Mongabay.co.id

Ingin Berdaulat di Laut, Indonesia Perlu Menjaga Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dari Pertambangan

 

Pembangunan ekstraktif dan krisis iklim menjadi ancaman serius yang terus mengintai masyarakat pesisir yang berdomisili di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ancaman paling besar, adalah kegiatan pertambangan yang semakin banyak dilakukan di pulau-pulau kecil.

Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) Marthin Hadiwinata menyebut, ancaman yang kini dirasakan masyarakat pesisir tidak sejalan dengan semangat yang sudah dideklarasikan Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia periode 1957-1959.

Pengumuman tertulis yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda itu di antaranya berbunyi, “Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Deklarasi yang kini sudah berusia 66 tahun itu, seharusnya bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan ekosistem yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Utamanya, bagaimana menjaga keutuhan pulau-pulau kecil yang terancam oleh pembangunan ekstraktif dan krisis iklim.

Ia mengatakan, upaya untuk menjaga pulau-pulau kecil itu, salah satunya bisa dilakukan dengan mencegah aktivitas pertambangan di pulau kecil. Itu sejalan dengan konstitusi yang tertuang pada Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa sumber daya kepulauan dikuasakan kepada Negara untuk dipergunakan secara berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Klausul tersebut tidak boleh bertentangan, termasuk dengan Deklarasi Djuanda.

“Disayangkan, momen 66 tahun Deklarasi Djuanda itu bertolak belakang dengan paradigma ekstraktif yang kian menggerus pulau-pulau kecil,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta. Deklarasi Djuanda sudah menjadi bagian dari sejarah nasional Indonesia sebagai Negara Kepulauan.

baca : Apakah Mungkin Indonesia Jadi Negara Maritim, 2045 Nanti?

 

Meski sudah ada putusan MA yang melarang pertambangan, PT MMP tetap bersikeras melakukan pertambangan dengan mendatangkan truk dan ekskavator ke Pulau Bangka, Sulut pada 12 April 2016. Foto : Facebook Save Bangka Island

 

Dorongan untuk mencegah kegiatan pertambangan di pulau kecil mengemuka, karena pelaku usaha sedang berupaya membuka jalan untuk melegalkan kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil. Upaya tersebut sudah dilakukan oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), perusahaan tambang nikel.

Perusahaan tersebut menggugat Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan kini sudah terdaftar dalam Perkara Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-XII/2023.

Marthin menerangkan, gugatan yang dilakukan PT GKP tersebut bertujuan agar Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menafsirkan kedua pasal dalam UU No.27/2007 untuk menjustifikasi kegiatan pertambangan di pulau kecil bisa terwujud.

Menurutnya, jika MK mengabulkan gugatan PT GKP, maka 90 persen dari 13.466 pulau kecil yang mayoritas tidak berpenghuni akan terancam hancur, juga tenggelam. Ancaman itu sudah dirasakan pulau Nipa di Provinsi Kepulauan Riau yang sudah tenggelam karena kegiatan pertambangan.

 

Sumber Biodiversitas yang Rentan

Koordinator Sekretariat Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan (Koral) Mida Saragih menambahkan, Negara harus bisa bersikap tegas terhadap pulau-pulau kecil. Sebabnya, karena pulau kecil menjadi sumber biodiversitas, ruang hidup bagi petani, nelayan, dan masyarakat pesisir, juga yang utama karena ada kerentanan ekologis.

Menurut dia, ancaman kerentanan bisa terjadi jika ada aktivitas eksploitasi pulau kecil beserta sumber daya alamnya. Kondisi itu tak hanya akan merusak ekologi pulau, namun juga melemahkak perekonomian petani dan nelayan di pesisir.

“Sudah tidak dapat ditawar bahwa MK harus mempertahankan pulau-pulau kecil dengan melarang secara mutlak penambangan di pulau-pulau kecil, demi menjaga keutuhan Negara Kepulauan sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi Djuanda dan Konstitusi RI,” tegasnya.

baca juga : Pulau Kecil, Terancam Tenggelam oleh Pertambangan

 

Air di gua karst keruh akibat aktivitas pertambangan di Pulau Wamonii, Sulawesi Tenggara. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Bagi Annisa Zahra, wakil dari Tim Advokasi Penolakan Pertambangan di Pulau Kecil (Terpukau), uji materil yang diajukan PT GKP mutlak harus ditolak oleh MK. Alasannya, karena MK sebelumnya sudah memutus uji materil UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan mengakui secara sah hak-hak asasi nelayan, beserta masyarakat atas pulau kecil dan perairan sekitarnya.

