Mongabay.co.id

Doni Monardo, Jenderal Pohon itu Telah Pergi

 

Pohon damar (Agathis dammara) setinggi 4 meter itu terakhir dikunjungi Doni Monardo Maret 2022 lalu. Di kaki Gunung Wayang, pohon itu tumbuh bersama pohon langka endemik Jawa Barat seperti manglid (Manglietia glauca Bl) yang ditanam Presiden Jokowi tahun 2018.

Tempat itu ibarat rendezvous yang bakal dikangeni sekaligus disegani. Mungkin setelah Program Citarum Harum usai pada 2025 mendatang. Sebagaimana diketahui, embrio komitmen pemerintah untuk perbaikan sungai secara holistik lahir di sana.

“Yang kata orang bilang mustahil menghijaukan hutan di Hulu Citarum, sekarang harapan itu perlahan muncul,” kata Purnawirawan bintang tiga di hadapan prajurit di Sektor 21 Citarum Harum Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat itu.

Barangkali, bagi Doni, menanam adalah keharusan. Bukti dari keharusan itu adalah lahirnya pembibitan Paguyuban Budidaya Trembesi (Budiasi) di Sentul, Kabupaten Bogor.

Entah kapan pembibitan itu dibikin Doni. Yang jelas, sejak Doni menjabat Komandan Jenderal Kopassus tahun 2014, sudah mulai mencoba membibitkan pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) di sana.

Sedikitnya ada 140 jenis pohon dibibitkan, mulai dari pohon buah hingga pohon hutan. Dan di tahun itu, sudah lebih dari enam juta bibit pohon dikirim ke Aceh hingga Papua.

“Tanam pohon itu pekerjaan saya, tentara adalah hobi,” canda Doni seperti dikutip dari Kompas Edisi 8 April 2015 lalu.

baca : Doni Monardo: Tangani Bencana Perlu Kerja Bersama

 

Letjen Purn Doni Monardo melihat pohon yang dia tanam di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (26/3/2022) lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Lewat penanaman, Doni berperan penting menjembatani persahabatan Indonesia dengan Timor Leste. Setidaknya melalui 26.000 bibit pohon, seperti sengon, trembesi, nangkadak, ketapang, cendana, dan mahoni, Indonesia membantu penghijauan lahan kritis untuk menjaga ketersediaan air dan pangan mereka.

Penyerahan bibit pohon diselenggarakan di kebun bibit seluas 2,5 hektar di Distrik Liquisa, sekitar 45 kilometer barat Dili. Semua bibit dikirimkan dengan menggunakan dua kapal perang dan pesawat C-130 Hercules.

Tak hanya itu, Doni mengusulkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menempatkan sejumlah tenaga ahli kehutanan lewat Paguyuban Budiasi untuk melatih masyarakat setempat merawat pohon. Mereka diajarkan bagaimana memproduksi bibit agar penghijaun bisa lebih meluas. Tercatat 50.000 bibit berhasil disediakan di kebun tersebut.

Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menjadi salah satu yang menyaksikan bagaimana hubungan bilateral terjalin atas nama pohon. Menurutnya, diplomasi itu hasil kreatifitas serdadu perang yang unik karena mengedepankan kemanusiaan.

Apalagi, katanya, kerja sama dilakukan lebih substantif demi menjembatani upaya rekonsiliasi antara Indonesia dan Timor Leste. Diharapkan pemerintah bisa menerapkan hal serupa di daerah konflik di dalam negeri.

“Pak Doni ini selain piawai dalam ahli strategi militer, dia punya keseriusan lebih terhadap isu lingkungan hidup terutama pohon,” ujar Hendardi mengenang perjumpaan dengan Doni Monardo saat dihubungi Mongabay-Indonesia, Senin (04/12/2023).

baca juga : Wawancara Doni Monardo: Mitigasi Vegetasi di Wilayah Rawan Bencana

 

Doni Monardo bersama Presiden Joko Widodo saat menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi. Dok: istimewa

 

Awalnya, Hendardi meragu. Ada tentara yang serius tergerak memperbaiki lingkungan hidup. Tapi kemudian sikap itu luntur ketika sering bertemu.

“Di Maluku, ketika menjabat Pangdam XVI/Pattimura, Pak Doni berhasil menangani konflik dengan diplomasi pohon. Di situ saya kagum dengan sosok dan integritasnya,” imbuh Hendardi. “Pak Doni ini baik ke semua orang termasuk bagi kami yang berlatarbelakang civil society.”

Doni memang berhasil mendamaikan Desa Mamala dan Morella di Kabupaten Maluku Tengah memiliki sejarah konflik berkepanjangan. Hampir setiap bulan selalu saja ada korban, termasuk pihak keamanan yang berjaga di perbatasan dua desa itu.

Di sana, Doni bertugas sekitar 2 tahun 3 bulan di Maluku dan Maluku Utara. Berkat jasa dan kebaikannya, dia diberi gelar Kapitan atau panglima perang dalam kosmologi budaya Maluku.

