Mongabay.co.id

Walhi Nilai Tak Ada Perlindungan Jelas terhadap Hutan dari Para Capres

 

 

 

 

 

Pemilihan Umum  bisa  memengaruhi nasib hutan Indonesia ke depan. Sayangnya, dari penilaian Walhi, dalam Pemilu 2024 ini tidak ada satupun dari Pasangan calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden yang memberikan kepastian perlindungan hutan  kuat pada  pemerintahan berikutnya.

Menurut Walh, tidak ada satupun paslon yang bersih dari jejak kerusakan ekologis. Dukungan koalisi partai politik di belakang mereka memiliki riwayat perusakan hutan baik dari zaman orde baru hingga era reformasi saat ini.

Catatan Walhi Nasional menemukan hanya butuh 57 tahun untuk menghabiskan 33% luas total kawasan hutan Indonesia atau sekitar 30 juta hektar. Berbagai kebijakan politik dari berbagai rezim membuat hutan yang hilang luasnya sama dengan gabungan luas Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi.

“Sayangnya, di tiga capres ini, tidak ada itikad menunjukkan bagaimana cara untuk memperketat perizinan di kawasan hutan,” kata Satrio Manggala, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Walhi Nasional dalam media briefing bertajuk Jejak Kejahatan Ekologis Tiga Koalisi Capres dan Cawapres, yang dihelat di Jakarta, Senin (12/2/24).

Selain itu, masing-masing capres tidak memiliki komitmen jelas menghentikan deforestasi di masa depan. Mereka, tidak memiliki langkah untuk memperbaiki peraturan di bidang kehutanan yang menjadi biang kerok penguasaan hutan untuk korporasi.

Padahal, menjaga hutan menjadi salah satu cara untuk menahan laju krisis iklim yang kini menjadi masalah global. Indonesia, menjadi salah satu negara yang rentan, dengan dilahapnya wilayah kelola rakyat di pesisir dan juga memengaruhi produktivitas perkebunan rakyat.

 

Pembukaan hutan ilegal untuk sawit di Provinsi Riau. Gambar oleh Rhett A Butler/Mongabay.

 

Alih-alih memperkuat proteksi terhadap hutan sebagai cara terbaik mitigasi perubahan iklim, para capres cenderung memberikan solusi palsu seperti hutan energi dan biomassa sebagai salah satu cara transisis energi dalam rangka mitigasi perubahan iklim.

“Tidak ada capres yang mengoreksi kebijakan di bidang kehutanan untuk perketat proteksi hutan dan menjaga hutan secara serius,” kata Satrio.

Hal ini sangat wajar jika melihat koalisi partai pendukung para capres. Mulai dari paslon 01 yang disokong Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang menyumbang salah satu kadernya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di dua periode pemerintahanJoko Widodo, hingga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang turut bersepakat di berbagai paket kebijakan destruktif era Jokowi, salah satunya Undang-undang Cipta Kerja.

Pada Paslon 02, jejak kerusakan ekologis sangat kentara karena ada Partai Golongan Karya (Golkar) yang menjadi partai penguasa saat orde baru dan pemerintahan Presiden BJ Habibie. Dari catatan Walhi, ada 10 juta hektar pelepasan kawasan hutan yang diberikan para korporasi saat Golkar menjadi partai penguasa di periode itu.

Jejak kerusakan ekologis pada paslon 02 menjadi lebih masif dengan lebih dari 21,9 juta hektar kawasan hutan dilepaskan di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat, dengan Menteri MS Kaban dari Partai Bulan Bintang (PBB) dan Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional (PAN). Ketiga partai itu saat ini menjadi pengusung paslon 02.

“Total hutan yang hilang dari dua periode ini sebesar 31,9 juta hektar, setara dua kali Pulau Jawa atau 37 kali Bali,” ucap Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional.

Sementara Paslon 03, diisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang merupakan partai pendukung Presiden Jokowi. Mereka, seperti dua partai di koalisi paslon 01, berperan dalam melahirkan regulasi destruktif dan mendukung pengerukan sumber daya alam.

