Mongabay.co.id

Teki Ladang, Gulma Hebat Penyerap Logam Berat

 

 

Teki ladang [Cyperus rotundus L.] merupakan gulma hebat. Julukannya, gulma paling gigih di dunia [Peerzada, 2017]. Ini dikarenakan, ketika dicabut, rimpangnya yang masih tertinggal di tanah, akan tumbuh kembali dalam jumlah lebih banyak.

Ia juga bersifat abadi karena memiliki keragaman genetik, kemampuan untuk mentolerir kondisi iklim yang merugikan, sangat kompetitif, tahan herbisida, serta memiliki potensi alelopati. Semua itu membantunya tumbuh subur di berbagai wilayah agroklimat, seperti Asia Selatan, Tenggara dan Tengah, Afrika, Amerika Selatan dan Utara, serta Australia.

Namun, melalui penelitian Ashraf et al. [2010], teki ladang untuk pertama kalinya dilaporkan sebagai tumbuhan luar biasa yang berpotensi memiliki kemampuan menyerap logam berat [khususnya timah].

Melalui penelitian berjudul ‘Heavy metals accumulation and tolerance in plants growing on ex-mining area, Bestari Jaya, Kuala Selangor, Peninsular Malaysia’, Ashraf melakukan analisis terhadap 36 jenis tumbuhan yang dikumpulkan di kawasan tambang tua bernama Bestari Jaya [nama lama Batang Berjuntai].

Hasilnya, hanya teki ladang yang memenuhi kriteria sebagai tumbuhan hiperakumulator, karena mampu mengumpulkan logam berat 100-1.000 kali lebih banyak dibandingkan tumbuhan lain [Rascio & Navari-Izzo, 2011].

“Total 1.990,44 mg/kg konsentrasi logam ditemukan pada akar, pucuk, daun dan bunga yang menunjukkan bahwa tanaman ini mempunyai potensi sebagi ‘tin-hyperaccumulator plant’, yang sebelumnya tidak dilaporkan dalam literatur,” katanya.

Baca: Sabut Kelapa untuk Kurangi Pencemaran Limbah Cair Industri, Caranya?

 

Teki ladang merupakan satu dari ratusan tumbuhan hiperakumulator, yang mampu menyerap logam berat 100 hingga 1.000 kali lebih banyak dibandingkan tumbuhan lain. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hal ini juga didukung penelitian Ariyachandra et al. [2023], yang menyatakan Cyperus rotundus mampu mengekstraksi dan mengakumulasi As, Cd, Pb, Rb, Sn, dan Zn pada akar dan pucuknya pada kondisi tanah yang sangat tercemar logam berat.

Selain itu, Cypreus rotundus menunjukkan nilai faktor biokonsentrasi dan faktor translokasi yang cukup besar ke berbagai logam berat, sekaligus menekankan kemungkinan remediasi logam berat melalui spesies tanaman ini.

“Akibatnya, Cyperus rotundus dapat diidentifikasi sebagai kemungkinan hiperakumulator dan fitostabilisasi untuk sebagian besar logam berat, bagi studi fitoremediasi mendatang,” katanya.

Selain itu, kemampuan teki ladang dalam mengumpulkan logam berat tidak menimbulkan efek yang dapat menyebabkan kerusakan, atau penghambatan proses pertumbuhannya [fitotoksik].

Baca: Penelitian: Pencemaran Logam Berat Berkurang dengan Ampas Kopi

 

Teki ladang memenuhi karakter sebagai ‘tin-hyperaccumulator plant’, karena kemampuannya menyerap berbagai logam, termasuk timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Logam berat

Mengutip Rascio & Navari-Izzo, [2011], dalam biologi, “berat” mengacu pada serangkaian logam dan juga metaloid yang dapat menjadi racun bagi tanaman dan hewan, bahkan bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah sekalipun.

Beberapa logam berat ini, seperti As, Cd, Hg, Pb atau Se, tidak esensial karena tidak menjalankan fungsi fisiologis yang diketahui pada tanaman. Sementara Co, Cu, Fe, Mn, Mo, Ni dan Zn, merupakan unsur penting yang diperlukan untuk pertumbuhan normal dan metabolisme tanaman.

“Unsur-unsur terakhir ini dapat dengan mudah menyebabkan keracunan ketika konsentrasinya meningkat hingga nilai supra-optimal,” katanya.

Mengutip penelitian Reeves et al. [2018], pada Juli 2017 database memuat 721 spesies hiperakumulator [523 nikel, 53 tembaga, 42 kobalt, 42 mangan, 41 selenium, 20 seng, 8 timbal, 7 kadmium, 5 arsenik, 2 unsur tanah jarang, 2 talium, dan 1 kromium], dengan beberapa spesies menunjukkan hiperakumulasi lebih dari satu unsur.