Konflik sosial ditenggarai sebagai biang konflik. Untuk itu emas biru dan emas hijau digagas. Dan nyatanya, program itu awalnya untuk mendamaikan desa-desa yang terlibat konflik selama bertahun-tahun. Doni menamakan perdamaian itu sebagai perdamaian alamiah.

Pengelolaan tanaman keras dan buah dinamakan Emas Hijau, sedangkan keramba tancap dan keramba jaring apung disebut Emas Biru. Program itu merupakan inisiatif Doni Monardo yang memimpin Kodam Pattimura sejak Agustus 2015.

Menurut Doni, tanpa perlu mengeruk kekayaan dari dalam tanah seperti tambang, potensi di atas permukaan tanah dan di laut sudah bisa menjamin kesejahteraan masyarakat. Syaratnya adalah jika dikelola dengan baik.

Kini, program itu sudah diadopsi kedua Pemda setempat. Ada 48 hektar di Batalyon Kabaresi sudah ditanami 11.907 tanaman buah dan 6.058 tanaman keras. Tanaman buah berupa jeruk, sirsak, durian, dan sukun, sedangkan tanaman keras antara lain samama, kecapi, kayu besi, dan linggua. Di areal itu juga ditanami aneka tanaman hortikultura yang digarap petani setempat. Lokasi itu diresmikan pada Januari 2017.

baca juga : Nilai Doni Monardo Konsisten pada Isu Lingkungan Hidup, IPB University Anugerahi Doktor Kehormatan

 

Doni Monardo dalam sebuah acara penanaman pohon. Foto: Een Irawan Putra

 

Seorang pemimpin

Meski aktif lama di dunia militer, Doni dikenal sebagai pemimpin yang humanis dan pecinta lingkungan. Perilaku itu terbentuk dari gemblengan tugas militer di daerah-daerah rawan konflik. Selama bertugas Doni lebih mengedepankan kemanusian daripada kekerasan sebagai filosofi hidupnya.

Dan mungkin tidak banyak yang tahu, Doni dikenal sebagai tentara yang rajin menanam pohon di kawasan militer dimana dia ditugaskan. Tak heran jika Doni kerap menjadi inisiator penghijauan dan penanaman pohon di lahan kritis.

Semangat Doni menjadi pelita bagi upaya pemulihan Sungai Citarum. Sejak menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi.

Ketika itu, dunia menyoroti sungai sepanjang 297 kilometer sebagai sungai paling berpolutan. Bahkan dikategorikan salah satu sungai terkotor yang ada di Bumi.

“Berapa rupiah yang dikeluarkan masyarakat hanya untuk membeli air karena sungai tercemar dan hutan yang gundul?” Demikianlah Doni Monardo yang selalu membuka rapat koordinasi Citarum dengan mempertanyakan nasib warga.

Hanya bertugas selama 4 bulan di Bumi Pasundan. Doni berhasil mengukuhkan kolaborasi pemulihan secara pentahelix lewat Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Citarum, saat ini Sungai Citarum sudah menunjukan perbaikan. Salah satu indikatornya adalah kualitas air yang tadinya tercemar berat menjadi rendah.

Hasil itu tidak lepas dari “penindakan” oleh Satgas Citarum. Setidaknya ada 3.000 pabrik di tepi sungai sepanjang terpanjang di Jabar ini. Sekitar 1.500 industri diantaranya berada di cekungan Bandung dan memproduksi limbah hingga 2.800 ton per hari yang kerap langsung dibuang ke sungai. Limbah itu mengandung zat berbahaya, seperti kadmium, tembaga, nikel, timbal, dan arsenik.

baca juga : Buku: Doni dan Catatan Kisahnya buat Jaga Alam Indonesia

 

Letjen (Purn) Doni Monardo memberikan arahan dalam Bela Negara Menjaga Citarum yang diinisiasi oleh Satgas Citarum Harum di Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tahun 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bagi Brigadir Jenderal (Purn) Purwadi mantan Komandan Sektor 7 Citarum Harum, keberadaan payung hukum itu memberi nafas dan tenaga. Dia mengaku diperintahkan “menyikat” pencemar ke Sungai Citarum

“Dibawah kepemimpimnan beliau (Doni Monardo), kami diminta agar tulus pengabdian dan jangan sekali-kali mengkhianati rakyatmu,” kenang Purwadi

 

Menjalin Pertemanan Melalui Tanaman

Petualangan Doni berlanjut. Ketika menjadi Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), diplomasi pohon masih dipakai.

Doni mendorong keragaman jenis vegetasi di Tanah Air dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi risiko bencana. Katanya, sebagai daerah dengan kerawanan bencana yang tinggi, mitigasi berbasis ekosistem perlu didorong sebagai strategi utama.