”Tidak ada koalisi yang bersih dari pengrusakan hutan. Khususnya dari penerbitan izin secara besar-besaran,” kata Uli.

 

Hutan Indonesia, tempat bergantung   kehidupan seluruh makhluk hidup di Bumi.  Adakah predisen baru yang bisa lindungi hutan Indonesia tersisa?  Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

***

Era Orde Baru (Orba) yang menelurkan 493 izin pelepasan 6,1 juta hektar kawasan hutan, era pemerintahan Presiden Jokowi keluar 190 izin pelepasan 1,6 juta hektar kawasan hutan dalam 10 tahun. Namun, kata Uli, ada beberapa poin yang justru menunjukkan era pemerintahan Jokowi lebih destruktif dari era Orba.

”Deforestasi yang turun dan pelepasan kawasan hutan yang sedikit di era Jokowi bukan berarti perlindungan kuat, bisa saja karena tidak ada lagi hutan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan yang bisa dilepas,” kata Uli.

Walhi mengutip data dari Mapbiomas Indonesia yang menyebut tutupan hutan hingga 2022 bersisa 56% dari 125 juta hektar hutan Indonesia. Jadi, 55 juta hutan hilang akibat terkonversi untuk aktivitas industri ekstraktif.

Walhi pun membandingkan era kepemimpinan kedua presiden ini. Keduanya sama-sama menghasilkan paket kebijakan yang membawa Indonesia pada era perizinan masif, namun, daya rusak besar justru ada di era Jokowi.

Hal ini terlihat dari jumlah paket kebijakan yang mendorong penerbitan izin di era Soeharto hanya terdiri dari tiga Undang-undang. Sementara dalam 10 tahun pemerintahannya, Jokowi menelurkan 11 regulasi dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri yang menjadi dasar penerbitan izin yang mengorbankan kawasan hutan.

“Rezin Jokowi ini lebih Orba daripada Soeharto dalam konteks melihat hutan sebagai komoditas untuk dieksploitasi. Jokowi lebih banyak terbitkan paket kebijakan yang meliberalisasi tanah, liberalisasi hutan dan sumber penghidupan rakyat lainnya,” kata Uli.

Kondisi ini, akan makin parah karena Walhi melihat izin di sektor kehutanan mulai menjelma untuk solusi berbasis alam seperti konsesi perdangan karbon, biodiversity offset, atau bisnis konservasi lain yang diklaim menjadi salah satu langkah mitigasi krisis iklim.

“Bukan itu yang seharusnya dilakukan. Karena memberikan kesempatan untuk berbisnis karbon lewat perizinan di kawasan hutan hanya akan membuat industri penghasil emisi tidak mengurangi aktivitas mereka,” kata Uli.

Selain itu, perizinan untuk pertambangan nikel yang saat ini menjadi salah satu penyebab utama deforestasi juga masih akan terus mengancam. Karena itu,  narasi keberlanjutan yang diusung paslon 02, terutama mendorong hilirisasi nikel, akan mengorbankan hutan dan lingkungan di Indonesia.

Catatan Walhi, terjadi alih fungsi kawasan hingga 1 juta hektar karena pertambangan nikel selama dua tahun terakhir, sekitar 700. di kawasan hutan.

Kehilangan hutan ini disebut Uli merugikan berbagai hal. Tidak hanya fungsi tata air, juga identitas beberapa masyarakat sangat tergantung dari kawasan hutannya.

Di beberapa wilayah, alih fungsi kawasan hutan menyebabkan bencana banjir dan longsor karena krisis iklim meuat intensitas hujan menjadi lebih lebat, namun dalam durasi pendek.

Hilangnya hutan, kata Uli, akan mengurangi kemampuan penyerapan karbon alami. Jadi, ada emisi ganda dari yang gagal terserap, juga dari yang dihasilkan lewat perubahan fungsi hutan.

Sayangya, aktor-aktor yang memengaruhi kebijakan salah tata kelola kehutanan ini menyebar di setiap paslon Capres-Cawapres di kontestasi pemilu 2024. “Bisa kami bilang, pemilu ini tidak menghasilkan harapan cerah bagi hutan Indonesia.”

