- Perjalanan panjang penyusunan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota harus dilalui Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut saat ini sudah ada di depan gerbang masuk, dan siap untuk diterapkan di perairan laut Indonesia
- Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang mematangkan tahapan persiapan akhir untuk penerapan PIT yang dijanjikan akan dimulai pada 1 Januari 2024. Proses persiapan itu, mencakup juga transisi penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
- Transisi yang dimaksud, adalah perpindahan penggunaan metode pengumpulan PNBP dari praproduksi menjadi pascaproduksi. Selain memulai penarikan PNBP pascaproduksi sejak 1 Januari 2023, KKP juga tetap melakukan praktik praproduksi kepada kapal yang izinnya akan habis pada September 2023
- Agar saat berjalan pada awal 2024 nanti bisa lancar, maka diperlukan sinergi banyak pihak terkait. Paling utama, adalah bagaimana melaksanakan penegakan hukum di lapangan, dengan potensi pelanggaran hukum yang besar seperti di perairan Indonesia Timur
Semakin mendekati waktu operasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mematangkan persiapan penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT). Rencananya, kebijakan tersebut akan mulai dilaksanakan pada awal 2024 mendatang.
Tanpa ragu, KKP menyebut kalau pelaksanaannya akan dimulai pada Januari atau tersisa empat bulan waktu dari sekarang. Hal tersebut diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Agus Suherman saat bertemu Mongabay Indonesia, pekan lalu di Jakarta.
Menurut dia, hal yang harus diperhatikan untuk penerapan PIT adalah kesiapan dari mulai regulasi hingga ke teknis. Untuk regulasi yang menjadi payung hukum utama, sudah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Kemudian, aturan turunan yang menjadi payung hukum untuk pelaksanaan teknis kebijakan PIT di lapangan, juga sudah diterbitkan oleh KKP pada awal September 2023. Diharapkan, kelengkapan regulasi menjadi kekuatan pelaksanaan PIT nantinya.
Ia menerangkan, sebelum PIT dimulai resmi nanti pada Januari 2024, KKP terus mematangkan proses transformasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari praproduksi ke pascaproduksi. Proses tersebut diharapkan berakhir pada 2023 saat perizinan kapal yang menerapkan praproduksi berakhir.
“Dengan pascaproduksi, kita sudah punya (kapal dengan perizinan) eksisting sekarang,” ungkap dia menyebut kapal yang sudah beroperasi lama dan sudah memperbarui perizinan agar bisa melaksanakan pungutan PNBP pascaproduksi.
baca : Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual
Selama masa uji coba yang dilaksanakan sepanjang tahun ini, masyarakat perikanan dinilai sudah semakin memahami apa perbedaan dari praproduksi dan pascaproduksi. Pemahaman tersebut yang memberi keyakinan bahwa PIT akan berjalan baik nanti saat dijalankan.
Tanda bahwa pascaproduksi mulai dipahami masyarakat perikanan, adalah semakin banyak yang memahami penggunaan teknologi untuk memasukkan data hasil tangkapan. Pemahaman tersebut diharapkan semakin meluas seiring berakhirnya perizinan kapal dengan praproduksi pada akhir September 2023.
Sepanjang PNBP pascaproduksi berjalan dari 1 Januari 2023 hingga sekarang, Agus Suherman menyebut sudah terkumpul sekitar Rp160 miliar dari target PNBP yang ditetapkan pada 2022 oleh KKP senilai Rp1,2 triliun.
Sisa waktu yang ada sekarang, diakuinya, akan difokuskan untuk penataan izin kapal yang akan beroperasi dengan kuota penangkapan ikan. Saat ini, sudah ada kapal dengan perizinan dari Pemerintah Pusat atau KKP sebanyak 8.500 unit lebih.
Kapal dengan jumlah tersebut adalah kapal yang sudah punya izin dan kemudian memperbaruinya. Sementara, kapal perikanan dengan perizinan baru saat ini masih dalam proses penghitungan karena ada yang melakukan migrasi dari perizinan daerah (Pemerintah Provinsi) dan ada yang berasal dari perizinan baru pertama kali.
“Termasuk yang di daerah pun kita alokasikan juga (perizinan dengan kuota tangkapan ikan). Saat ini prosesnya sedang dalam pendataan kami,” tuturnya.
