- Perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil dari berbagai daerah di nusantara menggelar aksi di anjungan Pantai Losari Makassar merespons berbagai kebijakan dan program pemerintah yang dianggap merugikan kehidupan nelayan dan pesisir serta merusak lingkungan hidup.
- Peserta aksi datang dari sejumlah daerah di Nusantara, yaitu dari Pulau Kodingareng, Pulau Lae-lae dan pesisir Mariso Makassar, Pulau Pari Jakarta, pesisir Pasar Seluma Bengkulu, pesisir Semarang Jawa Tengah, pesisir Kalukubodoa, pesisir Pajukukang Bantaeng, pesisir Galesong, dan Pantai Merpati Bulukumba.
- Aksi serta deklarasi yang dilakukan hari itu ialah untuk menegaskan kepada pemerintah agar seharusnya lebih memperhatikan masyarakat pesisir dan pulau kecil, khususnya perempuan.
- Aksi dan deklarasi di Makassar ini dinilai sangat penting untuk memperkuat konsolidasi bagi seluruh bagi perempuan pesisir yang sedang memperjuangkan wilayah kelolanya dari ancaman tambang pasir laut, besi laut dan reklamasi.
Belasan perempuan yang tergabung dalam Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nusantara menggelar aksi bentang spanduk dan deklarasi di anjungan Pantai Losari Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat pagi (29/12/2023).
Aksi ini bertujuan untuk merespons berbagai kebijakan negara yang melegalisasi praktik perampasan ruang laut dan penghidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, termasuk menuntut pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No.26 tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi laut.
Peserta aksi datang dari sejumlah daerah di Nusantara, yaitu dari Pulau Kodingareng, Pulau Lae-lae dan pesisir Mariso Makassar, Pulau Pari Jakarta, pesisir Pasar Seluma Bengkulu, pesisir Semarang Jawa Tengah, pesisir Kalukubodoa, pesisir Pajukukang Bantaeng, pesisir Galesong, dan Pantai Merpati Bulukumba.
Selain membentangkan spanduk dan poster, mereka juga menandatangani petisi dan menyampaikan sejumlah tuntutan ke pemerintah.
Nurhayati, perempuan dari pesisir Semarang Jateng meminta pemerintah untuk menghentikan berbagai proyek pembangunan di pesisir Semarang karena berdampak pada hilangnya tanaman mangrove yang telah lama mereka tanam.
“Adanya reklamasi dan tol laut akan membuat mangrove yang telah kami tanam sekian tahun akan musnah,” katanya.
Nirwana, nelayan dari pesisir Makassar meminta PT Pelindo untuk mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat pesisir serta memulihkan laut terdampak pembangunan Makassar New Port (MNP).
Menurut Nirwana, sejak adanya pembangunan MNP, akses nelayan atas laut sebagai sumber mata pencaharian mereka menjadi sulit.
“Nelayan harus melaut mencari ikan lebih jauh dan itu berarti ada beban biaya BBM yang harus ditanggung yang kadang tidak sebanding hasil yang didapat di laut,” katanya.
Menurut Andra Bau, nelayan dari Pulau Lae-lae yang terdampak reklamasi, pesisir, laut, dan pulau kecil adalah penanda kedaulatan Indonesia, apabila hilang berarti hilangnya kedaulatan Indonesia. Berbagai ancaman tengah mereka hadapi saat ini seperti tambang pasir laut, reklamasi, ekspansi industri ekstraktif, dan krisis iklim.
“Bahkan, sejumlah aturan yang dikeluarkan pemerintah sama sekali tidak berpihak pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya perempuan,” tambahnya.
Mewakili Jejaring Perempuan, Andra Bau menyampaikan delapan tuntutan mereka kepada pemerintah dan calon presiden/wakil presiden.
“Pertama, kami mendesak pemerintah, termasuk calon presiden dan wakil presiden, untuk mengevaluasi dan mencabut berbagai peraturan perundangan yang mengancam dan tidak melindungi masyarakat dan perempuan pesisir serta melindungi ekosistem pesisir, laut, dan pulau kecil.”
