- Bagi sejumlah masyarakat adat di Kepulauan Bangka Belitung dan mungkin di seluruh dunia, menghormati tumbuhan, serta memahami apa yang mereka inginkan menjadi salah satu kunci keharmonisan hidup mereka dengan alam.
- Penelitian baru-baru ini menunjukkan, tumbuhan ternyata dapat megeluarkan “suara di udara” saat merasa haus atau stres. Dengan kata lain suara ini dapat didengar oleh makhluk hidup lain, kecuali manusia. Ini juga diakui sebagai “jeritan” tumbuhan.
- Temuan ini dapat membantu manusia melakukan tindakan yang tepat dan efektif terhadap tumbuhan yang mengalami tekanan atau stres, serta memahami apa yang dibutuhkan oleh tanaman, seperti kekurangan air, diserang hama, dan tekanan lingkungan.
- Bagaimana tanaman mengeluarkan suara berfokus pada xilem, yakni saluran pengangkut air dan nutrisi dari akar ke batang, serta daun. Air dalam xilem terikat oleh tegangan permukaan, seperti air yang dihisap menggunakan sedotan.
[Audio] Riset: Tumbuhan Menjerit Ketika Stres, tapi Manusia Tidak Mendengarnya
Juni 2022 lalu, merupakan pertemuan pertama saya dengan Nurdin [61], penjaga sekaligus pengurus Hutan Kemasyarakatan [HKm] Bukit Peramun. Di hutan seluas 115 hektar itu, Pak Itin [sapaan akrab Nurdin] menghabiskan separuh hidupnya.
“Lebih senang di hutan, setiap hari kita bisa belajar hal baru dan menjadi lebih dekat dengan alam,” kata Nurdin, saat ditemui di pondoknya di hutan Bukit Peramun, Desa Air Selumar, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.
Nurdin sering pergi ke Bukit Peramun malam hari dan tidur di sebuah pondok kecil di sekitar hutan. Dia mengaku sering bertemu beragam satwa liar, seperti mentilin, pelanduk, rusa, dan lainnya. Selain itu, ada sekitar 147 jenis tumbuhan di Bukit Peramun, sebagian besar merupakan sumbangsih pengetahuan Pak itin, setelah puluhan tahun menjelajah rimbu tersebut.
“Hampir setiap hari pergi ke hutan, baik siang maupun malam. Tapi paling senang saat malam, saya sering berbaring di sebuah batu granit, menatap langit, dan mendengar “suara” hutan,” lanjut Nurdin.
Baca: Lumpia Semarang dan Sejarah Akulturasi Budaya Jawa-Tionghoa
Suara yang dimaksud Nurdin, bukan sekadar suara ranting pohon patah, dedaunan tertiup angin, ataupun gemericik aliran air di tengah hutan.
“Dari suara-suara itu, saya merasa mereka [pohon-pohon] berupaya memberi tahu perasaan mereka. Ada yang merasa bahagia ataupun sedih. Mereka benar-benar hidup,” kata Pak Itin.
Dari pengalamannya itu, dia lebih mengerti apa yang diinginkan tumbuhan. Di sepetak kebun miliknya, ia menanam jagung, umbi-umbian, serta berbagai tanaman rempah.
“Saya jadi paham bagaimana memperlakukan tanaman di kebun. Mereka [tumbuhan] tidak suka ditabur pupuk kimia, masing-masing jenis tumbuhan juga punya kebutuhan air berbeda, kapan harus disiram, dan tentunya butuh kasih sayang juga,” lanjutya.
“Dengan paham apa yang mereka inginkan, tumbuhan di kebun lebih subur serta lebih banyak berbuah.”
Pemahaman terkait tumbuhan yang dimiliki Pak Itin, mirip dengan sejumlah Suku Melayu tua di Pulau Bangka. Seperti Suku Mapur, Suku Jerieng, dan lainnya.