Mengingat proses yang terus berjalan dan kapal perizinan yang migrasi ada dari 38 provinsi, Agus Suherman tidak berani menyebut berapa angka perkiraan jumlah kapal nanti yang akan beroperasi penuh secara bersamaan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
baca juga : Lika Liku Penangkapan Ikan Terukur
Kesiapan Syahbandar
Salah satu bentuk persiapan penerapan PIT, adalah kehadiran Syahbandar di sejumlah pelabuhan perikanan yang ada di seluruh Indonesia. Jumlahnya yang sudah dikukuhkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, adalah 27 Syahbandar.
KKP mencatat, pelabuhan perikanan yang bertransformasi menjadi pelabuhan pangkalan PNBP pascaproduksi saat ini ada di 171 lokasi dari total 686 lokasi pelabuhan perikanan. Tetapi, meski jumlah total SDM kesyahbandaran di pelabuhan perikanan mencapai 178 orang, itu dinilai masih belum memadai.
Walau demikian, Sakti Wahyu Trenggono tetap berjanji bahwa pelabuhan perikanan akan terus dikawal selama 24 jam. Tujuannya, agar praktik PIT yang menjalankan kuota dan PNBP pascaproduksi bisa tetap terawasi dengan baik.
“Ini sejalan dengan perannya yang sangat strategis baik sebelum kapal berlayar maupun berlabuh untuk mendaratkan ikan. Syahbandar juga berperan dalam mengontrol dan melakukan pendampingan yang intensif kepada para pelaku usaha,” terang dia.
Peran penting yang diemban pelabuhan perikanan tersebut, dinilai memang sangat strategis untuk pelaksanaan praktik PIT. Hal itu mendorong KKP untuk terus menambah jumlah Syahbandar di pelabuhan perikanan menjadi lebih banyak dari sekarang.
Janji tersebut ditegaskan Sakti Wahyu Trenggono dan akan ditunaikan dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Namun, dia meminta kepada semua Syahbandar yang sudah ada sekarang untuk bisa berpegang teguh pada integritas dan memberikan dedikasi terbaik.
baca juga : Benarkah Penangkapan Ikan Terukur Bersinergi di Pelabuhan Perikanan?
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kemudian berpesan tentang harapan yang sama kepada Syahbandar yang sudah ditempatkan di pelabuhan perikanan. Dia meminta agar mereka juga menjaga integritas dan mengutamakan pelayanan publik untuk keselamatan pelayaran.
Dia menyebut, selain bertanggung jawab dalam mengeluarkan persetujuan berlayar bagi kapal perikanan dan pengangkut ikan, Syahbandar juga berperan penting dalam mencegah dan menanggulangi praktik penangkapan ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF).
Potensi Besar
Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furqon memaparkan, kebijakan PIT membagi area penangkapan kepada tiga, yaitu tangkapan industri, nelayan lokal, dan spawning and nursery ground. Adapun, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 9.452.072 ton per tahun, dengan nilai total produksi total se-Indonesia mencapai Rp229,3 triliun.
Berdasarkan PP No.11/2023, ada enam zona PIT dengan rincian sebagai berikut:
Zona 01, meliputi WPPNRI 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara;
Zona 02 mencakup WPPNRI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), dan WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan Laut Lepas Samudera Pasifik.
Zona 03, meliputi WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau); WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur), dan WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda).
Zona 04 mencakup WPPNRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda); WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat), dan Laut Lepas (Samudera Hindia).
Zona 05 mencakup WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman); dan Zona 06 meliputi WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa), serta WPPNRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).
baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Di antara lokasi penerapan PIT yang dinilai rawan dari berbagai kegiatan melanggar hukum, adalah di WPPNRI 718 yang masuk ke dalam Zona 03. Lokasi tersebut memerlukan sinergi yang kuat dengan aparat penegak hukum di wilayah sekitar, yaitu Provinsi Papua Selatan.
Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PDSKP) KKP Adin Nurawaluddin, sinergi penguatan pengawasan dilakukan melalui patroli terpadu dan terkoordinasi, pertukaran data dan informasi, penggunaan moda pengawasan secara terpadu, serta penanganan pelanggaran kelautan dan perikanan secara terkoordinasi.
Penguatan sinergi dilakukan, karena WPPNRI 718 berperan sangat penting dan strategis bagi Indonesia. Selain berlimpah sumber daya alam (SDA), WPPNRI 718 juga berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Australia di selatan, Timor Leste di barat, dan Papua Nugini di timur.