Pemikiran seorang Letnan Jenderal itu berujung penerimaan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari IPB University. Sosoknya dinilai melakukan pengabdian dan jasa luar biasa bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pendidikan, pembangunan pertanian dalam arti luas, serta kemanusiaan.

Dalam orasi ilmiah berjudul “Model Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Lingkungan” Doni telaten menyebutkan tumbuhan yang mujarab sebagai benteng alami sekaligus juga menjadi sumber pangan lokal.

Sejumlah tanaman yang bisa dimanfaatkan, antara lain, sukun, alpukat, dan kopi. Tanaman tersebut dapat ditanam untuk mitigasi tanah longsor di permukaan tanah dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Pohon laban, sagu, dan aren pun bisa dimanfaatkan untuk menghindari kerusakan tanah akibat kebakaran hutan dan lahan.

Dengan penuh percaya diri, dia berdiri di mimbar dan mengemukakan pemikirannya tentang mitigasi berbasis ekosistem. Apalagi, indonesia memiliki banyak jenis tanaman yang bermanfaat untuk mengurangi timbulnya risiko korban jiwa saat terjadi bencana.

Lewat suaranya yang lantang, artikulasi dari setiap kata- kata yang keluar dari mulut sangat jelas, gagasannya meluncur dengan cerdas dan tangkas. “Alam jaga kita, kita jaga alam” demikian jargon yang selalu dia gaungkan pada setiap kesempatan.

baca juga : Reuni Para Jenderal di Kaki Wayang (Bagian 2)

 

Kebersamaan Letjen (Purn) Doni Monardo bersama istri Santi Ariviani Monardo di kawasan hutan di Situ Cisanti, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tahun 2018. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Walaupun pangkat terakhirnya letnan jenderal, sosok berdarah Lintau, Sumatera Barat, kelahiran Cimahi, 10 Mei 1963, lebih dekat dengan dunia konservasi daripada medan tempur. Pemikirannya jernih dan lugas, terutama dalam soal pertahanan keamanan dan sumber daya alam.

Dibalik gelar doktor kehormatan yang diterima, Stafsus Letjen Doni Monardo, Een Irawan Putra, berkisah bahwa Doni sosok rendah hati dan dermawan. Dia suka bagi-bagi bibit pohon secara gratis kepada siapa saja yang memerlukan.

Bagi-bagi bibit bukan sekadar tentang pemberian pohon gratis, melainkan mengenai semangat warga menyelamatkan lingkungan. Awalnya kegiatan ini berangkat dari pengalaman personal seorang prajurit, lalu meluas menjadi gerakan bersama yang melibatkan banyak pihak.

“Pak Doni lebih dikenal sebagai Jenderal Pohon,” terang Een. “Dan pohon trembesi menjadi pohon kesukaannya.”

Een menuturkan, Doni percaya trembesi atau ki hujan ini punya keajaiban. Tanaman dengan nama latin Samanea saman dianggap ibarat pohon die hard. Tanaman ini bisa hidup di lahan berbatu, kering, basah, bahkan di tanah dengan keasaman yang tinggi.

Konon pohon raksasa trembesi yang ada di halaman Istana Kepresidenan di Jakarta ditanam tahun 1870. Penguasa Kerajaan Belanda yang berkantor di tempat itu, pada masa itu, adalah Gubernur Jenderal Pieter Mijer. Trembesi itu kini menjadi bagian dari sejarah Istana.

Pohon ini dikenal sebagai penyedot CO2 atau karbon dioksida di udara. Trembesi mampu menyerap sekitar 28,5 ton gas karbon dioksida. Pohon ini pun dinilai cocok untuk penghijauan di kota besar.

Melalui pohon, Donu membangun pertemanan yang cair dengan seluruh komponen anak bangsa, baik organisasi kemahasiswaan, warga, pengusaha, dan lintas institusi. Kemampuan menyatukan visi kepada semua pihak mengenai pentingnya menyelamatkan lingkungan patut ditiru.

“Mas Doni cara berfikir beliau sangat strategis, visioner dan berkelanjutan. Dimana sumber daya alam bagian dari lingkungan hidup sebagai dasar pertahanan negara. Salam bangga dan salam lingkungan hidup,” kata Wakil Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat (Wadankodiklatad) Mayor Jenderal Kunto Arief Wibowo.

Agaknya, jutaan pohon yang sudah ditanam Doni monardo seperti sajak Kahlil Gibran (1926), “Pepohonan adalah puisi yang dituliskan Bumi pada Langit. Kita menumbangkannya dan mengubahnya menjadi kertas. Di atasnya kita mencatat kekosongan kita.”

Kini, Jendral Pohon itu telah berpulang ke keabadian. Dalam senyap dia menggenapi apa yang selama ini dipercayainya, sebagaimana sabda Kanjeng Nabi Muhammad; meski besok mati, tetaplah menanam pohon. Menanam adalah jalan menuju kebajikan. (***)

 

Exit mobile version