Di antara peraturan perundangan yang harus dievaluasi dan dicabut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, PP Penangkapan Ikan Terukur, dan PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut.
Tuntutan kedua, mereka mendesak pemerintah, untuk mengevaluasi dan mencabut beragam proyek pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat dan perempuan pesisir, terutama proyek pembangunan yang dipayungi oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) di seluruh wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia.
“Selanjutnya tuntutan ketiga, kami mendesak pemerintah, termasuk calon presiden dan wakil presiden, untuk menjadikan agenda utama pengakuan dan perlindungan masyarakat dan perempuan pesisir serta keadilan iklim dalam perencanaan tata ruang laut, dan pada saat yang sama mengevaluasi tata ruang laut yang terdapat dalam RZWP3K dan RTRW Terintegrasi.”
baca juga : Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?
Tuntutan keempat dan kelima adalah mendesak pemerintah untuk segera memasukkan RUU Keadilan Iklim sebagai agenda utama untuk disahkan, sekaligus mendukung upaya-upaya masyarakat untuk memulihkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau kecil dari dampak krisis iklim yang semakin parah, serta memastikan perlindungan masyarakat dan perempuan, kedaulatan pangan di pesisir, laut, dan pulau kecil serta keadilan iklim masuk ke dalam RPJPN 2025-2045 serta RPJMN 2025-2029.
Tuntutan keenam, mereka mendesak penetapan wilayah konservasi di pesisir, laut, dan pulau kecil yang berbasis pada kepentingan nelayan dan perempuan nelayan dengan menggunakan prinsip konsultasi bermakna serta Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
“Penetapan wilayah konservasi harus ditujukan untuk mengakui dan melindungi wilayah kelola masyarakat, bukan untuk meminggirkannya.”
Tuntutan ketujuh, mendesak pemerintah untuk segera menjalankan dan menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan sebagaimana diamanatkan oleh UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, dengan memastikan keterlibatan penuh pada masyarakat dan perempuan nelayan.
“Tuntutan terakhir, kami meminta pemerintah untuk memastikan perlindungan bagi para pejuang lingkungan, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, serta perempuan nelayan, dari ancaman kriminalisasi karena selama ini telah terbukti menjaga pesisir, laut, dan pulau kecil.”
baca juga : Kegigihan Mariam, Perempuan Nelayan di Teluk Kupang
Hikmawati Sabar, Koordinator Pertemuan Perempuan Pesisir dan Pulau Kecil Nusantara, menjelaskan bahwa aksi serta deklarasi yang dilakukan hari ini ialah untuk menegaskan kepada pemerintah bahwa mereka seharusnya lebih memperhatikan masyarakat pesisir dan pulau kecil, khususnya perempuan.
“Berdasarkan kesaksian para perempuan dari berbagai daerah, kami menemukan ada pola yang sama yakni semakin terimpitnya ruang kelola perempuan terhadap sumber daya alam baik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tidak hanya itu, kami juga menemukan fakta bahwa dalam lima tahun terakhir tren kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut dan reklamasi semakin banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dampaknya, perempuan harus menerima beban ganda dari beragam persoalan ini,” katanya.
Ibrahim, Direktur Walhi Bengkulu, mengatakan kegiatan dan aksi yang mereka lakukan di Makassar sangat penting untuk memperkuat konsolidasi bagi seluruh bagi perempuan pesisir yang sedang memperjuangkan wilayah kelolanya dari ancaman tambang pasir laut, besi laut dan reklamasi.
“Agenda ini sangat penting untuk kita kuatkan bersama untuk mendesak negara untuk segera mengevaluasi dan mencabut berbagai proyek strategis nasional di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kami berharap ke depan bagaimana kegiatan ini bisa terhubung dengan wilayah-wilayah lain untuk memperluas konsolidasi mendesak negara untuk mencabut PP No-26 tahun 2023,” pungkasnya. (***)