Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Mengukur Kesiapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

 

Momen pergantian tahun dari 2023 ke 2024 sudah semakin dekat. Proses tersebut akan semakin memperpendek waktu persiapan Pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota yang diklaim paling unggul saat ini di sektor kelautan dan perikanan.

Ternyata rencana penerapan kebijakan PIT yang semula dijadwalkan akan dimulai pada 1 Januari 2024, ditunda setahun menjadi 1 Januari 2025, karena pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai ujung tombak pelaksanaan PIT itu masih perlu melakukan persiapan lebih matang lagi.

Sebelum PIT diterapkan, KKP akan fokus untuk menyiapkan segala hal, baik teknis atau pun non teknis. Termasuk, tujuh hal yang menjadi tahapan dari persiapan penerapan PIT yang sudah dijalankan sepanjang 2023 ini.

Apa saja tahapan itu?

Berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor B.1569/MEN-KP/X/2023 tertanggal pada 2 Oktober 2023, pertama adalah berkaitan dengan evaluasi perizinan yang ada saat ini, mencakup beberapa jenis perizinan.

Tahapan pertama itu harus bisa dilakukan oleh para pelaku usaha. Mereka semua harus secara mandiri melakukan evaluasi terhadap Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), dan operasional kapal penangkapan ikan mereka sepanjang tahun.

Berdasarkan SE Menteri KP, pelaporan dibuat dalam format mudah, ringkas, dan dilaporkan secara elektronik melalui aplikasi Sistem Informasi Izin Layanan Cepat (SILAT)/Sistem Informasi Izin Kapal Daerah (SIMKADA) pada modul Evaluasi Mandiri.

Tahapan kedua yang dilaksanakan KKP sebelum PIT diterapkan pada 2024, adalah melaksanakan pemberian izin usaha sisa musim penangkapan 2023. Pemberian perizinan berusaha ini mencakup SIPI dan SIKPI baru atau perpanjangan untuk sisa musim penangkapan ikan 2023.

baca : Resmi, 1 Januari 2024 Penangkapan Ikan Terukur Dimulai

 

Presiden Joko Widodo (kanan) mendapat penjelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono (tengah) saat meninjau unit pengolahan ikan di PT Samudera Indo Sejahtera, Kota Tual, Provinsi Maluku, Rabu, 14 September 2022 sebagai tempat percontohan penerapan kebijakan PIT. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.

 

Berikutnya, adalah layanan perizinan musim penangkapan ikan 2024. Tahapan ini memberi kesempatan kepada para pelaku usaha untuk mengajukan permohonan dan layanan sertifikat kuota penangkapan ikan, perizinan berusaha subsektor penangkapan, dan pengangkutan ikan untuk musim penangkapan ikan 2024.

Tahapan ketiga yang resmi dimulai pada 21 November 2023 ini, mengalihkan layanan perizinan yang menjadi kewenangan Gubernur wajib untuk dilaksanakan melalui aplikasi SIMKADA yang terintegrasi dengan sistem online submission (OSS). Sementara, layanan perizinan yang menjadi kewenangan Menteri KP dilaksanakan melalui aplikasi SILAT yang juga terintegrasi dengan OSS.

Tahapan keempat, adalah pelaksanaan layanan sertifikat kelaikan kapal perikanan (SKKP), di mana pemilik kapal yang memiliki SKKP dapat mengajukan pembaruan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) atau Kepala Pelabuhan Perikanan Unit Pelaksana Teknis DJPT KKP.

Kemudian, tahapan kelima adalah pemasangan dan pengaktifan sistem pemantauan kapal perikanan atau SPKP. Tahapan ini memberi batas waktu kepada pemilik kapal perikanan untuk memasang dan mengaktifkan SPKP 31 Desember 2023.

Batas waktu tersebut diberlakukan bagi kapal-kapal perikanan hasil migrasi perizinan. Bagi kapal yang tidak memenuhi kewajiban pemasangan dan pengaktifan SPKP, maka KKP tidak bisa menerbitkan surat laik operasi (SLO) dan persetujuan berlayar (PB).

Berdasarkan SE, pemasangan dan pengaktifan sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) bagi kapal dengan kewenangan Gubernur paling lambat dilaksanakan satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, atau 6 Maret 2024.

Tahapan terakhir atau keenam, adalah penggunaan aplikasi PIT secara elektronik atau e-PIT. Pada proses ini, seluruh kapal penangkapan dan pengangkutan ikan yang berukuran di atas 5 gros ton (GT) harus menggunakan e-PIT.

