Judul: Secangkir Kopi di Bawah Pohon & Sepiring Sukun di Pinggir Kali
Penulis: Egy Massadiah
Penerbit: PT Citra Jayakarta Nawa Astha
ISBN: 978-623-94621-0-9
Volume: xxvii + 382 halaman & xxiv + 351 halaman.
***
Berbeda dengan rata-rata perwira tinggi TNI lain, ada sisi unik dari pribadi Doni Monardo. Jenderal bintang tiga ini dikenal sebagai sosok dengan kepedulian dengan berbagai masalah lingkungan dan alam di Indonesia.
Cintanya pada sebatang pohon. Kepeduliannya kepada hutan sampai sumber-sumber air bersih yang dihasilkan dari hutan tersebut. Tak heran, publik mengenal Doni sebagai tokoh di belakang layar untuk pelbagai aktivitas menjaga alam.
Saat menjadi Pangdam III/Siliwangi Doni pun terlibat dalam program penanaman pohon, membersihkan sampah, mengatasi pencemaran dan menghijaukan dua sisi aliran Sungai Citarum.
Bahkan hingga kini, -saat dia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menjadi orang nomor satu di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dia tak bosan-bosan mengulang pernyataan “kita jaga alam, alam jaga kita”.
Jangan heran, jika melakukan kunjungan kerja ke daerah dimana dia dulu pernah bertugas, salah satu agendanya dipastikan dipakainya untuk melihat pohon-pohon yang pernah dia tanam.
Pada awal April 2019, Doni sebagai Kepala BNPB, melaksanakan kunjungan kerja ke Ambon. Di sana, ia menyempatkan diri ke Stadion Raja Mandala Remaja Ambon dan ke Batalyon Raider 733/Masariku. Sebelumnya di tahun 2015-2017, dia pernah menjabat sebagai Pangdam XVI/Pattimura tahun 2015-2017.
“Jaga batalyon ini, biarkan tetap hijau,” katanya kepada Komandan Batalyon Mayor Inf. Nyarman saat itu.
Masih banyak cerita-cerita lain Doni yang lain yang dibukukan dan diceritakan ulang oleh Egy Massadiah. Sebagai staf yang terus mendampingai Doni, Egy selalu merekam setiap cerita dan kejadian yang terjadi. Egy seorang jurnalis senior ini, kemudian menceritakan kembali semua kejadian menarik dari kacamata jurnalistik. Tulisan bergaya feature ini pun terasa enteng namun tetap berisi.
Begitu produktifnya Egy menulis cerita Sang Jenderal, hingga lahirlah dua buku ini. Satu buku diberinya judul “Secangkir Kopi” dan buku kedua “Sepiring Sukun di Pinggir Kali” yang dibuka dengan esai karya Putu Wijaya.
Dalam pengantarnya M. Jusuf Kalla, Mantan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 pun memberikan testimoni kepada Doni yang dia kenal.
“Kecintaan Doni terhadap alam dapat kita lihat dari upayanya menggalakkan penanaman pohon. Kepedulian Doni terhadap lingkungan tentu cocok dengan jabatan yang diembannya saat ini sebagai Kepala BNPB. Karena dengan posisi tersebut Doni banyak bersentuhan dengan alam,” sebut JK dalam kata-kata pembukanya.
Baca juga: Doni Monardo: Tangani Bencana Perlu Kerja Bersama
Membumikan “Gosong”
Dalam banyak pertemuan Doni selalu mengingatkan, bahwa bencana yang datang dan banyak merenggut korban serta kerusakan alam umumnya berawal dari ulah manusia sendiri. Ihwal pemanasan global, mantan Danjen Kopassus ini mengemukakan istilah “Gosong”.
“Saya menyebut (pemanasan global ini) dengan istilah G-O-S-O-N-G. Artinya global warming bukan omong kosong!” ungkapnya. Pandangan ini bisa dibaca di halaman 85: “Mau Pindah ke Planet Lain?”
Doni juga percaya bahwa manusia, -alih-alih alam lah, yang menjadi akar masalah kebakaran hutan dan lahan. Setidaknya itu dapat dibaca saat kunjungan kerjanya ke Bengkalis, Riau. Egy menulis pernyataan Doni saat dia menyerap aspirasi warga dan para kepala desa.
“99 persen kebakaran hutan dan lahan disebabkan perbuatan manusia, 1 persen faktor alam,” katanya. “Masyarakat dibayar untuk membakar. Siapa yang membayar, aparat penegak hukum harus mengusut dan menindak.”
Kesenjangan sosial, faktor kemiskinan menjadi pendorong warga mau dibayar untuk merusak. Solusinya adalah menggairahkan ekonomi masyarakat setempat. Masyarakat didorong memiliki kegiatan ekonomi di lahan mereka sehingga memberikan pendapatan memadai.
“Dengan begitu, rakyat akan ikut menjaga dan tidak mungkin mau dibayar untuk membakar lahan,” tegas Doni.
Membaca catatan-catatan Egy, Doni berani menempatkan diri sebagai pribadi tidak popular dengan mengkritik dan menerjang siapa pun yang dia kategorikan sebagai perusak lingkungan.
Doni menyadari jumlah manusia yang peduli lingkungan jauh lebih sedikit dibanding yang tidak peduli, maka teriakan “jaga lingkungan” harus lantang ia sampaikan dan berulang-ulang.
Ini semacam zikir yang tak boleh berhenti. Ia sangat percaya jika kita jaga alam, alam akan menjaga kita.
Perspektif ini yang harus muncul dan digaungkan dari para petinggi dan pejabat negara. Ia tidak tiba-tiba muncul dari menara gading, tetapi dari hasil berinteraksi dan mendengar dari seluruh lapisan masyarakat.
Seperti pernyataan Lau Tze (570 SM) yang dia kutip “Temuilah rakyatmu, hiduplah bersama mereka, mulai dari apa yang ada.”
Buku ini bisa jadi sebuah refleksi kebangsaan baru, tentang cara pandang dan praksis bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Saat kini memilih peduli lingkungan, masih dianggap sebagai pilihan “nyeleneh” dan berdiri sebagai minoritas, sementara di seberang, masih harus berhadapan dengan sekelompok mayoritas yang abai, tidak peduli dan berperilaku merusak alam.
Apa yang telah dilakukan Doni sejak masih perwira pertama menjadi suntikan “vitamin” semangat. Semacam oase, ternyata masih ada pejabat negara yang peduli dengan alam dan berdiri tegak atas nama upaya mewariskan alam yang lestari kepada generasi penerus bangsa.
Seluruh keuntungan penjualan buku ini rencananya ditujukan untuk mendukung dan melanjutkan kegiatan penghijauan yang sudah dilakukan oleh Doni Monardo. Tetap jaga alam buat jaga kelestarian negeri, Jenderal.