dengan baik, maka mereka harus bisa mendapatkan sertifikasi manajemen pengendalian mutu (MPM). Jika petugas dengan sertifikasi MPM meningkat, maka hatchery yang melakukan sertifikasi juga diyakini akan meningkat.

“Karena untuk sertifikasi CPIB ini berbeda dengan sertifikasi Cara Budi daya Ikan yang Baik (CBIB). Kalau CPIB mensyaratkan harus ada MPM di dalamnya, sebagai manajer bagaimana mengendalikan produk benih,” terang dia.

 

CPIB dan Sertifikasi Lain

Walau memiliki perbedaan dengan CPIB, CBIB tetap menjadi satu instrumen penting bagi Pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk perikanan budi daya di pasar global. CBIB menjadi satu dari beberapa sertifikasi yang menjadi bagian dari tata kelola produksi perikanan.

Selain CPIB dan CBIB, ada juga sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB), Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB), Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik (CPOIB), dan Cara Distribusi Obat Ikan yang Baik (CDOIB).

Pada kesempatan sebelumnya, Tb Haeru Rahayu menerangkan kalau CBIB juga menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi para pelaku usaha untuk menjalankan usaha perikanan budi daya. Syarat tersebut harus dipenuhi, karena bisa meningkatkan nilai ekspor produk perikanan budi daya nasional.

Guru Besar Ilmu Akuakultur IPB University Sukenda menjelaskan bahwa penerapan CBIB pada usaha budi daya perikanan sudah menjadi kebutuhan dan bukan sekedar pelengkap. CBIB akan menjamin terjaganya empat aspek, yaitu keamanan pangan, tanggung jawab lingkungan, tanggung jawab sosial, dan ketertelusuran.

CBIB juga penting, karena menjadi persyaratan dan kewajiban pelaku usaha sesuai aturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian, penerapan CBIB juga menjadi wajib, karena bisa meningkatkan daya saing produk akuakultur di pasar dunia, dan bisa meningkatkan mutu dan produktivitas masyarakat pembudi daya.

“Peningkatan quality control agar kita bisa bersaing secara global. Makanya, CBIB itu mutlak harus dilakukan oleh semua pembudidaya kita,” terangnya.

baca juga : Perikanan Budi daya, antara Ekologi dan Ekonomi

 

Para bekerja tengah memberikan pakan udang di tambak Budi daya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kebumen, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Agar peningkatan quality control bisa berjalan baik, harus ada pendampingan yang rutin para pembudi daya, mengintroduksi pentingnya CBIB, dan terus lakukan monitoring hingga semua pembudi daya bisa melakukan dengan baik.

“Kemudian beri mereka tanda bahwa mereka telah menerapkan CBIB dengan sertifikat CBIB,” tambah dia.

Selain melalui sertifikasi, menjaga kualitas produk perikanan budi daya juga dilakukan melalui penggunaan pakan ikan mandiri. Program tersebut sudah berjalan selama beberapa tahun terakhir, dan terus dikuatkan pada tahun ini dan akan datang.

Pakan ikan menjadi salah satu komponen terpenting dalam kegiatan usaha budi daya perikanan, karena bisa menentukan kuantitas dan kualitas produksi. Namun, pakan ikan yang beredar saat ini sebagian besar masih menggunakan bahan baku dari negara lain.

Bahan baku yang didominasi impor tersebut membuat harga pakan ikan di pasar lokal menjadi mahal. Padahal, pakan ikan mendominasi biaya produksi perikanan budi daya, dengan kisaran mencapai 60-70 persen dari total biaya produksi.

KKP sendiri sudah menyiapkan dua strategi agar produksi pakan ikan mandiri tidak hanya berjalan sebentar saja, melainkan bisa bertahan lama tanpa batasan waktu. Keduanya, adalah strategi jangka menengah selama 2021-2024 dan jangka panjang selama 2025-2045.

Strategi jangka menengah berjalan dengan fokus mencari bahan baku lokal dan manajemen pakan yang efisien. Sementara, strategi jangka panjang berjalan dengan fokus pada penggunaan bahan baku nabati dan lokal sesuai dengan nutrisi spesifik komoditas.

Selain itu, juga untuk memastikan ketertelusuran pakan dalam penerapan menyeluruh untuk sertifikasi pakan (CPPIB) dan pendaftaran pakan. Tujuannya, terwujud produksi pakan yang ramah lingkungan, dan tidak merusak ekologi. Diharapkan, pada 2045 nanti Indonesia sudah bisa swasembada pakan ikan nabati.

Diketahui, hingga Oktober 2023 terdapat 1.631 merek pakan ikan yang terdaftar di KKP, dengan 605 merek adalah berasal dari produsen pakan ikan impor. Sementara, untuk pakan ikan lokal atau mandiri jumlahnya sebanyak 1.026 merek. Baik impor atau lokal sama-sama komposisinya terdiri dari pakan udang dengan 33 persen dan pakan ikan dengan 67 persen.

baca juga : Prinsip Keberlanjutan dalam Praktik Perikanan Budi daya

 

Seorang pekerja tengah memberikan makanan ikan di keramba jaring apung yang ada di Danau Toba. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

 

Guru Besar Nutrisi Ikan IPB University Dedi Jusadi mengatakan kalau fokus jangka panjang kepada pakan ikan dengan bahan baku nabati dan lokal menjadi kebijakan yang tepat, karena sesuai dengan nutrisi spesifik komoditas perikanan budi daya.

Fokus tersebut juga sangat bagus untuk pemenuhan kebutuhan pakan ikan yang diyakini akan terus meningkat pada masa mendatang. Peningkatan tersebut akan membuat kebutuhan pakan ikan di dalam negeri mengalami peningkatan.

“Kondisi demikian akan memicu meningkatnya persaingan bahan baku dengan negara-negara produsen pakan,” ungkap dia.

Saat persaingan bahan baku pakan ikan terjadi, maka di saat yang sama Indonesia harus bisa mengembangkan pakan ikan mandiri dengan bahan baku berbasis perairan. Kriteria bahan baku tersebut di antaranya tidak berkompetisi dengan kepentingan manusia, dapat menyerap nutrien, dan dapat diproduksi secara massal.

Dia menyebutkan, di antara bahan baku yang bisa dikembangkan adalah Ulva atau Selada Laut yang merupakan jenis rumput laut hijau (Chlorophyta) dan tersebar di berbagai perairan Indonesia. Menurut dia, Ulva dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor.

Dedi Jusadi menjelaskan kalau Ulva potensial untuk dibudidayakan pada skala komersial di perairan pesisir Indonesia, terutama untuk memanfaatkan tambak-tambak terbengkalai (idle), atau terintegrasi sebagai fitoremediator.

Fitoremediator sendiri adalah istilah yang merujuk pada tumbuhan baik yang seperti herba, semak atau pohon, dan dapat berfungsi dalam menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi.

“Pengembangan budi daya Ulva perlu diinisiasi oleh pemerintah bersama-sama perguruan tinggi, lembaga riset, dan stakeholder lainnya,” papar dia.

Seperti diketahui, pada 2024 nanti Pemerintah Indonesia mematok target subsektor perikanan budi daya bisa mencapai produksi sebanyak 22,65 juta ton. Sebanyak 45,56 persen dari total target produksi itu, diharapkan bisa diwujudkan dari produksi ikan dan udang. Itu artinya, diperkirakan akan diperlukan pakan ikan sedikitnya sebanyak 13,37 juta ton. (***)

 

Exit mobile version