Ada pun, aplikasi e-PIT terdiri atas dua akun, yaitu akun pelaku usaha dan nakhoda. Manual penggunaan atau informasi lebih lanjut terkait penggunaan aplikasi e-PIT dapat diakses pada laman https://perizinan.kkp.go.id.

baca juga : Lika Liku Penangkapan Ikan Terukur

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Prioritas Ekonomi Biru

Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono berulang kali menyebut kalau PIT adalah satu dari lima program prioritas ekonomi biru yang diusung KKP. Kebijakan itu dibuat untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut, meningkatkan mutu dan daya saing produk perikanan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas.

Tentang perizinan, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Agus Suherman meminta kepada para pelaku usaha untuk melaporkan data sesuai kondisi sebenarnya. Setiap data yang dilaporkan secara mandiri oleh pelaku usaha, itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan pihaknya dalam menetapkan keputusan penting.

“Di antaranya mengenai pengurangan atau pencabutan alokasi usaha dalam SIUP tanpa permohonan,” terangnya belum lama ini di Jakarta.

Selain itu, data yang terkumpul juga akan menjadi bahan pertimbangan untuk pemberian izin berusaha subsektor penangkapan ikan dan pengangkutan ikan sesuai format PIT. Juga, untuk pemberian besaran jumlah kuota penangkapan ikan untuk setiap penangkap ikan.

Tegasnya, setiap tahapan yang diminta untuk dilakukan para pelaku usaha, itu adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Jika ada pelaku usaha yang tidak melaporkan data hasil evaluasi mandiri sesuai batas waktu yang ditetapkan, nantinya SLO dan PB tidak bisa diterbitkan.

“Akun aplikasi PIT-nya juga dibekukan,” ucap dia.

Sebelum PIT resmi diberlakukan, Agus Suherman menilai kalau semua pihak harus melakukan upaya lebih. Transformasi yang berjalan selama masa transisi ini, diharapkan bisa memberi perbaikan yang sangat besar untuk tata kelola perikanan nasional.

“Evaluasi perizinan kami lakukan untuk perizinan yang diterbitkan oleh pusat dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan, maupun perizinan yang diterbitkan oleh Gubernur,” tambah dia.

baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

 

Hasil tangkapan ikan di Juwana, Pati, Jawa Tengah pada akhir Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Transformasi Digital

Pelaksanaan transformasi digital yang sedang berjalan saat ini, diyakini akan menjadi kunci sukses penerapan PIT. Proses tersebut hadir melalui aplikasi e-PIT yang dibuat untuk memudahkan proses perizinan dan pendataan ikan hasil tangkapan.

Menurut Agus, e-PIT mengintegrasikan layanan hulu ke hilir perikanan tangkap dalam satu sistem. Mencakup di dalamnya adalah layanan pengajuan SLO, SPB, log book, Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan (STBLK), Laporan Penghitungan Mandiri (LPM), dan penghitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Pungutan Hasil Perikanan (PNBP PHP) pascaproduksi.

Dia optimis, proses digitalisasi layanan akan memuluskan proses perizinan, pelaporan, dan pengawasan dalam melaksanakan program ekonomi biru PIT. Layanan dalam format digital juga diharapkan bisa membuat semua proses menjadi lebih cepat dan efisien.

Dia mengatakan, layanan dalam format digital pada tahapan awal penerapan pasti akan mendapatkan penolakan atau pun penentangan. Namun seiring berjalan waktu, dia yakin semua hambatan itu akan berkurang dan menghilang.

“Dahulu penggunaan kartu elektrik dalam layanan jalan tol banyak ditentang, kini 100 persen telah menggunakannya,” ungkap Agus mencontohkan.

Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furkon mengatakan kalau dukungan perangkat teknologi diyakini akan menjadi tulang punggung pada proses evaluasi perizinan. Dukungan tersebut akan memperkuat pelaksanaan PIT nantinya.

Perangkat teknologi sangat dibutuhkan, karena PIT digelar dengan mewajibkan semua pelaku usaha mengakses aplikasi e-PIT untuk melaporkan setiap data hasil tangkapan. Selain itu, aplikasi juga disiapkan untuk tahapan evaluasi mandiri setiap pelaku usaha.

Kemudian, Pemerintah juga melakukan sosialisasi tentang tata cara pelaporan hasil evaluasi perizinan berusaha kepada para pelaku usaha, petugas di pelabuhan perikanan, dan pemerintah daerah. Tahapan tersebut menjadi sangat penting, karena akan mendukung kesuksesan di lapangan.