Namun demikian, di balik potensi SDA yang besar, besar pula potensi pelanggarannya. Itu kenapa, potensi praktik IUUF sangat besar bisa terjadi di perairan laut WPPNRI 718. Karenanya, dia mengatakan, “Di sinilah sinergi antar aparat penegak hukum diperlukan.”
Besarnya potensi terjadi praktik pelanggaran, semakin bertambah karena WPPNRI 718 masuk dalam Zona 03 sebagai pusat penangkapan ikan industri. Itu membuat wilayah perairan tersebut memerlukan sinergi pengawasan laut dan penanganan pelanggaran hukum yang terpadu.
baca juga : Riset Kolaboratif: Nelayan Kepulauan Maluku Tidak Tahu Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan menjalankan cara yang baru. Tak ada lagi prioritas sanksi pidana kepada pelanggar, namun diutamakan adalah sanksi administratif.
Itu mengapa, KKP menilai kalau pelaksanaan penegakan hukum di lapangan saat ini berjalan tidak mudah. Diperlukan koordinasi di antara lembaga penegak hukum bersama aparatnya, dan semua lembaga Negara terkait.
“Agar ada kesepahaman persepsi dalam penanganan pelanggaran hukum di bidang kelautan dan perikanan,” tutur dia.
Contoh bagaimana potensi pelanggaran besar terjadi, adalah beroperasinya tiga kapal perikanan yang diduga kuat melakukan kegiatan alih muatan (transshipment) di perairan Kepulauan Aru pada pertengahan Agustus 2023. Kapal-kapal tersebut diduga memindahkan hasil tangkapan ikan secara ilegal.
Rincinya, dari tiga kapal tersebut, satu kapal adalah kapal pengangkut dan dua lainnya adalah kapal penangkap. Ketiganya ditangkap oleh Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan PAUS 01 di titik koordinat 06° 42.997′ LS -134° 03.801′ BT.
“Kapal-kapal ini diduga melakukan alih muatan bukan dengan kapal mitranya atau tidak dalam satu kesatuan usaha,” jelas dia.
Ketiga kapal tersebut yaitu KM LB 99 dengan berat 263 gros ton (GT), KM LB III (56 GT), dan KM LB 7 (91 GT). Pada saat dilakukan pemeriksaan, diketahui bahwa salah satu kapal penangkap ikan mengantongi perizinan berusaha praproduksi.
baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan
Adin Nurawaluddin menerangkan, ada pelanggaran yang dilakukan sesuai pada Surat Edaran (SE) Menteri KP Nomor B.1049/MEN-KP/VII/2023 tentang Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Pelaksanaan Penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Pungutan Hasil Perikanan Pascaproduksi.
Merujuk pada SE tersebut, kapal penangkap ikan diperbolehkan melakukan alih muatan, namun dengan syarat hanya bisa dilakukan kepada kapal pengangkut ikan yang menjadi mitranya atau yang berada dalam satu kesatuan usaha.
“Tindakan ini termasuk salah satu bentuk unreported fishing, sebab pemindahan muatan hasil tangkapan ikan menjadi tidak terlaporkan atau dapat mengacaukan data tangkapan ikan,” tegasnya.
Ketiga kapal diduga sudah melakukan pelanggaran. Bagi kapal pengangkut ikan (KM LB 99), melanggar Pasal 28 Sektor Kelautan dan Perikanan jo Pasal 177 ayat (4) UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Kemudian, kapal penangkap ikan (KM. LB III dan KM. LB 7) diduga telah melanggar Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 27A ayat (1) jo Pasal 317 ayat (1) huruf g PP No.5/2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Tentang pengawasan di laut, Adin Nurawaluddin mengatakan, selain melakukan patroli di laut (while fishing), pihaknya juga melakukan sosialisasi di lokasi-lokasi kapal dengan izin daerah untuk bermigrasi izin secara persuasif. Hal itu dilakukan di Kabupaten Merauke (Papua), Kabupaten Kepulauan Aru (Maluku), dan Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan).
Ia mengatakan, sedikitnya ada 562 kapal perikanan dengan izin daerah (Pemerintah Provinsi) di Merauke dan berpotensi untuk migrasi ke izin Pemerintah Pusat (KKP). Sementara, di Takalar sedikitnya ada 325 kapal perikanan yang berpotensi migrasi perizinan, dan sebanyak 219 kapal perikanan sudah melakukan migrasi dengan kesadaran sendiri.