Negara dengan jumlah spesies tumbuhan hiperakumulator yang dipublikasikan terbanyak adalah Kuba [128], Kaledonia Baru [65], Turki [59], dan Brasil [30].

“Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan baru-baru ini di Sabah, Malaysia [4 spesies tanaman hiperakumulator nikel], membuat Asia Tenggara juga muncul sebagai pusat keanekaragaman tanaman hiperakumulator global,” katanya.

Baca: Jarang Dilirik, Jaring Laba-Laba Ternyata Bisa Jadi Bioindikator Polusi

 

Keunggulan teki ladang adalah rimpangnya dapat menyerap logam berat ke semua arah, sehingga dijuluki gulma paling gigih di dunia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tumbuhan penyerap logam berat

Aktivitas tumbuhan hiperakumulator terbilang unik dan sangat menarik. Ketika mayoritas tumbuhan yang hidup di tanah alami mengandung racun melakukan pembatasan terhadap masuknya logam berat, tumbuhan hiperakumulator justru melakukan sebaliknya.

Rascio & Navari-Izzo, [2011] menjelaskan sejumlah hipotesis yang menyatakan alasan tumbuhan ini menyerap logam berat berlebihan. Diantaranya, hipotesis unsur pertahanan terhadap musuh herbivora yang coba memakan daun mereka.

“Konsentrasi logam berat yang tinggi membuat daun hiperakumulator beracun bagi herbivora,” lanjutnya.

Namun, efek toksik ini tidak melindungi tumbuhan dari kerusakan sebelum meracuni musuh. Dengan kata lain, efek racun berjalan setelah daun dimakan oleh musuh. Hal ini juga mendapat tantangan ketika sejumlah herbivora bisa memilih target tumbuhan yang sedikit mengandung logam berat.

Hipotesis lain adalah sejumlah besar logam berat dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, dengan peran menghemat air di dinding sel atau bertindak sebagai osmolit di dalam sel.

“Namun hipotesis ini hampir tidak didukung bukti eksperimental, sehingga validasinya memerlukan penyelidikan lebih lanjut.”

Selanjutnya, ada dugaan “unsur alelopati” yang dimiliki hiperakumulator abadi dapat mengganggu tanaman di sekitarnya melalui pengayaan logam di permukaan tanah di bawah kanopinya. Hal ini menyebabkan serasah daun dengan kandungan logam tinggi ‘mengusir’ spesies lain yang kurang toleran terhadap logam.

“Di antara hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan fungsi hiperakumulasi, sebagian besar bukti mendukung hipotesis “pertahanan unsur”, yang menyatakan bahwa tanaman mengalami hiperakumulasi logam berat sebagai mekanisme pertahanan terhadap musuh alami, seperti herbivora,” jelasnya.

Baca: Akibat Penambangan Timah, Kerang di Pulau Bangka Mengandung Logam Berat?

 

Daun teki ladang juga mampu menyerap logam berat, mekanisme ini sebagai bentuk pertahanan terhadap musuh alami. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Memulihkan lingkungan

Tanah yang tercemar logam berat akibat berbagai aktivitas manusia [pertambangan, pertanian, perternakan, industri dsb.] telah menimbulkan masalah serius bagi kesehatan manusia dan hewan.

Selama dua dekade terkahir, penggunaan tanaman yang mengalami hiperakumulasi logam tertentu dalam upaya pembersihan telah muncul, dan menarik banyak perhatian peneliti di seluruh dunia.

“Spesies yang mengakumulasi logam dapat digunakan untuk fitoremediasi [penghilangan pencemar dari tanah] atau fitomining [menanam tanaman untuk memanen logam],” jelas Rascio & Navari-Izzo, [2011].

Melalui penelitian Issaka & Ashraf, [2021], spesies tumbuhan seperti teki ladang [Cyperus rotundus L.], alang-alang [Imperata cylindricaI], dan senduduk [Melastoma malabathricum], menunjukkan potensi penuh dalam keberhasilan fitoremediasi pertambangan.

“Mereka juga menyetujui kondisi lingkungan yang terekspos dan mempunyai kemampuan dalam membuang racun logam dalam tanah dan air. Karenanya, penelitian ini mengusulkan pengembangan tutupan lahan ramah lingkungan dan hijau ke dalam reklamasi pemulihan daerah tangkapan pertambangan.”

Fitoremediasi dianggap lebih aman terhadap masalah pencemaran logam berat, bila dibandingkan metode remediasi fisik dan kimia.

