Mongabay.co.id

Nasib Buruk Awak Kapal Perikanan di Kapal Perikanan Asing

 

Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan (PMI PP) menjadi profesi sangat menantang pada sektor kelautan dan perikanan. Pekerjaan tersebut memiliki resiko dan ancaman yang tidak kecil dan semuanya terjadi saat berada di tengah laut.

Salah satu pekerjaan PMI PP yang sudah menjadi sorotan publik global dalam beberapa tahun terakhir ini, adalah profesi awak kapal perikanan (AKP). Profesi itu dikenal sebagai pekerjaan yang kotor, sulit, dan berbahaya (dirty, difficult, and dangerous/3D).

Walau mengandung resiko dan bahaya yang tinggi, namun profesi AKP sudah mendapatkan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dari Pemerintah Indonesia. Perlindungan itu tertuang dalam Undang-Undang No.18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Hal itu diungkapkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). IOJI menyebut kalau perlindungan hukum tersebut muncul, menjadi implikasi hukum dari pengakuan Pemerintah terhadap AKP migran yang menjadi bagian dari PMI. Itu berarti, AKP migran seharusnya bisa bekerja dengan aman dan nyaman.

Sayangnya, apa yang diharapkan tersebut masih belum terlihat di lapangan. Sebaliknya, pelanggaran HAM terhadap AKP migran dari Indonesia justru sering terjadi dan berulang terus menerus. Terlebih, karena saat ini kapal perikanan global harus berlayar semakin jauh ke tengah laut, menyesuaikan dengan wilayah tangkapan yang semakin mengerucut.

Jika dulu, kapal perikanan global bisa menangkap ikan dengan jarak tempuh cukup dekat, namun saat ini kebiasaan tersebut sulit dipertahankan. Sebabnya, karena stok ikan global sedang mengalami tren penurunan.

Kondisi itu membuat operator kapal mencari cara untuk bisa terus menekan biaya operasi dan mendapatkan keuntungan lebih banyak. Tak heran, selain melekat pada AKP, julukan 3D juga melekat pada sektor perikanan tangkap global, dan ditegaskan sebagai sektor yang eksploitatif.

baca : Karut Marut Perlindungan Awak Kapal Perikanan

 

Aktivitas sekelompok awak kapal perikanan (AKP) di sebuah kapal penangkap ikan. Foto : Tommy Trenchard/Greenpeace

 

IOJI menyebut, berbagai laporan investigatif dan riset ilmiah yang sudah ada juga mengonfirmasi bahwa AKP migran Indonesia memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan kerja paksa.

Chief Operating Officer IOJI Fadilla Octaviani mengatakan, sudah tiga tahun ini pihaknya melakukan penelitian dan advokasi kebijakan berkaitan dengan perlindungan AKP migran Indonesia. Hasilnya, IOJI menemukan fakta bahwa semua pihak harus memainkan peran masing-masing dalam perlindungan AKP migran.

“Itu karena pendekatan multi institusi dan multi stakeholders dimandatkan dalam UU No.18/2017,” terangnya belum lama ini di Jakarta.

Selain perlunya melakukan dukungan semua pihak, IOJI menyoroti tata kelola AKP yang masih lemah hingga sekarang. Bukan hanya di level nasional saja, namun level regional hingga internasional juga kondisinya sama, dan itu menjadi akar masalah perlindungan AKP migran.

Penjelasan tersebut dipaparkan Peneliti IOJI Jeremia Humolong Prasetya. Menurut dia, pada level internasional tidak ada sikap yang responsif dari Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 terhadap perlindungan HAM di laut, dan atau fragmentasi di antara rezim HAM dan hukum laut internasional atas persoalan tersebut.

Kesimpulan tersebut mengemuka, karena berkaca pada penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi sebelumnya dengan melibatkan kapal ikan berbendera Tiongkok, Long Xing dan Lu Huang Yuan Yu 118.

Persoalan yurisdiksi diduga kuat menjadi latar belakang memutus bebas terdakwa kasus pelanggaran HAM tersebut oleh Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau. Terdakwa tidak lain adalah mandor pada kapal Lu Huang Yuan Yu 118 dan berstatus warga negara Tiongkok.

