Mongabay.co.id

Debat Capres Cawapres, Begini Catatan Organisasi Lingkungan

 

 

 

 

 

Kurang dua pekan lagi, pemilihan umum akan berlangsung. Jelang pemilu pun makin diwarnai berbagai dinamika dari Cawapres 03,  Mahfud MD, mundur dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan sampai kabar hoaks Prabowo Subianto, calon presiden 02 sakit. Sebagai rangkaian pemilu, debat  capres terakhir, akan berlangsung pada 4 Februari nanti dengan tema kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi.

Pada debat calon wakil presiden  (cawapres) sebelumnya, yang mengangkat tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, , agraria, masyarakat adat dan desa dinilai belum menyentuh akar persoalan. Debat hanya mempertontonkan gimik, retorika, dan ide-ide tak konkret.

“Cukup banyak yang bagus [sebut isu], tapi tidak tereksplorasi lebih dalam gagasannya,” kata Uli Artha Siagian,  Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional.

Dia mengatakan, dalam debat cawapres itu ada ide-ide menarik yang berpihak pada lingkungan terucap tetapi, tidak ada langkah dan timeline konkret diutarakan.

Uli sebutkan, seperti kata taubat ekologis yang disuarakan Cawapres, Muhaimin Iskandar. Menurut Uli, ide ini seharusnya diteruskan juga dengan contoh operasional, seperti, pencabutan Undang-undang Cipta Kerja.

“Karena Undang-undang Cipta Kerja itu jalan menuju kerusakan ekologis hingga perlu pertobatan, misal, seperti itu,”  katanya.

Dengan langkah konkret, publik bisa memahami apa yang akan dilakukan dan menagih janji kalau tak terlaksana.

Walhi juga mengkritik solusi palsu dalam menangani perubahan iklim yang selama ini didorong pemerintah dan masih jadi keinginan dari salah satu cawapres pakai cara sama.

Catatan Walhi, emisi sektor energi meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan permintaan energi selama 20 tahun terakhir. Pada 2021, ada 600 juta ton CO2 dari sektor ini.

Dalam debat cawapres 21 Januari yang bertema lingkungan itu pun yang muncul malah soal  komitmen terus melanjutkan hilirisasi. Hilirisasi nikel yang ramai dibahas untuk bahan bakar baterai kendaraan listrik seakan jadi bagian dari transisi energi.

Di area pertambangan maupun kawasan industri nikelnya,  sebut Walhi, berbagai persoalan lingkungan dan sosial masyarakat terjadi.

Deforestasi terjadi dalam industri nikel dan diperkirakan meningkat mengingat ada 765.237 hektar konsesi pertambangan nikel di kawasan hutan. Ia diproyeksi menghasilkan 83 juta ton emisi CO2.

“Hilirisasi ini hasilkan karbon skala besar. Karena ada perubahan bentang alam. Kalau begini, bagaimana mau bicara pembangunan rendah karbon?” ujar Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi.

 

Tiga pasangan calon  presiden dan wakil presiden yang akan berlaga dalam pemiluhan umum 14 Februari 2024. Foto : NU Online/ Aceng Darta

 

Belum lagi dampak lingkungan. Catatan Walhi, lumpur tambang nikel membuat Danau Mahalona, Sulawesi Selatan, terkena lumpur.

Sungai Pongkeru dan Malili hingga ke Pesisir Lampia mengalami pendangkalan dan pencemaran lumpur. Kondisi serupa juga di Pesisir Bungku, Sulawesi Tengah, mengakibatkan nelayan tradisional kehilangan pendapatan.

Solusi palsu lain, katanya,  yang mengemuka dalam debat cawapres adalah energi dari biofuel dan co-firing—mencampur batubara dengan biomassa di PLTU. Kedua hal ini, kata Rere justru berkontribusi terhadap krisis iklim.

Catatan Walhi, untuk memenuhi kebutuhan B40-B50 setidaknya perlu 1,69 juta hektar ekspansi lahan dan ekstra 1,1 juta hektar lahan untuk memenuhi B50.

“Sawit sudah merambah kawasan hutan, kebutuhan besar lain akan menambah ancaman terhadap hutan Indonesia,” kata Rere.

Sorotan serupa diutarakan Greenpeace Indonesia. Lewat rilis yang diterima Mongabay, organisasi lingkungan ini menyayangkan debat hanya mengumbar biodiesel sebagai solusi palsu transisi energi.

Padahal, ada banyak hal krusial yang perlu dibahas guna menunjukkan komitmen pemerintah dalam transisi energi.

Salah satunya adalah rencana detail percepatan transisi ke energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi batubara.

“Transisi energi krusial untuk memangkas emisi karbon dan menekan kenaikan suhu bumi,” kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia.

Mengutip data Dewan Energi Nasional, Greenpeace menyebut, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3,643 GW, baru 0,3% termanfaatkan. Porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru 13,1% dari target 23% persen 2025.

