Mongabay.co.id

Misteri Punahnya Gigantopithecus blacki, Kera Terbesar di Bumi Terkuak

 

 

Misteri punahnya Gigantopithecus blacki, kera terbesar di Bumi terkuak. Kekurangan buah-buahan bergizi dan berubahnya lingkungan, memungkinkan menjadi penyebab, saat kera besar sezamannya atau orangutan purba [P. weidenreichi], mampu bertahan di tengah perubahan alam yang terjadi pada 300.000 tahun lalu.

Dengan perkiraan tinggi 3 meter dan berat 200-300 kilogram, atau tiga kali lipat lebih besar orangutan saat ini, Gigantopithecus blacki merupakan primata terbesar yang pernah hidup, sekaligus megafauna terbesar di Asia Tenggara.

“Kepunahannya sungguh misterius, mengingat kera ini satu dari sedikit kera besar di Asia yang punah dalam 2,6 juta tahun terakhir, sedangkan kera besar lainnya, termasuk orangutan, bertahan hingga sekarang,” terang Zhang et al. [2024], dalam penelitian berjudul “The demise of the giant ape Gigantopithecus blacki”, yang terbit di Jurnal Nature, Rabu [10/1/2024].

Dikutip dari nature.com, upaya untuk memecahkan misteri itu berawal dari Antropolog Ralph von Koenigswald yang menemukan sebuah gigi besar kera di apotek Hong Kong, hampir 90 tahun lalu. Awalnya, gigi ini dikira ‘gigi naga’, karena ukuran geraham yang besar dan ketebalan lapisan luarnya [email] tidak biasa.

Sejak itu, para peneliti melakukan pencarian dan menemukan empat tulang rahang beserta 2.000 gigi di gua-gua yang tersebar di seluruh Tiongkok.

“Bukti fosil yang sedikit, membuat sulit untuk mendapatkan gambaran akurat G. blacki, terlebih  keadaan yang menyebabkan hilangnya spesies tersebut,” jelas rekan penulis studi tersebut, Kira Westaway, ahli geokronologi di Macquarie University, Sydney, Australia.

Merasa belum puas, Westaway dan kolega menganalisis fosil serta sedimen dari 22 gua di Cekungan Chongzuo dan Bubing di Tiongkok selatan.

“Mereka menggunakan enam metode penanggalan untuk mengetahui jangka waktu pasti kematian G. blacki. Juga, merekonstruksi lingkungan kera raksasa tersebut pada periode sebelum punah dengan menggunakan berbagai teknik, seperti analisis serbuk sari dan menyelidiki lapisan sedimen menggunakan mikroskop,” dikutip dari Nature.

Baca: Studi: Penelitian Konservasi Alam Tropis Lebih Fokus pada Kera Besar

 

Inilah sosok Gigantopithecus blacki, kera terbesar yang pernah hidup di Bumi. Kredit: Garcia/Joannes-Boyau (Southern Cross University) via Nature

 

Para peneliti juga menganalisis jejak kimiawi email gigi G. blacki untuk mengetahui bagaimana pola makannya berubah seiring berjala waktu, lalu membandingkan dengan yang terlihat pada gigi kerabat dekatnya Pongo weidenreichi.

Hasil penelitian Zhang menyatakan, G. blacki bertahan di Tiongkok dari sekitar 2 juta tahun hingga akhir Pleistosen tengah ketika ia punah. Selama masa kejayaannya [2,3 juta tahun lalu], habitatnya merupakan hutan lebat dan padang rumput.

“Penelitian mengungkapkan, G. blacki menghilang antara 295.000 dan 215.000 tahun lalu, sedikit lebih lambat dari perkiraan sebelumnya [420.000–330.000 tahun silam],” dikutip dari Nature.

Melalui analisis gigi G. blacki periode ini, peneliti juga menemukan beberapa pita berbeda dari berbagai elemen jejak. Semakin jelas dan jelas garisnya, semakin banyak elemen yang dikandung gigi. Artinya, kera raksasa tersebut memakan berbagai macam makanan dan minum banyak air.

Baca: Terjawab Sudah, Mengapa Gorilla Suka Memukul-mukul Dada

 

Lokaso penelitian Gigantopithecus blacki. Peta: Zhang et al/Nature

 

Bentang alam berubah

Melalui analisis serbuk sari, kepunahan G. blacki dipicu oleh perubahan bentang alam menjadi lanskap hutan yang lebih terbuka akibat perubahan musim yang drastis, sejak 700.000 tahun lalu.

Pada periode ini, gigi G. blacki menampakkan garis-garis lebih kabur, tanda ia terpaksa mengonsumsi makanan yang kurang bergizi dan lebih berserat karena kelangkaan sumber air dan makanan favoritnya di hutan. Lebih sedikitnya temuan fosil selama periode ini, menunjukkan bahwa populasinya semakin berkurang.

“Jika dibandingkan peristiwa kepunahan terkenal lainnya di Amerika Utara dan Australia yang dipengaruhi Homo sapiens, tidak ada bukti menunjukkan bahwa hominin purba berperan dalam peristiwa kepunahan megafauna sebelumnya di Tiongkok selatan,” kata Zhang.

Di sisi lain, ketika G. blacki hanya mampu hidup di darat dan harus berjalan menuruni lembah hanya untuk memperoleh air, Pongo weidenreichi yang bersifat arboreal bergerak memanjat pohon untuk memperoleh air di sekitar kanopi daun.