“Penggunaan tanaman di lokasi dan media yang tercemar untuk mengurangi racun merupakan teknologi relatif baru yang hemat biaya, ramah lingkungan, digerakkan tenaga surya dan mendapat persetujuan kuat dari masyarakat,” kata Farooqi et al., [2022].

Baca juga: Memanen Air Atmosfer untuk Hadapi Kekeringan, Seperti Apa?

 

Saat musim penghujan, teki ladang mulai berbunga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Disamping terus melakukan upaya pembersihan, tumbuhan hiperakumulator juga dapat menambang logam berharga dari lokasi termineralisasi [fitomining]. Fitomining memulihkan lahan terdegradasi yang ditambang dengan menanam spesies hiperakumulator.

“Proses ini bisa memakan waktu puluhan hingga ratusan tahun. Namun, area yang akan ditambang mungkin siap untuk ditanami dan dapat digunakan kembali untuk pertanian, hortikultura, dan kehutanan,” jelas Sheoran et al. 2009].

Secara sederhana, teknik pengumpulan logam dilakukan dengan memanen tumbuhan yang telah mengakumulasi logam, lalu diekstrak dalam laboratorium untuk memperoleh jenis logam yang diinginkan.

Hanya saja, karena tumbuhan hiperakumulator mampu menyimpan logam berat dalam tubuh mereka, upaya pencegahan konsumsi terhadap makhluk hidup lain diperlukan agar logam berat tidak pindah ke tubuh konsumen [manusia atau bahkan hewan ternak].

“Diperlukan waktu yang lama [beberapa tahun] untuk remediasi tanah. Kemanjuran fitoekstraksi pada sebagian besar tanaman hiperakumulator logam umumnya dibatasi oleh biomassanya yang rendah dan laju pertumbuhan yang lambat, serta pembuangan zat-zat yang tercemar dengan benar, menjadi tantangan pengembangan teknologi ini,” jelas Mahar et al., [2016].

 

Referensi jurnal:

Ariyachandra, S. P., Alwis, I. S., & Wimalasiri, E. M. (2023). Phytoremediation Potential of Heavy Metals by Cyperus rotundus. Reviews in Agricultural Science, 11, 20–35. https://doi.org/10.7831/ras.11.0_20

Ashraf, M. A., Maah, M. J., Yusoff, I., & Gharibreza, M. M. (2010). Heavy metals accumulation and tolerance in plants growing on ex-mining area, Bestari Jaya, Kuala Selangor, Peninsular Malaysia. 2010 International Conference on Environmental Engineering and Applications, 267–271.

Farooqi, Z. U. R., Hussain, M. M., Ayub, M. A., Qadir, A. A., & Ilic, P. (2022). Chapter 2 – Potentially toxic elements and phytoremediation: Opportunities and challenges (R. A. Bhat, F. M. P. Tonelli, G. H. Dar, & K. B. T.-P. Hakeem, Eds.; pp. 19–36). Academic Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-323-89874-4.00020-0

Issaka, S., & Ashraf, M. A. (2021). Phytorestoration of mine spoiled: “Evaluation of natural phytoremediation process occurring at ex‑tin mining catchment.” In K. Bauddh, J. Korstad, & P. B. T.-P. of A. M. and O. D. S. Sharma (Eds.), Phytorestoration of Abandoned Mining and Oil Drilling Sites (pp. 219–248). Elsevier. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-821200-4.00009-1

Mahar, A., Wang, P., Ali, A., Awasthi, M. K., Lahori, A. H., Wang, Q., Li, R., & Zhang, Z. (2016). Challenges and opportunities in the phytoremediation of heavy metals contaminated soils: A review. Ecotoxicology and Environmental Safety, 126, 111–121. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecoenv.2015.12.023

Peerzada, A. M. (2017). Biology, agricultural impact, and management of Cyperus rotundus L.: the world’s most tenacious weed. Acta Physiologiae Plantarum, 39(12), 270. https://doi.org/10.1007/s11738-017-2574-7

Rascio, N., & Navari-Izzo, F. (2011). Heavy metal hyperaccumulating plants: How and why do they do it? And what makes them so interesting? Plant Science, 180(2), 169–181. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.plantsci.2010.08.016

Reeves, R. D., Baker, A. J. M., Jaffré, T., Erskine, P. D., Echevarria, G., & van der Ent, A. (2018). A global database for plants that hyperaccumulate metal and metalloid trace elements. New Phytologist, 218(2), 407–411. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/nph.14907

Sheoran, V., Sheoran, A. S., & Poonia, P. (2009). Phytomining: A review. Minerals Engineering, 22(12), 1007–1019. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.mineng.2009.04.001

 

Riset: Tumbuhan Menjerit Ketika Stres, tapi Manusia Tidak Mendengarnya

 

Exit mobile version