Mongabay.co.id

Hutan Pinus Aceh dan Ancaman Perambahan

 

 

Aceh merupakan wilayah yang memiliki hutan pinus tropis atau pinus merkusii Jungh. et de Vries. Pinus ini tumbuh subur di kaki Gunung Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, juga di Bukit Barisan yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] di dataran tinggi Aceh yaitu di Kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah.

Hutan pinus sangat penting untuk mencegah terjadinya longsor dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Namun, kondisi hutan pinus merkusii di Aceh mulai terancam. Di Tahura Pocut Meurah Intan, Kabupaten Aceh Besar misalnya, perambahan untuk perkebunan menyebabkan tegakan pinus berkurang. Padahal hutan ini sangat penting untuk kebutuhan air masyarakat di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Kota Banda Aceh.

“Hutan pinus banyak menjadi pohon pisang dan kakao. Pinus ditebang untuk dijadikan kayu bakar juga,” ujar Arman, warga Saree, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar, Sabtu [25/11/2023].

Penebangan hutan pinus untuk dijadikan kebun lokasinya tidak jauh dari kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Aceh.

“Kami sebagai masyarakat tidak berani mencegah karena pemilik lahan itu warga luar,” katanya.

Foto: Hutan Pinus di Aceh Tengah Terbakar

 

Hutan indah pinus di Gayo Lues, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hal yang sama terjadi di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Tegakan pinus berkurang karena banyak pohon yang mati, umumnya terjadi setelah dilakukan pengambilan getahnya.

“Penyadapan getah pinus di Gayo Lues juga terjadi, bahkan hampir di semua tempat,” kata Mastur, tokoh masyarakat Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Sabtu [25/11/2023].

Baca: Alamak! Hutan Pinus di Tahura Pocut Meurah Intan Berubah jadi Kebun Kakao dan Pisang

 

Hutan pinus yang penting sebagai penjaga ekosistem lingkungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sementara, penebangan pinus dalam jumlah besar di Aceh Tengah dan Bener Meriah, dilakukan tahun 1980-an dan berhenti karena konflik bersenjata di Aceh.

“Meskipun setelah ditebang ada yang ditanam, namun kondisinya berbeda,” ungkap Aman Sutri, warga Simpang Tiga Redelong, Bener Meriah.

Dulu, pinus di sini tumbuh alami dan ukurannya besar. Setelah ditebang, banyak lahannya oleh masyarakat dijadikan kebun kopi dan ditanam palawija.

“Hingga saat ini penebangan pinus masih dilakukan secara ilegal, termasuk di kawasan hutan lindung,” terangnya.

Baca: Benyamin, Ubah Bukit Tandus jadi Hutan Pinus

 

Pohon pinus yang disadap untuk diambil getahnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Getah pinus

Martunis, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [DPMPTSP] Aceh mengatakan, salah satu cara pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya hutan Aceh adalah getah pinus.

“Cairan yang disadap dari batang pinus merkusii dikategorikan sebagai hasil hutan bukan kayu [HHBK]. Produksi getah ini dilakukan tanpa penebangan sehingga kanopi hutan Aceh tetap terjaga,” terangnya, awal Desember 2023.

Baca: Pesona Hutan Pinus Mangunan

 

Pohon pinus yang ditebang dan biasanya digunakan sebagai kayu bakar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Getah pinus mempunyai pasar yang sangat potensial, karena merupakan bahan dasar untuk beberapa kebutuhan seperti cat, tinta, lem, ban, penguat rasa minuman dan makanan, kosmetik, hingga obat-obatan.

Menurut Martunis, di Aceh ada dua pabrik pengolahan getah pinus, yaitu PT. Jaya Media Internusa dan PT. Kencana Hijau Binalestari.

“Dua perusahaan tersebut menghasilkan gondorukem dan terpentin sebagai olahan tingkat pertama getah pinus. Perusahaan membeli hasil deresan petani dari hutan pinus yang berada di kawasan tengah Aceh ini,” jelasnya.

Baca juga: Menikmati Sejuknya Hutan Pinus Limpakuwus

 

Pohon pinus yang perlahan tergerus karena perambahan dan kegiatan ilegal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penelitian yang dilakukan Jamaludin, Martunis, dan Ryan Moulana dari Universitas Syiah Kuala di Kecamatan Blangjerango, Kabupaten Gayo Lues pada 2021 menyimpulkan, cukup banyak pemakaian kayu bakar dari pinus untuk penyulingan minyak serai wangi.

“Pemakaian kayu bakar di Kecamatan Blangjerango, yaitu di Desa Peparik Gaib, Penosan, dan Sekuelen sebanyak 127 titik ketel penyulingan sebanyak 2.667 meter kubik. Untuk jangka waktu 14 hari produksi membutuhkan lahan sebanyak 4,3 hektar hutan pinus,” jelas penelitian tersebut.

 

Hutan pinus yang penting menjaga kelestarian alam. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version