Juga, karena ada Putusan MA No.57 P/HUM/2022 yang menyatakan bahwa pertambangan adalah kegiatan berbahaya yang tidak normal, dan selama ini aktivitas pertambangan memicu terjadinya perampasan hak asasi rakyat dan nelayan yang berdomisili di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

 

Peran Sejarah Pulau-pulau Kecil

Sedangkan pegiat sejarah JJ Rizal berpendapat kalau pulau kecil adalah artefak sejarah yang masih hidup dan harus bisa dijaga dengan baik, mengingat sejarah panjang Indonesia sebagai negara laut.

Dalam Deklarasi Juanda, menurutnya, pulau kecil menjadi berharga karena bersama perairan yang melingkupinya menyatukan Indonesia sebagai kesatuan Nusantara yang terhubung, sehingga Deklarasi Djuanda menjadi proklamasi ketiga Indonesia, setelah Sumpah Pemuda 1928 dan Kemerdekaan RI 1945.

“Indonesia memiliki sejarah dan budaya kelautan mulai dari pertempuran melawan kolonial yang terjadi di perairan laut yang menjadikan pulau kecil tersebut sebagai benteng pertahanan melawan kolonial,” ungkapnya.

Fakta itu menegaskan bahwa pulau kecil sangat berharga dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan. Jika pertambangan dilakukan, maka telah terjadi pengkhianatan proklamasi Indonesia sebagai negara kepulauan.

“Di mana perusahaan tambang mengeruk dan menghisap sumber daya yang kemudian menggusur dan mengusir rakyat di pulau kecil,” tambahnya.

Contoh bentuk kegiatan pertambangan yang ada di pulau kecil, bisa disaksikan di pulau Sangihe yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dan di pulau Bunyu, Kota Tarakan, Kalimantan Utara.

Kedua pulau tersebut menjadi saksi bisu kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Tambang Mas Sangihe (TMS), dan perusahaan batu bara PT Adani Group.

baca juga : Kegiatan Tambang di Pesisir Pulau Kecil adalah Pelanggaran Konstitusi

 

Seorang penambang sedang duduk di salah satu ponton tambang timah laut di sekitar perairan Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kedaulatan di Laut

Seperti diketahui, adopsi Deklarasi Djuanda dilakukan Pemerintah Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.4/1960 tentang Perairan Indonesia. Aturan tersebut menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat.

Penasbihan tersebut menegaskan bahwa Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Kemudian, luas wilayah RI juga mengalami penambahan 2,5 kali lipat dari awalnya seluas 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km².

Melalui dasar perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar, maka tercipta garis maya batas mengelilingi Indonesia sepanjang 8.069,8 mil laut (nmi). Setelah Deklarasi Djuanda, Indonesia terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari dunia, dan berhasil dicatatkan sebagai negara kepulauan pada Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982.

Kampanye pengendalian pesisir dan pulau-pulau kecil juga disuarakan oleh Perempuan Pesisir yang menjadi wakil dari para perempuan yang berprofesi sebagai nelayan di seluruh Indonesia. Mereka mendesak atar pulau kecil jangan sampai hilang, karena kedaulatan Negara terancam terganggu.

Mustaghfirin, nelayan pulau Pari di Provinsi DKI Jakarta, menyebut kalau kaumnya di pesisir sudah berkontribusi nyata pada pembangunan ekonomi nasional. Namun, kontribusi itu tidak bisa diukur oleh materi, berapa pun nilainya.

“Oleh karena itu, pengakuan dan perlindungan masyarakat dan perempuan pesisir merupakan harga mati yang harus dijalankan oleh Negara, karena hal ini merupakan mandat dari konstitusi,” ungkapnya.

Perlindungan menjadi hal yang penting dan substansial, karena dia dan para perempuan pesisir saat ini sedang merasakan beragam persoalan genting yang mengancam keberadaan mereka sekaligus mengancam masa depan anak cucu mereka.

baca juga : Nasib Pulau-pulau Kecil dalam Cengkeraman Tambang

 

Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Ia merinci, di antara persoalan genting yang sedag dihadapi, adalah ketiadaan peraturan perundangan yang mengakui wilayah tangkap nelayan tradisional sebagai Wilayah Kelola Rakyat, termasuk wilayah kelola perempuan nelayan.

Namun, hingga sekarang setelah 75 tahun Indonesia merdeka, belum juga ada peraturan mengenai wilayah tangkap yang khusus dikelola oleh nelayan skala kecil dan/atau nelayan tradisional. Hal itu mengakibatkan para perempuan pesisir harus bersaing dengan berbagai aktor skala besar di lautan, terutama kapal-kapal besar yang terus mengeksploitasi sumber daya pesisir dan laut Indonesia.

“Bahkan, tak jarang kapal-kapal besar mencemari lautan, khususnya wilayah tangkap nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional,” tutur perempuan yang juga menjabat Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Jakarta.

