Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Menyelamatkan Situs Arkeologi Papua dari Berbagai Ancaman

Lukisan prasejarah di situs-situs Teluk Berau, Fakfak. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

 

Pulau Papua tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, melainkan juga keragaman budaya. Berbagai situs arkeologi penting dapat ditemukan di Papua, mulai di daerah pesisir, pegunungan, dan pulau-pulau kecil lepas pantai. Situs-situs arkeologi ini meliputi situs hunian gua maupun situs hunian terbuka dengan beragam artefaknya.

Meski demikian, potensi situs arkeologi di Papua baru sebagian dilakukan penelitian karena terkendala kondisi geografis Papua yang sulit dijangkau dan kondisi akses transportasi yang terbatas. Begitupun dengan publikasi ilmiah baik artikel, jurnal maupun buku hasil riset tentang arkeologi Papua yang masih minim.

Di tengah keterbatasan tersebut, berbagai ancaman dapat terjadi pada situs-situs arkeologi Papua. Di antaranya adalah alih fungsi hutan dan lahan untuk pembangunan moderen serta dengan adanya pemekaran empat provinsi baru di Pulau Papua [Provinsi Papua Barat Daya, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan], dikhawatirkan menjadi ancaman dan berdampak bagi situs-situs arkeologi yang ada.

Baca: Lukisan Prasejarah Bumerang di Papua dan Keterancaman Lingkungannya

 

Lukisan prasejarah di situs-situs Teluk Berau, Fakfak. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Terbaru, Presiden Joko Widodo meresmikan peletakan batu pertama Proyek Strategis Nasional [PSN] di Distrik Arguni, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, yang berada tak jauh dari situs-situs arkeologi peninggalan prasejarah.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Y.L Franky, melalui siaran pers Perkumpulan Panah Papua, mengatakan bahwa idealnya PSN dilakukan dengan prinsip HAM, yakni penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, dan lingkungan hidupnya.

“Dalam prinsip ini, seharusnya masyarakat mempunyai hak berpartisipasi secara bermakna, termasuk menghormati keputusan masyarakat adat dalam menentukan PSN sejak awal atas PSN yang berlangsung di wilayah adat,” ucap Franky.

Baca: Penelitian: Kehidupan Prasejarah Orang Papua Bisa Terjadi Tanpa Kontak Langsung dengan Bangsa Austronesia

 

Lukisan prasejarah di situs-situs Teluk Berau, Fakfak. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, Hari Suroto, menambahkan bahwa setiap aktivitas pembangunan fisik di suatu kawasan perlu dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [Amdal]. Apalagi pada kawasan yang terdapat situs-situs arkeologi di Papua, harus menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai acuan, karena situs tersebut telah memiliki status perlindungan.

Hari menambahkan bahwa Papua memang memiliki keunikan tersendiri. Kondisi lingkungannya dibagi menjadi empat zona ekologis.

Pertama, zona rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai. Di zona ini adalah tempat Suku Asmat, Jagai, Awyu, Yagai Citak, Marind Anim, Mimika, Kamoro, dan Waropen. Mata pencaharian utama penduduk yang tinggal di daerah hulu sungai besar dan kecil adalah meramu sagu serta berburu babi hutan dan binatang kecil lainnya, kadang mencari ikan di Sungai.

“Mereka tidak tahu berkebun dan tidak hidup menetap dalam permukiman dan hidup berkelompok serta sering berpindah-pindah tempat,” ujarnya.

Baca: Jadi Bagian Budaya, Orang Papua Konsumsi Sagu Sejak 50 Ribu Tahun Lalu

 

Puncak Yomokho di Danau Sentani, yang merupakan lokasi penggalian tulang belulang manusia yang diduga nenek moyang orang Papua. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Zona kedua adalah dataran tinggi yang ditempati Suku Dani, Yali, Ngalum, Amungme, Damal, Moni dan Mee. Mata pencaharian utama mereka adalah berkebun menanam umbi-umbian dan memelihara babi.

Ketiga, zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil yang didiami oleh Suku Sentani, Nimboran, Ayamaru, dan orang Muyu. Mata pencaharian utama mereka adalah meramu sagu, bercocok tanam berbagai jenis ubi, tebu dan sejumlah tanaman lainnya, serta berburu dan beternak babi.