 

Baca juga: Jelang Debat Capres, Bagaimana Keseriusan Para Kandidat untuk Reforma Agraria?

Sawit sebagai sumber energi dan salah satu cara transisi energi juga jadi bahasan dalam debat cawapres lalu.  Cara ini banyak mendapat kritikan karena dinilai  berisiko munculkan masalah salah satu ancaman terhadap hutan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah, katanya,  masih mengidolakan energi kotor dari batubara sebagai sumber bahan bakar utama. Bahkan, batubara pula jadi sumber energi di smelter nikel.

Rencananya, ada pembangunan 53 PLTU captive batubara yang akan menghasilkan daya 14,4 GW yang sebagian besar untuk smelter nikel.

Debat cawapres pun, katanya, tidak menyinggung pensiun dini PLTU batubara, meskipun program ini ada dalam dokumen visi-misi paslon 01 dan 03. “Absennya isu batubara ini patut kita pertanyakan. Apa memang dihindari karena masing-masing paslong didukung oligarki batubara?” kata Leonard.

Satya Bumi menilai, dalam debat cawapres itu, semua kandidat gagal melihat krisis iklim sebagai permasalahan kompleks dan utuh satu kesatuan.

Andi Muttaqien,  Direktur Eksekutif Satya Bumi mengatakan, seharusnya kerangka krisis iklim jadi hal utama karena berdampak pada kebutuhan transisi energi, krisis pangan dan bencana.

“Justru dipenuhi gimik-gimik dan serangan personal minim substansi,” katanya, dalam rilis kepada media.

Bahkan, ada program yang ditawarkan kandidat sesungguhnya menyimpan potensi masalah namun luput dielaborasi lebih jauh oleh kandidat lain.

Bahan bakar nabati seperti biodiesel, katanya, dengan turunan B35 dan B40, luput dielaborasi potensi masalah perebutan minyak sawit mentah untuk energi vs pangan.

Selama 2020-2022,  rata-rata serapan pabrik biodiesel mencapai 41,5%, meningkat dibandingkan pada 2019 hanya 34,5%, terserap industri oleokimia sekitar 10%, sisanya industri pangan. Jadi, katanya, kekhawatiran kelangkaan dan minyak goreng tinggi dapat muncul kembali.

Hingga kini, katanya,  belum ada rancangan jelas menyoal pembagian CPO untuk kebutuhan energi dan pangan.

“Selama ini, harga CPO lebih stabil untuk keperluan energi ketimbang pangan. Jangan heran ketika harga minyak goreng jadi melambung tinggi.”

Dia bilang, persoalan biodiesel harus dilihat lebih jauh dari sekadar target bauran energi. Penelitian Satya Bumi bersama Sawit Watch memperlihatkan, tata kelola sawit di hilir masih lemah.

Kalau pemerintah terus berambisi dengan bauran biodiesel tanpa menyelesaikan konglomerasi industri sawit yang bermain hingga lebih 60% membuat pengawasan menjadi sulit.

 

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar, yang sudah terapkan mencapur batubara dan biomaasa (co-firing). Yang terjadi, lapangan masyarakat sekitar makin merasakan dampak polusi makin pekat.  Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tanpa memperbaiki tata kelola hilir termasuk membenahi kebijakan dua harga untuk domestic market obligation (DMO) dan ekspor, kata Andi, bukan tak mungkin ambisi biodiesel justru menewaskan lebih banyak lagi anggota rumah tangga di Indonesia.

Belum lagi, katanya,  ambisi peningkatan campuran biodiesel sampai B50 berpotensi tak langsung menimbulkan deforestasi.

Hal itu, katanya, pernah terjadi kurun 2014-2020,  terdapat peningkatan 4,25 juta hektar lahan sawit dengan 2016 terbesar pasca insentif sawit melalui BPDPKS.

Sampai 2021, luas perkebunan sawit menempati 84,34% lahan perkebunan di Indonesia sedang luas hutan menyusut rata-rata 0,3% per tahun sejak 2001.

Ekspansi perkebunan sawit di Indonesia, katanya,  banyak kritik karena jadi salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia, keanekaragaman hayati hilang, dan penyumbang emisi.

Andi juga soroti soal hilirisasi terutama nikel. Indonesia, katanya.  sebagai produsen terbesar nikel dunia dengan cadangan sampai 21 juta metrik ton.

Saat ini, kata Andi, tata kelola nikel masih semrawut. Ambisi percepatan transisi energi justru jadi ladang bisnis alih alih kepentingan lingkungan dan masyarakat hingga mengakibatkan eksploitasi tak terkontrol. Belum lagi, katanya,  masalah deforestasi, pencemaran dan perusakan lingkungan serta masalah ketenagakerjaan.

Deforestasi dan kerusakan lingkungan dampak tambang nikel juga makin masif, seperti di Sulawesi sebagai daerah penghasil cadangan nikel utama dan terbesar.