“Semua yang ada di hutan itu hidup, saat mau ambil tumbuhan obat-obatan di hutan, kami harus minta izin dulu kepada mereka,” kata Abok Gedoi, Ketua Adat Mapur di Dusun Air Abik.
“Begitupun saat berkebun, tumbuhan yang kita tanam ibarat anak yang harus dirawat dengan kasih sayang, dengan begitu kita bisa mendapat berkah dari apa yang kita tanam,” kata Janum bin Lamat, Ketua Adat Suku Jerieng di Desa Pelangas.
Baca: Memanen Air Atmosfer untuk Hadapi Kekeringan, Seperti Apa?
Tumbuhan menjerit
Apa yang dirasakan dan dipraktikkan Pak Itin, Abok Gedoi, Janum bin Lamat, serta masyarakat adat lainnya di dunia, mungkin tidak dirasakan manusia lainnya. Terutama mereka yang tidak terlibat dan berinteraksi dalam waktu lama dengan alam atau tumbuhan.
Bagi manusia, umumnya saat tumbuhan mengalami tekanan atau menerima stres dari lingkungan [kurang air, hama dsb.], tumbuhan hanya menunjukkan tanda perubahan seperti daun yang layu, warna berbeda, bentuk tidak ideal, hingga mengeluarkan bau. Namun, tanda tersebut muncul ketika tumbuhan mungkin sudah dalam kondisi kritis dan akan segera mati.
Sebuah penelitian [Khait et al., 2023] yang diterbitkan dalam jurnal Cell.com pada Maret 2023 menunjukkan, tumbuhan dapat megeluarkan “suara di udara” saat merasa haus atau stres. Dengan begitu, kita dapat melakukan tindakan yang tepat dan efektif. Sayangnya, suara ini tidak dapat didengar langsung oleh manusia.
“Suaranya bersifat ultrasonik, sekitar 20–100 kilohertz. Itu berarti nadanya sangat tinggi sehingga hanya sedikit manusia yang dapat mendengarnya. Namun, beberapa hewan mungkin bisa. Kelelawar, tikus, dan ngengat berpotensi hidup di dunia yang dipenuhi suara tumbuhan, dan penelitian sebelumnya oleh tim yang sama menemukan bahwa tumbuhan juga merespons suara hewan,” dikutip dari nature.com.
Baca: Ikan Buntal yang Menjelaskan Sungai Purba di Pulau Belitung
Dalam proses penelitian, Lilach Hadany dari Universitas Tel-Aviv dan kawan-kawan, mengamati tumbuhan tembakau [Nicotiana tabacum] dan tomat [Solanum lycopersicum] dalam kotak kecil yang dilengkapi mikrofon. Mikrofon tersebut menangkap suara apa pun yang dihasilkan tanaman, meskipun peneliti tidak dapat mendengarnya.
“Kebisingan ini terutama terlihat jelas pada tanaman yang mengalami stres karena kekurangan air atau pemotongan. Jika suaranya diturunkan dan dipercepat, rasanya seperti letupan popcorn yang sangat singkat. Itu bukan nyanyian,” kata Hadany, dikutip dari nature.com.
Jumlah rata-rata suara yang dikeluarkan oleh tanaman yang kehausan dan baru saja dipotong batangnya sekitar 25-35 suara per jam. Sebaliknya, tumbuhan yang terhidrasi dengan baik dan tidak dipotong lebih hening, atau kurang dari satu suara per jam.
Sebelumnya, tim Hadany [Veits et al., 2019] juga menemukan tumbuhan dapat mendengar, dan menyatakan spesies bunga mawar pantai [Oenothera drummondii] mengeluarkan nektar yang lebih manis ketika terkena suara lebah terbang.
Namun, menurut Graham Pyke, pensiunan ahli biologi dari Universitas Macquarie di Sydney, Australia, teori bahwa kebisingan tumbuhan merupakan ciri penting ekosistem, yang memengaruhi perilaku tumbuhan dan hewan, belum jelas.
