Mongabay.co.id

Serangga Phyllium gardabagusi, Jenis Baru yang Namanya dari Peneliti Indonesia

 

 

Lelaki ini bukan sarjana biologi atau kehutanan. Dia lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris tahun 2011, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Namun, kecintaan pada serangga, terutama serangga ranting dan serangga daun, membuat namanya dikenal dunia.

Dia adalah Garda Bagus Damastra. Seorang entomologis atau peneliti serangga dengan reputasi internasional.

Perjalanan ke Gunung Argopuro, Desa Bremi, Kecamatan Krucil, Probolinggo, Jawa Timur, tahun 2016, membuat namanya tercatat sebagai penemu spesies baru serangga daun.

“Setahun kemudian saya baru sadar, ternyata warna ungu pada ketiak serangga ini berbeda dengan kerabat terdekatnya,” terang Bagus, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [14/1/2024].

Awalnya, Bagus mengira serangga yang dilihatnya itu merupakan Phyllium jacobsoni yang sudah diidentifikasi dan banyak dijumpai di sekitar Gunung Halimun, Jawa Barat, dan Gunung Bromo, Jawa Timur.

Dia pun mengabarkan temuannya ke peneliti luar negeri Frank H. Henneman, Royce T. Cumming, dan Stephane Le Tirant. Juga kepada pencinta serangga, Davis Marthin Damaledo.

“Hasil riset teman-teman menunjukkan, ternyata ini serangga jenis baru dan tahun 2020 dipublikasikan dengan nama saya, Phyllium gardabagusi,” tuturnya.

Tulisan di jurnal ZooKeys tersebut berjudul “Notes on the leaf insects of the genus Phyllium of Sumatra and Java, Indonesia, including the description of two new species with purple coxae [Phasmatodea, Phylliidae]”.

Dalam lapaoran itu disebutkan, spesies ini satu-satunya yang berkerabat dekat dan secara konsisten dapat dipisahkan secara morfologi dari Phyllium jacobsoni. Ini dikarenakan, warna koksa, ruas kaki yang terletak pada pangkal kaki, berwarna putih pada Phyllium jacobsoni dan ungu pada Phyllium gardabagusi.

Baca: Serangga Ranting Baru, Spesies yang Ditemukan Remaja NTT

 

Inilah serangga jantan dewasa Phyllium gardabagusi. Foto: Dok. Garda Bagus Damastra

 

Minim penelitian serangga

Di Indonesia, serangga yang banyak mendapat perhatian peneliti adalah kupu-kupu, capung, dan serangga yang berkaitan dengan pertanian [hama].

Bagus pun merasa kesulitan bila menemukan spesies baru, terlebih menelitinya. Dia harus menjalin kerja sama dengan peneliti serangga ranting dan daun dari luar negeri.

“Kedepannya saya berencana mengajak peneliti Indonesia. Ini kan kekayaan alam kita, harus banyak penelitinya,” ungkapnya.

Bagus tertantang bisa menguak lebih dalam misteri alam Indoensia dan menemukan spesies baru. Katanya, dengan mempublikasikan, spesises baru akan dikenal publik dan orang-orang lebih peduli untuk melindungi spesies tersebut, termasuk habitat dan eskositemnya agar tidak punah.

Potensi spesis baru, kebanyakan berada di daerah-daerah yang jauh dengan akses kurang baik. Ini menjadi tantangan sendiri untuk melakukan eksplorasi.

Ordo Phasmatodea, serangga ranting dan serangga daun di Indonesia, sangat kurang artikel yang bisa kita gunakan, sebagai panduan untuk penelitian lebih lanjut di Indonesia.”

Baca: Kepik, Serangga Mungil “Sahabat” Petani

 

Serangga betina Phyllium gardabagusi. Foto: Dok. Garda Bagus Damastra

 

Bagus mengakui, eksplorasi serangga di wilayah tengah ke barat Indonesia lebih sering. Sementara ke wilayah timur jarang, sehingga potensi menemukan jenis serangga baru sangat besar.

“Di wilayah timur, peluang ditemukan spesies baru sangat terbuka,” ungkapnya.

Dikutip dari ZooKeys, tujuh spesies baru telah dideskripsikan oleh para ahli entomologi internasional dari genus serangga daun Phyllium dan Pulchriphyllium.

Dua spesies berasal dari Indonesia, yakni Pulchriphyllium delislei dari Kalimantan Selatan dan Pulchriphyllium bhaskarai dari Jawa Barat.

Sementara lima lainnya yakni Phyllium iyadaon dari Pulau Mindoro-Filipina, Phyllium samarense dari Pulau Samar-Filipina, Phyllium ortizi dari Pulau Mindanao-Filipina, Pulchriphyllium heracles dari Vietnam, dan Pulchriphyllium anangu dari barat daya India.

Baca: Ini Robber Fly, Serangga Predator yang Ditakuti

 

Serangga jantan dan betina dewasa Phyllium gardabagusi yang namanya diambil dari peneliti serangga Indonesia. Foto: Dok. Garda Bagus Damastra

 

Raden Pramesa Narakusumo, peneliti muda Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, mengatakan serangga adalah “insinyur ekosistem”.

“Keberadaannya sangat signifikan di alam karena merupakan agen penting bagi keberlanjutan ekosistem,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Minggu [28/1/2024].

Pramesa menjelaskan, selain filogenetiknya, serangga juga dikenal memiliki keanekaragaman fungsional yang sangat tinggi. Ini karena, serangga memiliki peran penting di hampir seluruh niche [relung] dan habitat, khususnya kawasan terestrial.

“Peran-peran itu, seperti polinator [penyerbuk], herbivor, predator, scavanger, dekomposer, parasit, dan sumber nutrien. Namun, ada juga beberapa yang merugikan manusia, seperti sebagai hama maupun vektor penyakit.”

Saat ini di berbagai negara, serangga dilaporkan mengalami penurunan populasi di berbagai habitat. Hal ini ditengarai dikarenakan aktivitas antropogenik [manusia], seperti deforestasi.

“Penggunaan insektisida berlebihan, alih guna lahan, perubahan iklim, dan lainnya ikut mengganggu kestabilan dinamika populasi serangga secara global,” jelasnya.

 

Garda Bagus Damastra yang selalu semangat meneliti serangga. Foto: Dok. Garda Bagus Damastra

 

Serangga di Indonesia

Jumlah serangga di Indonesia, mengutip Wikipedia, diperkirakan sekitar 250 ribu spesies. Atau, sekitar 15% dari jenis biota utama yang diketahui di Indonesia.

Profesor Damayanti Buchori, entomologis dari Departemen Proteksi Tanaman IPB University menjelaskan, serangga merupakan salah satu penyusun ekosistem yang memiliki manfaat besar bagi kehidupan.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, populasi serangga keberadaannya semakin terancam, sehingga harus dilakukan upaya perlindungan.

“Berdasarkan data yang ada, populasi serangga yang menurun itu adalah lebah, sedangkan hama-hama invasif justru bertambah karena meluasnya daerah yang mereka kolonisasi,” jelasnya, dikutip dari situs IPB.

Apa dampaknya bila serangga punah?

“Lebih dari 75 persen tumbuhan diserbuki serangga, yang mayoritas lebah. Apabila penyerbuk hilang, maka tumbuhan-tumbuhan tidak dapat bereproduksi sehingga manusia akan kehilangan spesies tumbuhan dan juga hasil pertanian akan menurun. Kehidupan kita di Bumi akan terdampak dan collapse,” jelasnya.

 

Ilmuwan: Perubahan Iklim Mempercepat Kiamat Serangga

 

Exit mobile version