Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Interaksi Negatif Manusia dengan Gajah Masih Terjadi di Aceh

Gajah sumatera, nasibnya tidak pernah lepas dari ancaman perburuan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Satu individu gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] jantan, ditemukan mati di Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Selasa [19/12/2023].

Anhar, warga Sungai Emas, Aceh Barat, mengatakan gajah tersebut ditemukan warga di Krueng [sungai] Desa Lancong, Kecamatan Sungai Mas.

“Tubuhnya terbujur di pinggir sungai, mulai membusuk dan kulitnya terkelupas,” ujarnya, Rabu [20/2/2023].

Kematian gajah tersebut dilaporkan ke perangkat desa dan diteruskan ke penegak hukum hingga ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh.

“Kami tidak tahu penyebabnya. Hanya, dalam beberapa bulan terakhir gajah liar masuk kebun warga dan merusak tanaman yang umumnya sawit,” jelas Anhar.

Baca: Jalur Jelajah Terganggu, Konflik Gajah Liar dengan Manusia Kerap Terjadi

 

Gajah sumatera, dulu dihormati kini dianggap sebagai pengganggu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, masyarakat Pantan Reduk, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, menemukan anak gajah sumatera terluka yang terpisah dari induknya, Minggu [19/11/2023]. Kecamatan Ketol merupakan daerah yang mulai sering terjadi konflik manusia dengan gajah, dalam beberapa tahun terakhir.

Muslim, Ketua relawan Tim Pengaman Flora dan Fauna [TPFF] Karang Ampar mengatakan, anak gajah itu ditemukan berkeliaran di kebun warga.

“Kondisinya terluka, matanya sudah merah,” terangnya, awal Desember 2023.

Warga telah melaporkan kejadian ini ke BKSDA Aceh.

“Warga secara swadaya merawatnya, sebelum BKSDA Aceh memindahkannya ke Pusat Latihan Gajah [PKG] di Saree, akhir November 2023,” katanya.

Baca: Diduga Keracunan, Gajah Sumatera Ditemukan Mati di Aceh Tengah

 

Gajah sumatera yang ditemukan mati di Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Selasa [19/12/2023]. Foto: Dok. Warga Aceh Barat

 

Terkait kematian gajah jantan di Aceh Barat, Kepala BKSDA Aceh Gunawan Alza, mengatakan setelah mendapat informasi dari masyarakat timnya bersama dokter hewan dari PKSL Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Komunitas Ranger Pocut Baren, dan personil Polsek Sungai Mas langsung ke lokasi.

“Di lokasi, dengan jarak tempuh lima kilometer, tim melakukan bedah bangkai atau nekropsi dan melakukan olah tempat kejadian perkara. Tim tidak menemukan benda tajam mencurigakan yang menyebabkan gajah sembilan tahun itu mati,” kata Gunawan. Kamis [21/12/2023].

Berdasarkan pemeriksaan, bangkai gajah sudah mengalami pembusukan.

“Sampel organ tubuh yaitu paru, usus, dan feses diambil untuk pemeriksaan mendalam di laboratorium. Kami terus berkoordinasi dengan Polres Aceh Barat terkait kematian ini,” ujarnya.

Baca: CRU dan Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera

 

Gajah ini ditemukan mati di Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Jumat [9/6/2023]. Foto: Dok. BKSDA Aceh

 

Jumlah konflik

Data BKSDA Aceh menunjukkan, sejak 2019 sampai Oktober 2023, jumlah konflik manusia dengan gajah liar mencapai 583 kasus.

“Rinciannya, 2019 [106 kasus], 2020 [111 kasus], 2021 [145 kasus], 2022 [136 kasus], dan Januari-Oktober 2023 ada 85 kejadian,” ujar Gunawan.

Interaksi negatif [konflik] manusia dengan gajah paling banyak terjadi di Kabupaten Pidie [145 kasus], Aceh Jaya [86 kasus], Aceh Timur [67 kasus], Aceh Barat [33 kasus], Bener Meriah [30 kasus], dan Aceh Selatan [27 kasus].

“Makin berkurang habitat, maka interaksi negatif akan makin sering terjadi. Kami bersama lembaga mitra telah memasang kalung GPS Collar sebagai sistem peringatan dini pada 18 perwakilan kelompok gajah liar di Aceh. Namun, sejak Juni 2023, kalung GPS Collar yang telah dipasang terpaksa dilepaskan kembali, karena satelit yang digunakan sudah tidak melintas lagi di Indonesia,” jelasnya.

Baca: Mengapa Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera di Aceh Tinggi?

 

Petugas dari BKSDA Aceh dan Forum Konservasi Leuser (FKL) memasang GPS Collar pada gajah sumatera liar di hutan Ekosistem Leuser, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hal ini menyebabkan, BKSDA Aceh bersama lembaga mitra kembali harus membeli dan memasang GPS Collar baru, pada kelompok gajah liar itu.

“Semua butuh waktu, untuk membeli dan memasang perangkatnya.”

Selain itu, untuk mencegah terjadinya interaksi negatif manusia dengan gajah, BKSDA Aceh bersama lembaga mitra juga telah membangun 61.380 meter power fencing atau pagar listrik kejut. Lokasi pemasangannya berada di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie, Aceh Tengah, Bireuen, dan Aceh Barat.

Barrier atau parit agar gajah tidak melintas juga telah dibangun di beberapa kabupaten, seperti di Aceh Timur, Aceh Selatan-Subulussalam, dan Aceh Jaya. Panjang parit mencapai 27.700 meter,” katanya.

Baca juga: Cinta Sepenuh Hati Rosa untuk Kehidupan Gajah Sumatera

 

Barier gajah atau parit buatan di Aceh Selatan ini dibuat untuk mencegah terjadinya konflik antara manusia dengan gajah liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Korban

Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh, Afifuddin mengatakan, dalam lima tahun terakhir konflik antara manusia dengan satwa liar telah menimbulkan banyak korban.

“Data yang kami miliki, 3 orang meninggal dunia dan 12 orang luka-luka. Sementara, sebanyak 34 individu satwa mati dan 30 individu satwa terluka,” jelasnya, Kamis [21/12/2023].

Menurut Walhi Aceh, penyebab utama konflik karena memperebutkan wilayah yang sama antara manusia dengan satwa. Habitat satwa liar juga makin sempit karena hutan yang rusak.

“Wilayah jelajah satwa, termasuk gajah, makin menyempit dan habitatnya berubah menjadi perkebunan, menyebabkan konflik makin tinggi,” tandasnya.

 

Gajah liar yang terpantau di Pinto Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, pada Desember 2021. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version