Graham Pyke skeptis bahwa hewan mendengarkan rintihan tanaman yang stres. “Tidak mungkin hewan ini benar-benar dapat mendengar suara pada jarak sejauh itu. Suaranya terlalu lemah,” lanjutnya, dikutip dari nature.
Penelitian lebih lanjut akan memberikan lebih banyak penjelasan mengenai masalah ini. Namun, Pyke mengatakan dia bersedia menerima bahwa tanaman “menjerit” ketika stres.
Baca juga: Caecilian Billiton, Amfibi Endemik Belitung yang Ditemukan Kembali Setelah Lima Dekade
Penting untuk pertanian dan hortikultura
Tumbuhan tidak punya pita suara atau paru-paru. Lantas bagaimana suara tersebut berasal? Masih dikutip dari nature.com, Hadany mengatakan, teori saat ini bagaimana tanaman mengeluarkan suara berfokus pada xilem, yakni saluran pengangkut air dan nutrisi dari akar ke batang, serta daun. Air dalam xilem terikat oleh tegangan permukaan, seperti air yang dihisap menggunakan sedotan.
“Ketika gelembung udara terbentuk atau pecah di xilem, mungkin akan timbul sedikit suara letupan. Pembentukan gelembung lebih mungkin terjadi selama cekaman kekeringan. Namun, mekanisme pastinya memerlukan penelitian lebih lanjut,” ujarnya.
Penelitian ini juga menggunakan model pembelajaran mesin untuk menyimpulkan perbedaan antara suara tanaman yang dipotong atau mengalami tekanan air dengan akurasi sekitar 70 persen.
“Hasil ini menunjukkan kemungkinan peran pemantauan audio tanaman di pertanian dan hortikultura,” lanjutnya.
Namun, bagaimana jika perekaman suara ini dilakukan di luar ruangan dan bagaimana mengatasi suara lain diluar suara tumbuhan? “Dengan bantuan program komputer yang dilatih untuk menyaring kebisingan latar belakang dari unit angin dan AC, tanaman masih dapat terdengar,”paparnya.
Selain itu, tanaman tomat dan tembakau bukan satu-satunya tumbuhan yang mampu mengeluarkan suara. Gandum [Triticum aestivum], jagung [Zea mays], dan anggur [Vitis vinifera] juga mengeluarkan suara saat haus.
Dalam penelitian itu dijelaskan, secara khusus, suara yang dikeluarkan oleh tanaman dapat bermanfaat dalam proses pemantauan kondisi air tanaman, serta potensi penyakit dan masalah penting dalam pertanian. Irigasi yang efektif dapat menghemat hingga 50 persen pengeluaran air dan meningkatkan hasi panen, dengan implikasi ekonomi yang besar.
“Di saat semakin banyak wilayah terkena kekeringan akibat perubahan iklim, penggunaan air yang efisien menjadi semakin penting, baik bagi ketahanan pangan maupun ekologi,” kata Hardany dkk.
Referensi jurnal:
Khait, I., Lewin-Epstein, O., Sharon, R., Saban, K., Goldstein, R., Anikster, Y., Zeron, Y., Agassy, C., Nizan, S., & Sharabi, G. (2023). Sounds emitted by plants under stress are airborne and informative. Cell, 186(7), 1328–1336. https://www.cell.com/cell/fulltext/S0092-8674(23)00262-3?_returnURL=https%3A%2F%2Flinkinghub.elsevier.com%2Fretrieve%2Fpii%2FS0092867423002623%3Fshowall%3Dtrue
Veits, M., Khait, I., Obolski, U., Zinger, E., Boonman, A., Goldshtein, A., Saban, K., Seltzer, R., Ben‐Dor, U., & Estlein, P. (2019). Flowers respond to pollinator sound within minutes by increasing nectar sugar concentration. Ecology Letters, 22(9), 1483–1492. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/ele.13331