Pada situasi krisis lingkungan ini, ukuran tubuh yang besar nampaknya juga kurang menguntungkan G. blacki, karena membutuhkan asupan makanan lebih tinggi, sehingga pola pertumbuhan menjadi lebih lambat dan tertunda. Artinya, tingkat reproduksi lebih rendah.

G. blacki mengalami peningkatan ukuran gigi selama masa Pleistosen, yang berarti terjadi peningkatan ukuran tubuh, sementara P. weidenreichi mengalami penurunan sehingga membuatnya menjadi adaptor lebih gesit.”

P. weidenreichijuga menunjukkan fleksibilitas terhadap habitat terbuka yang berpotensi bergerak dalam kelompok lebih kecil dan mampu menyesuaikan perilakunya sebagai respons perubahan lingkungan, sehingga mengurangi tekanan populasi.

Pongo weidenreichi juga berhasil menyesuaikan preferensi makanan dan perilakunya terhadap perubahan ini, sementara G. blacki menunjukkan tanda-tanda stres kronis dan berkurangnya populasi.

G. blacki adalah spesialis terhebat dan ketika lingkungan arboreal berubah, perjuangannya untuk beradaptasi menentukan nasibnya. Pada akhirnya punahnya,” jelasnya.

Baca: Mencermati Masa Depan Orangutan Sumatera

 

Orangutan sumatera yang habitatnya di Pulau Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nasib orangutan di Indonesia

Saat ini, orangutan merupakan jenis kera besar di Asia yang terancam punah. Sementara kerabatnya; gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika.

Habitat asli orangutan hanya ada di dua pulau, yaitu Sumatera serta Borneo [Kalimantan dan Sabah, Malaysia]. Ada tiga spesies orangutan di Indonesia; orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis], orangutan sumatera [Pongo abelii], dan orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus]. Semuanya dilindungi Pemerintah Indonesia dan upaya konservasinya terus dilakukan, seperti dikutip dari Kompas.id.

Mengutip International Union for Conservation of Nature [IUCN], ketiga spesies ini berstatus Kritis [Critically Endangered/CR], atau satu Langkah lagi menuju kepunahan di alam liar [Extinct In The Wild/EW].

Ketiga spesies ini menghadapi situasi sebagaimana G. blacki. Bedanya, perubahan lingkungan pada masa G blacki, mungkin tidak dipengaruhi Homo sapiens atau manusia. Sebaliknya, dikutip dari IUCN, perubahan habitat ketiga spesies orangutan saat ini, sebagian besar berasal dari aktivitas manusia [antropogenik].

Mulai dari habitat Pongo abelii yang tergerus akibat tingginya tingkat konversi dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan ilegal.

“Sebagian besar wilayah jelajahnya terancam penebangan kayu, konsesi pertambangan, perkebunan, dan pertanian. Sementara jalan-jalan baru terus menerus dipotong untuk melintasi habitat tersebut.”

Saat ini mayoritas orangutan sumatera [82,5 persen] ditemukan di Provinsi Aceh di ujung paling utara pulau tersebut. Populasi terbesarnya terdapat di wilayah selatan dan timur hutan Kawasan Ekosistem Leuser.

“Meskipun beberapa petak kecil hutan di selatan Ekosistem Leuser tampaknya masih menjadi rumah bagi populasi orangutan, hanya satu populasi di Sumatera Utara yang dianggap dapat bertahan dalam jangka panjang, yaitu populasi di Pakpak Bharat, Sumatera Utara,” lanjut IUCN.

Baca: Lebih Dekat dengan Orangutan Kalimantan

 

Orangutan kalimantan yang habitatnya juga terancam akibat alih fungsi lahan. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Selanjutnya, dengan perkiraan populasi kurang dari 800 individu [2016], Pongo tapanuliensis [orangutan tapanuli] yang banyak terdapat di Ekosistem Batang Toru, merupakan spesies kera besar yang jumlahnya paling sedikit.

“Sebagian besar wilayah jelajah orangutan tapanuli terancam konversi habitat untuk pertanian skala kecil, eksplorasi dan eksploitasi pertambangan, skema pembangkit listrik tenaga air skala besar, pengembangan panas bumi, dan perkebunan,” kata IUCN.

Terakhir, ada Pongo pygmaeus [orangutan kalimantan] yang tersebar di Kalimantan dan Sabah, Malaysia. Seperti dituliskan IUCN, perubahan iklim dan tekanan manusia telah mengakibatkan penurunan signifikan spesies ini selama beberapa waktu terakhir.

Berdasarkan perhitungan IUCN dengan sejumlah penelitian, diproyeksikan hanya akan tersisa 47.000 individu orangutan kalimantan tersisa pada 2025, akibat kehilangan habitat. Ini diperparah dengan adanya perkiraan bahwa 44.170–66.570 individu atau lebih dari 50 persen populasi asli mereka dibunuh secara ilegal hanya dalam waktu 40 tahun.

 

Referensi jurnal:

Zhang, Y., Westaway, K. E., Haberle, S., Lubeek, J. K., Bailey, M., Ciochon, R., Morley, M. W., Roberts, P., Zhao, J., Duval, M., Dosseto, A., Pan, Y., Rule, S., Liao, W., Gully, G. A., Lucas, M., Mo, J., Yang, L., Cai, Y., … Joannes-Boyau, R. (2024). The demise of the giant ape Gigantopithecus blacki. Nature. https://doi.org/10.1038/s41586-023-06900-0

 

Orangutan Tapanuli dan 7 Fakta Uniknya

 

Exit mobile version