Satya Bumi mencatat, dari 2001-2019 deforestasi total di Sulawesi mencapai seluas 2.049.586 hektar, terbesar pada 2015 seluas 226.260 hektar, pada 2016 seluas 190.667 hektar dan 2019 sebanyak 159.891 hektar.

Berdasarkan wilayah, katanya, deforestasi terbesar terjadi di Sulawesi Tengah luas 722.624.05 hektar, kedua Sulawesi Tenggara mencapai 512.465.40 hektar dan Sulawesi Selatan luas 333.364.55 hektar.

Seharusnya, kata Andi, paslon capres dan cawapres, menawarkan program berbasis etika lingkungan dengan pendekatan ekosentrisme. “Yakni perlindungan lingkungan dengan melihat seluruh kepentingan ekosistem.”

 

Food estate juga muncul dalam debat pemilu. Ini saat Presiden Joko Widodo, memantau wilayah yang akan jadi food estate di Kalteng. Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

 

 

Salah kaprah pangan

Walhi juga soroti masalah pertanian dan pangan. Menurut Uli, ketiga paslon masih tidak membicarakan mode produksi pangan untuk mendorong kedaulatan pangan. Padahal, ketidaktepatan metode ini yang menyebabkan pengadaan pangan skala besar (food estate).

Proyek ini dalam catatan walhi mengalami kegagalan di Kalimantan Tengah dan Humbang Hasundutan. Belum lagi kerusakan lingkungan dan perampasan wilayah kelola rakyat.

Anggaran Rp1,9 triliun pada 2020-2021 Walhi bilang, sangat besar.

Dalam 2024, untuk pangan, termasuk food estate mencapai Rp108 triliun. Walhi menilai anggaran itu lebih tepat guna jika didistribusikan ke petani melalui fasilitas-fasilitas yang menunjang pertanian rakyat. Dengan demikian, katanya, langkah berdaulat pangan lebih mungkin tercapai.

“Sementara kalau food estate tidak peduli keselamatan ekosistem. Belum ada konsep kedaulatan pangan muncul dari para paslon.”

Uli bilang ada 10 prinsip yang menjamin kedaulatan pangan luput dilihat para kandidat.

  1. Pelaku atau subyek yang sebenarnya ialah rakyat, bukan korporasi.
  2. Alat produksi termasuk tanah dan perairan yang ditekankan pada pengelolaan rakyat.
  3. Penggunaan benih lokal guna memastikan pertanian berkelanjutan. Beberapa benih lokal hilang karena konsep pengembangan pangan tak berkelanjutan.
  4. Model produksi dengan agro ekologi.
  5. Skala produksi kecil dan menengah.
  6. Target distribusi mengutamakan pasar lokal dan nasional.
  7. Level distribusi pangan untuk jarak dekat dan menengah.
  8. Orientasi pasar mengutamakan kebutuhan domestik. Pada dasarnya, setiap komunitas memiliki kemampuan menyediakan pangan beragam.
  9. Perdagangan internasional dalam konteks kedaulatan pangan tetap dimungkinkan. Asalkan mempertimbangkan nasib petani dan proteksi tanaman pangan di negara tujuan.
  10. Kedaulatan harusnya tidak dikorbankan demi energi. Inisiatif membangun bahan bakar non-migas saat ini tidak boleh gunakan tanaman pangan.

 

Hutan Orang Tobelo tergerus jadi tambang nikel. Masyarakat adat di Halmahera ini protes dan berupaya mempertahankan ruang hidup mereka dari cengkeraman tambang.  Foto: Christ belseran/ Mongabay Indonesia

 

Kesampingkan masyarakat adat

Greenpeace pun mengulas perihal janji perlindungan masyarakat adat dan wilayah adat saat debat. Sayangnya, janji ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi presiden terpilih dan partai politik pengusung selalu menggambarkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tak lebih sekadar retorika.

Padahal, katanya, ruang hidup masyarakat adat terus tergerus pembukaan lahan dan deforestasi.

Dia bilang, tanpa mencabut Undang-undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah adat, janji cuma jadi omong kosong.

Abdi Akbar, Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyebut pernyataan para cawapres untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih belum kuat secara substansi. Belum ada agenda konkret dibicarakan.

“Terutama bagaimana memastikan agenda konkret berkaitan pengakuan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat,” katanya.

Dia juga menyayangkan pernyataan cawapres 02 yang salahmenyebut data terkait hutan adat yang diakui 1,5 juta hektar. Data Badan Registrasi WIlayah Adat per Agustus 2023,  hanya 221.648 hektar hutan adat baru diakui.

Sedangkan wilayah adat yang sudah terpetakan dan disampaikan pada pemerintah 26,9 juta hektar.

“Saya tidak tahu dari mana data yang disampaikan cawapres itu,” kata Abdi.

 

******

 

Laporan Jatam Beberkan Jaringan Oligarki Tambang dan Energi di Kubu Capres Cawapres

Exit mobile version