Selain itu, KKP juga tengah menyelesaikan sejumlah regulasi berupa keputusan menteri (kepmen) sebagai komponen pendukung pelaksanaan PIT. Di antaranya kepmen kuota penangkapan ikan, kepmen pelabuhan perikanan pangkalan, hingga kepmen produktivitas kapal penangkap ikan.

baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan

 

Perahu nelayan tradisional saat merapat ke Pelabuhan Perikanan Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Plt. Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi KKP Aulia Riza Farhan menjelaskan, penggunaan teknologi menjadi penanda kebijakan PIT adalah kebijakan mutakhir yang memadukan segala hal. Selain e-PIT, ada juga pusat komando (command center) yang dibuat untuk mendukung sistem pengawasan pelaksanaan PIT.

Pada pusat komando, terdapat fitur canggih yang bisa digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang dan mangrove. Fitur tersebut dijanjikan akan terus diperbaiki dan akan digunakan untuk mendukung saat pengambilan kebijakan.

“Ekologi sebagai panglima. Saat ini fokus dari KKP membuat ocean big data,” bebernya.

 

Perikanan Berkelanjutan

Guru Besar Departemen Manajemen Sumber Daya Akuatik Universitas Diponegoro Suradi Wijaya Saputra menyebut kalau kebijakan PIT sudah sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan.

“Pelaksanaan kebijakan ini dapat mendukung kesinambungan usaha perikanan nasional dengan terjaganya ekosistem sumber daya ikan,” ucap dia belum lama ini.

Agar PIT benar-benar menjadi kebijakan terbaik KKP yang pernah ada, maka dalam menetapkan mekanisme kuota penangkapan, perlu mempertimbangkan jenis alat penangkapan ikan (API) dan ukuran ikan yang ditangkap.

Hal tersebut, menjadi upaya untuk menjaga kualitas ikan yang dihasilkan bukan berdasarkan hanya besaran volume tangkapan saja. Selain itu, nelayan dan pelaku usaha juga harus menjadi pelaku utama saat PIT nanti diterapkan.

Kata dia, jika kuota ditetapkan hanya dengan mempertimbangkan sisi volume saja, maka itu sudah mengabaikan ukuran ikan. Itu berarti, API dan kriteria lainnya tidak bisa melekat otomatis pada izin yang diterbitkan.

“Ini berbahaya. Ini perlu dicermati betul makna kuota dan implikasinya pada perizinan,” jelasnya.

Suradi mengingatkan, para pelaku usaha seharusnya bisa menangkap semangat untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha melalui kebijakan PIT. Capaian itu diyakini akan mewujudkan keberlanjutan sumber daya ikan (SDI) dan bisa menjaga sampai masa yang akan datang.

baca juga : Riset Kolaboratif: Nelayan Kepulauan Maluku Tidak Tahu Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Kebijakan PIT sendiri resmi diundangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.11/2023 yang terbit pada 6 Maret lalu. Beleid ini terdiri dari sembilan bab dan 28 pasal yang mencakup ketentuan umum, zona, pelabuhan pangkalan, sanksi administratif, hingga ketentuan penutup.

Lebih detail, dia menyebut kalau kunci keberhasilan PIT bisa bergantung pada beberapa instrumen yang menjadi syarat mutlak. Di antaranya adalah penetapan zona yang disusun sebagai satu kesatuan pengembangan ekonomi dan ekologi dan pemerataan kawasan.

Kemudian, kapal untuk memastikan itu menjadi instrumen input dalam kebijakan PIT dengan jumlah yang akurat dan perizinan yang valid; kuota penangkapan ikan yang dihitung berdasarkan basis data saintifik yang ada dengan melibatkan para ahli dan mempertimbangkan data historis.

Lalu, pascaproduksi adalah tentang PNBP dipungut lebih berkeadilan karena sesuai dengan hasil tangkapan dan digunakan untuk program pemberdayaan nelayan kecil; dan sistem pemantauan yang menyeluruh untuk seluruh kapal perikanan di seluruh zona penangkapan ikan.

Ada pun, kebijakan PIT membagi area penangkapan kepada tiga, yaitu tangkapan industri, nelayan lokal, dan spawning and nursery ground. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 9.452.072 ton per tahun, dengan nilai total produksi total se-Indonesia mencapai Rp229,3 triliun.

Berdasarkan PP No.11/2023, ada enam zona PIT dengan rincian sebagai berikut:

  1. Zona 01: Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara;
  2. Zona 02: WPPNRI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera); WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik); dan Laut Lepas Samudera Pasifik
  3. Zona 03: WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau); WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur); dan WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda)
  4. Zona 04: WPPNRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda); WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat); dan Laut Lepas (Samudera Hindia)
  5. Zona 05: WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman)
  6. Zona 06: WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa); dan WPPNRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali)

 

Exit mobile version