Selain di tingkat internasional, dia mengatakan kalau persoalan juga terjadi pada level nasional, di mana sudah terjadi dualisme perizinan untuk penempatan AKP migran Indonesia. Akibatnya, perlindungan terhadap AKP migran Indonesia juga sulit untuk dilakukan.

baca juga : Potensi Resiko di Balik Regulasi Baru untuk Awak Kapal Perikanan

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Menurut Jeremia, dualisme perizinan tersebut dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI dengan Kementerian Perhubungan RI. Kondisi itu memicu terjadinya sejumlah dampak.

Di antaranya, tidak ada data penempatan AKP migran yang terintegrasi antar instansi pemerintahan di semua tingkat; dan pengawasan yang lemah terhadap penempatan AKP migran dalam koridor penempatan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dan non prosedural.

“Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM AKP migran, dan tidak optimalnya pelaksanaan pelindungan dengan pendekatan multi institusi,” terangnya.

Agar tidak semakin memburuk nasib AKP migran Indonesia, IOJI membuat sejumlah rekomendasi untuk penguatan tata kelola perlindungan HAM. Pertama, Presiden RI harus memastikan berakhirnya dualisme perizinan penempatan AKP migran paling lambat Juni 2024, sesuai amanat UU 18/2017 dan Peraturan Pemerintah No.22/2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

Kedua, Kemnaker RI harus melakukan akselerasi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penempatan dan Pelindungan AKP Migran sebagai turunan PP 22/2022.

Ketiga, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa harus melakukan akselerasi dengan menerbitkan legislasi daerah terkait pelindungan PMI dan memasukkan agenda pelindungan PMI dalam perencanaan dan penganggaran daerah dan desa, terutama di wilayah lumbung PMI.

Keempat, Pemerintah Indonesia harus melakukan akselerasi dengan menyusun perjanjian bilateral tentang Perlindungan AKP Migran dengan negara-negara bendera, pelabuhan, dan transit yang paling banyak dikunjungi AKP migran asal Indonesia.

Kelima, Pemerintah Indonesia harus melakukan akselerasi dengan meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, dan Konvensi Perjanjian Cape Town (CTA) 2012.

Kedua perjanjian tersebut diyakini bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia ketika bernegosiasi atas penetapan standar pelindungan AKP migran, dan melakukan kerja sama dalam penyelamatan korban dan penegakan hukum dengan negara bendera, pelabuhan, dan transit.

baca juga : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?

 

Wahyungki Saputra (kedua dari kiri) dan Zulham Afandi (keempat dari kiri) bersama rekan-rekan AKP Indonesia lainnya ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Keenam, setelah meratifikasi ILO C-188 dan CTA 2012, Pemerintah Indonesia mendorong komunitas internasional untuk meningkatkan jumlah ratifikasi ILO C-188, CTA 2012, dan Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F) 1995.

Dorongan tersebut dilakukan, agar norma-norma dalam ketiga perjanjian internasional tersebut menjadi generally accepted international rules and standards. Itu berarti, ketiga perjanjian tersebut akan diterima sebagai aturan internasional dan menjadi standar resmi.

Ketujuh, Pemerintah Indonesia harus menerbitkan Peraturan Presiden tentang Atase Ketenagakerjaan, dengan tujuan untuk mengoptimalkan peran Perwakilan RI dan Kantor Dagang Ekonomi Indonesia di luar negeri dalam upaya pelindungan PMI, termasuk AKP migran di luar negeri.

Peran yang dimaksud, di antaranya adalah melakukan verifikasi job order, pengawasan, kerja sama penegakan hukum, dan pemenuhan hak-hak korban.

Kedelapan, instansi penegak hukum harus melaksanakan penegakan hukum, terutama terhadap TPPO dalam penempatan AKP migran, dengan berorientasi pada hak-hak korban melalui kerja sama di tingkat bilateral, regional, dan internasional.

 

Tak Transparan

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Juwarih menambahkan, nasib AKP migran masih belum akan berubah banyak, karena mereka kesulitan mendapatkan hak atas keadilan. Salah satunya, proses dan mekanisme penyelesaian masalah yang dialami oleh AKP migran di Kementerian Perhubungan masih tidak jelas dan transparan.