 

Terdampak Krisis Iklim

Ketua Lembaga Pengembangan Sumber daya Nelayan Nusa Tenggara Barat Amin Abdullah mengungkapkan pandangannya tentang Perempuan pesisir. Menurut nelayan dari Kabupaten Lombok Timur itu, pengakuan kepada perempuan pesisir bukannya tidak ada, namun masih sangat timpang dan tidak adil.

Fakta itu dirasakan perempuan pesisir berkaitan dengan alokasi ruang permukiman nelayan di dalam tata ruang laut atau rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang sudah ditetapkan di 28 provinsi.

Ketimpangan dan ketidakadilan itu bisa dilihat dari alokasi ruang untuk proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut yang jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi permukiman nelayan. Luas pertambangan pasir laut dan reklamasi mencapai 3.590.883 hektare (ha), sementara pemukiman nelayan hanya seluas 1.256,90 ha.

“Ini adalah potret yang menjelaskan bahwa negara tidak hadir dan tidak melayani kami sebagai pemilik sah negara kepulauan ini,” ucap dia.

baca juga : Jejaring Perempuan Pesisir Tuntut Pemerintah Cabut Aturan Tambang Pasir Laut

 

Sejumlah nelayan perempuan mengumpulkan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Keberpihakan Negara kepada perempuan pesisir, diakuinya memang terus menurun hingga saat ini. Terbukti, karena Pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah regulasi yang semakin memperlemah keberadaan mereka.

Sebut saja, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), UU 3/2020 tentang Perubahan atas UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN), Peraturan Pemerintah (PP) No.11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), dan PP No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

“Semuanya bermuara pada pemusnahan kami sebagai masyarakat, dan bagi perempuan pesisir kebijakan ini telah menambah beban berlapis, perempuan pesisir dalam memastikan kebutuhan dan pangan keluarga,” jelas dia.

Belum cukup sampai di situ, perempuan pesisir juga harus menghadapi ancaman dampak buruk krisis iklim yang bisa memicu cuaca sangat ekstrem dan menyebabkan banyak nelayan meninggal dunia saat sedang berada di atas kapal ketika mencari ikan.

Krisis iklim juga menyebabkan banyak desa-desa pesisir tenggelam di banyak tempat. Pantai Barat Sumatera dan Pantai Utara Jawa, khususnya Jakarta dan Jawa Tengah, menjadi saksi keganasan dari krisis iklim hingga memaksa puluhan orang mengungsi karena desanya tenggelam.

Lebih sedih lagi, Amin Abdullah mengungkapkan bahwa krisis iklim juga telah membuat nelayan semakin miskin. Terbukti, lebih dari 70 persen pendapatan nelayan menurun drastis karena laut semakin tidak bersahabat. Kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.

“Krisis iklim juga telah membuat perempuan pesisir, khususnya perempuan nelayan memiliki beban yang berlipat ganda. Mereka harus terus berjuang untuk memenuhi perekonomian keluarga dalam situasi krisis, sekaligus mengurus rumah tangga yang merupakan kerja-kerja tiada ujung,” jelas dia.

baca juga : Sumber Pangan dan Mata Pencarian Perempuan Taman Jaya Terdampak Tambang Nikel

 

Aksi penolakan para istri nelayan terhadap kehadiran kapal Boskalis yang menambang pasir laut di Perairan Makassar, Sulawesi Selatan. Foto : Koalisi Save Spermonde

 

Selain dampak krisis iklim, pesisir dan pulau-pulau kecil tengah diancam oleh pertambangan, terutama pasir laut dan migas. Faktanya, izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan operasi produksi sudah memanjang dari Aceh, Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, hingga Papua.

Selain itu, Amin Abdullah menyebutkan, rusaknya ekosistem laut juga diakibatkan oleh penangkapan ikan berlebih, terutama aktivitas yang menggunakan kapal dengan alat penangkapan ikan (API) Seperti cantrang, pukat, dan aneka alat tangkap tidak ramah lingkungan.

“Selain merusak, konflik antar nelayan tidak bisa dihindarkan seperti yang terjadi di Masalembu dan Bawean, Jawa Timur, serta Lampung Timur. Situasi ini bisa mengakibatkan krisis sosial dan kemanusiaan akibat rusaknya ekosistem,” pungkas dia.

Baik Mustaghfirin mau pun Amin Abdullah sama-sama menyebut kalau persoalan yang sudah dipaparkan di atas, muncul di saat Indonesia sedang berjuang mewujudkan target Indonesia Emas pada 2045 yang menjadi hadiah untuk peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-100 pada tahun tersebut.

Keduanya sepakat bahwa kebijakan Pemerintah tidak berjalan di atas rel konstitusi dan terus mendorong kebijakan yang bercorak ekstraktif di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Situasi ini akan mendorong negeri ini menjadi Indonesia Cemas 2045 atau Indonesia Lemas 2045. (***)

 

Exit mobile version