Keempat adalah zona dataran rendah dan pesisir, meliputi wilayah suku-suku mulai dari Sorong sampai Nabire, Jayapura, Sarmi, Biak dan Yapen. Penduduk wilayah ini pada dasarnya adalah peramu sagu, nelayan sungai dan pantai, serta kegiatan berkebun secara terbatas.

Baca: Ada Udang Selingkuh di Papua, Seperti Apa?

 

Hasil ekskavasi atau penggalian tulang belulan manusia di situs Yomokho, Sentani, yang hasilnya menunjukan manusia pertama di Papua adalah bangsa Austromelanesoid. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Beragam situs dan artefak

Peneliti yang sempat menjadi pengajar antropologi di Universitas Cendrawasih itu menjelaskan bahwa situs-situs arkeologi di Papua memiliki artefak beragam, sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar situs.

Sebab, manusia-manusia masa lalu dalam membuat alat, mereka menggunakan bahan-bahan yang didapatkan dari lingkungan sekitar, atau dalam mengkonsumsi makanan.

“Gerabah merupakan salah satu artefak yang menjadi bukti pengaruh budaya Austronesia. Sebelum kedatangan orang-orang Austronesia, gerabah tidak dikenal di Papua. Paket budaya berupa gerabah, peralatan batu, dan hasil domestikasi yang ekspansinya sampai ke pesisir Papua, barangkali dilakukan dengan perahu layar bercadik,” ungkapnya.

Baca: Hipere, Tanaman yang Selalu di Hati Masyarakat Pegunungan Tengah Papua

 

Hari Suroto, peneliti Balai Arkeologi Papua saat sedang melakukan survei permukaan tanah di situs prasejarah Kampung Ayapo, Distrik Sentani Timur. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Bukti arkeologis dan linguistik mendukung kesimpulan bahwa orang-orang yang membawa budaya neolitik ke Taiwan, Filipina, dan Indonesia ribuan tahun lalu menggunakan bahasa-bahasa Austronesia.

Hasil penelitian arkeologi menunjukan bahwa gerabah banyak ditemukan di situs-situs arkeologi di pesisir Papua hingga pulau-pulau lepas pantai. Sementara gerabah tidak ditemukan di pegunungan Papua maupun pesisir selatan Papua.

“Situs-situs arkeologi di pesisir Papua yang terdapat gerabah yaitu situs-situs hunian prasejarah di kawasan Danau Sentani, Situs Gua Andarewa di Fakfak, Situs Momorikotey di Nabire, Situs Gua Karas di Kaimana, Situs Mosandurei di Nabire, serta situs-situs arkeologi di Kepulauan Raja Ampat,” ungkap Hari.

Baca: Dari Manakah Nenek Moyang Orang Papua Berasal?

 

Ikan kaca, Ikan aneh yang hanya ditemukan di Papua dan Australia. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Sedangkan situs-situs arkeologi prasejarah ada di kawasan Danau Sentani yaitu Yomokho, Marweri Urang, Mantai, Gua Rukhabulu Awabhu, Phulende, Khulutiyauw, Warakho, Ayauge, Yope, Bobu Uriyeng, Tutari, Ceruk Reugable dan Ceruk Ifeli-feli.

Namun, ada juga situs-situs arkeologi di pegunungan Papua berupa gua-gua hunian yang tidak ditemukan gerabah. Temuan di situs-situs arkeologi di pegunungan Papua berupa artefak berbahan tulang dan batu serta sisa-sisa makanan manusia penghuni gua yaitu tulang-tulang binatang.

”Temuan arkeologi yang menarik di pegunungan Papua yaitu lukisan prasejarah di Gua Kontilola di Lembah Baliem. Pegunungan Papua juga menjadi tempat pertanian awal di Papua, yaitu sekitar 6 ribu tahun lalu dengan tanaman utama yang dibudidayakan yaitu buah merah dan keladi,” jelasnya lagi.

Baca juga: Buah Merah, Tanaman Prasejarah dari Tanah Papua

 

Buah merah yang dijual di pasar Wamena oleh mama-mama Papua. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Hari berharap, keberadaan dan kelangsungan situs-situs arkeologi menjadi tanggung jawab semua pihak. Apalagi, situs-situs arkeologi telah dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka memiliki nilai penting dan bermanfaat bagi umat manusia sehingga perlu dilestarikan.

“Agar situs-situs arkeologi dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu panjang dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang, upaya pelestariannya perlu dilakukan secara berkesinambungan,” tegasnya.

 

Exit mobile version