“Tidak ada kejelasan untuk mayoritas kasus yang kami dampingi dan kasus AKP migran kian meningkat,” ujar dia.

Selain di level nasional dan internasional, level regional juga menjadi tujuan agar perlindungan terhadap AKP migran bisa lebih baik lagi. Dorongan itu muncul, karena Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) juga berada dalam pusaran industri perikanan global.

baca juga : Belum Ada Kepastian Nasib Awak Kapal Perikanan di ASEAN

 

Setelah 20 hari melaut, ABKKM Bandar Nelayan membongkar hasil tangkapan ikan tuna beku di Pelabuhan Benoa, Bali, Februari 2017. Foto : shutterstock

 

IOJI melansir laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) yang terbit pada 2022 dan menyebutkan ada enam negara anggota ASEAN yang masuk dalam kelompok 10 negara produsen terbesar hasil tangkapan laut global.

Negara-negara tersebut adalah Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Myanmar. Selain sebagai produsen perikanan global, ASEAN juga disebut sebagai salah satu wilayah asal terbesar dari AKP migran yang bekerja di industri perikanan global.

Kemudian, pada 2022 ILO juga sudah mencatat bahwa AKP migran yang bekerja pada industri perikanan di Jepang, Korea, Thailand, dan Taiwan itu berasal dari ASEAN. Saat itu, ILO menyebut jumlahnya mencapai 125.000 orang.

Faktanya, AKP migran dari Indonesia banyak dikirim dengan jumlah besar ke kapal ikan yang berbendera Korea dan Taiwan. Namun, AKP migran Indonesia juga menjadi bagian dari korban TPPO di ASEAN.

Menyadari adanya perlakuan tidak baik yang dialami para AKP Migran, ASEAN kemudian bertanggung jawab melindungi mereka dengan mengadopsi ASEAN Declaration on the Placement and Protection of Migrant Fishers pada Mei 2023. Instrumen ini ditindaklanjuti dengan ASEAN Guidelines on The Implementation of Declaration on The Placement and Protection of Migrant Fishers atau ASEAN Guidelines.

Hal tersebut diungkapkan Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Wahyuningrum.

Tentang hukum laut internasional yang saat ini berlaku, Chief Executive Officer IOJI Mas Achmad Santosa mengatakan bahwa UNCLOS 1982 yang menjadi rujukan hukum utama di laut, saat ini memang tidak responsif untuk melindungi HAM di laut.

Bukan hanya itu, IOJI juga mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian antara UNCLOS 1982 dan rezim HAM terkait yurisdiksi negara di laut. Berdasarkan UNCLOS 1982, negara bendera memiliki yurisdiksi eksklusif atas kondisi HAM di kapal ikan selama di laut bebas dan ZEE.

“Dalam kasus yang sama, rezim HAM mewajibkan negara lain untuk menyelamatkan korban pelanggaran HAM selama ditemukan yurisdiksi atas peristiwa tersebut,” terangnya.

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?

 

Sekelompok nelayan sedang menarik jaring ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Dia berharap, kerja sama yang dijalin antar negara di ASEAN bisa mendukung terciptanya migrasi yang aman bagi AKP migran di kawasan. Ada pun, terdapat tiga jenis negara di ASEAN, yaitu negara asal, negara tujuan, dan negara transit.

Selain kerja sama bilateral dan regional, langkah pengawasan juga perlu dilakukan setiap negara di wilayah perbatasan. Untuk itu, diharapkan pemerintah di ASEAN bisa lebih fokus mengurus TPPO dengan cara membuka akses lebih banyak bagi para pekerja migran, dan terus meningkatkan pengawasan dengan lebih ketat.

Profesor Hukum Internasional dari the School of Oriental and African Studies (SOAS) London, Inggris, Irini Papanicolopulu menyatakan bahwa perspektif HAM harus diperkuat, bukan hanya menyangkut hak perburuhan untuk merespon permasalahan yang dialami AKP migran saja.

“Untuk itu, seluruh proses migrasi AKP migran, baik itu di laut maupun di darat, perlu diatur,” tutur dia.

Terkait kondisi kerja dan hidup yang layak serta aspek keselamatan di kapal ikan, ASEAN Guidelines diusulkan untuk mengadopsi standar internasional, terutama yang termaktub dalam ILO C-188, STCW-F 1995, dan CTA Agreement 2012.

Menurut Mas Achmad Santosa, pada tahap sebelum bekerja, ASEAN Guidelines perlu untuk mendorong mekanisme perekrutan yang transparan untuk mencegah adanya penipuan mengenai seluruh proses migrasi AKP migran.

Untuk keperluan investigasi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di kapal ikan, ASEAN Guidelines perlu mendorong kerja sama internasional di semua tingkatan, khususnya tingkat bilateral dengan negara bendera dan transit.

“Penegakan hukum perlu berorientasi terhadap hak-hak korban melalui peningkatan kapasitas dan penyediaan penerjemah,” ungkap dia.

baca : Tantangan Menyulap Kelemahan Jadi Kelebihan Awak Kapal Perikanan

 

Seorang nelayang sedang memperbaiki jaring ikan. Foto : shutterstock

 

Selain itu, ASEAN Guidelines juga diusulkan untuk mensyaratkan mekanisme pengaduan dan penyelesaian masalah di kapal ikan yang responsif dan aksesibel. Hak untuk mengakses wifi di kapal ikan misalnya, perlu dijamin bagi AKP migran agar mereka dapat memantau pemenuhan hak dan melaporkan jika ada permasalahan.

“Juga, diperlukan pembatasan terhadap masa layar kapal ikan agar kerentanan mereka terhadap TPPO dapat diminimalisir,” pungkas dia.

Harapan mendapatkan perlindungan penuh, khususnya HAM, sudah menjadi mimpi semua AKP migran Indonesia yang saat ini sedang bekerja. Mereka sudah paham bahwa bekerja di atas kapal perikanan mengandung resiko tinggi terhadap pelanggaran HAM.

Bahkan, dari berbagai pengalaman para penyintas AKP migran Indonesia, tingginya resiko pelanggaran HAM ada dalam berbagai tahapan migrasi yang bekerja di industri perikanan global. Kondisi itu berkaitan erat dengan permasalahan hukum internasional.

Rahmatullah, salah satu AKP migran yang menjadi penyintas kasus pelanggaran HAM di atas kapal perikanan, mengatakan bahwa dia sudah merasa dibohongi sebelum diberangkatkan ke kapal ikan di laut. Awalnya, dia dijanjikan berangkat ke Peru di Amerika Selatan. Namun kemudian, dokumen Perjanjian Kerja Laut (PKL) tidak menyebutkan dia akan bekerja di perairan mana.

Kesimpangsiuran itu kemudian berakhir, setelah pria asal Tangerang, Banten itu bekerja di kapal perikanan dengan bendera Tiongkok. Tetapi sayangnya, kapal ikan tersebut justru berlayar di atas laut hingga sampai ke perairan Somalia di Afrika. Negara tersebut ternyata sedang dilanda konflik.

Bukan itu saja, saat bekerja dia juga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan saat bekerja di atas kapal perikanan. Berdasarkan pengakuannya, AKP hanya mendapatkan jatah makanan yang sudah kadaluarsa, dan tidur di geladak penyimpanan kapal.

“Sampai-sampai harus minum air buangan pendingin ruangan dan dari wadah yang sisinya berkarat,  lantaran tak tersedia air minum yang layak bagi para pekerja di atas kapal,” ucap dia.

Arnon Hiborang, penyintas lain kasus pelanggaran HAM di atas kapal perikanan, juga bercerita tentang susahnya mengirim gaji yang diperoleh ke keluarga di Bitung, Sulawesi Utara. Kesulitan itu dialaminya, karena kapal beroperasi minimal delapan hingga 12 bulan.

Selain iu, bekerja di kapal perikanan luar negeri juga tidak mengenal waktu, karena semakin banyak ikan yang diperoleh, maka semakin panjang waktu untuk bekerja. Situasi itu tak hanya dialami AKP asal Indonesia, tapi juga dari negara lain. (***)

 

Exit mobile version