 

Kebun sawit perusahaan di Sulteng,. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Sulawesi soroti masalah sawit dan nikel

Sebelum itu, Walhi  mengeluarkan seruan untuk menghadapi pemilu serentak 14 Februari ini. Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional membacakan seruan itu juga menyebut maklumat itu keluar karena Walhi menilai Presiden Joko Widodo telah menghapus makna keadilan.

Padahal, katanya, masih terang dalam ingatan saat Jokowi datang ke Kantor Walhi saat kontestasi Pilpres 2024.

”Saat itu, dia (Jokowi) bertanya bagaimana cara menghadirkan kemakmuran bagi rakyat dan kami pun berharap keadilan ekologi akan terbentuk. Tapi Sembilan tahun kemudian, kami justru melihat keadilan ekologi itu makin jauh dari rakyat,” katanya di Jakarta, Selasa (6/2/24).

Orang-orang yang saat ini bersama Jokowi, katanya, merupakan pihak yang mencederai demokrasi dan nilai-nilai kebenaran negara.

Walhi menilai, pemilu kali ini mengarah pada kemunduran demokrasi, penyempitan ruang sipil, pembangkangan konstitusi, hingga pengerukan sumber daya alam secara ugal-ugalan.

“Kami, Walhi, menyerukan terhadap seluruh elemen Walhi bersama rakyat, untuk mengamalkan prinsip pilah-pilih-pulih, terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta terhadap pemilihan anggota legislatif,” katanya.

Pertaruhan kursi politik nasional maupun daerah menurut Walhi mengarah pada kemunduran demokrasi. Berkurangnya ruang masyarakat juga pewarisan praktik pengerukan sumber daya alam yang ugal-ugalan.

Menyikapi itu, Walhi menyerukan prinsip Pilah-Pilih-Pulih kepada seluruh elemen Walhi dan masyarakat pemilih.

Menurut Walhi, prinsip Pilah harus melihat rekam jejak kejahatan hukum, HAM, lingkungan dan pelanggaran lainnya. Visi dan Misi para kandidat pun harus di cermati. Selain itu, kepentingan tokoh pendukung dibalik kandidat juga menurutnya penting untuk ditelusuri dan dibongkar.

Prinsip Pilih dan Pulih, Walhi menyerukan agar pemilih tidak dan menolak terjebak pada janji politik, pencitraan dan praktik politik yang transaksional. Organisasi lingkungan ini berharap agar masyarakat lebih memilih kader politik hijau.

“Ini penting untuk menjadi agenda bagi capres dan caleg yang akan terpilih pada pemilu 2024. Harapannya situasi ini bisa di selesaikan dengan baik.” Kata Sunardi Katili,  Direktur Eksekutif Walhi Sulteng saat pembacaan seruan Walhi di kantor Walhi Sulteng.

Seruan ini, katanya, serentak oleh Walhi di setiap provinsi se-Indonesia.

 

Grafis data Walhi soal paket kebijakan

 

Konflik di kebun sawit

Catatan akhir tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria menyebutkan sedikitnya terjadi 241 letusan konflik agraria sepanjang 2023 di Indonesia.

Konflik ini terjadi di atas tanah seluas 638.188 hektar di 346 desa melibatkan 135.608 keluarga. Konflik agraria pada 2023 mengalami kenaikan 12% disbanding 2022 berjumlah 212 konflik.

Tercatat 44% atau 108 konflik agraria terjadi akibat perkebunan – agrobisnis dari total konflik. 18% berasal dari konflik properti. Sektor pertambangan 13%. Proyek infrastruktur 12%. Sektor kehutanan menyumbang 7% konflik, pulau-pulau kecil dan pesisir juga fasilitas militer sama-sama menyumbang konflik 3%.

Di Sulawesi Tengah,  Walhi mencatat luas perkebunan sawit 127.582,33 hektar. Luasan ini mayoritas di miliki oleh Astra Group di lima anak perusahaan dengan luasan 98.763,33 hektar.

“Sejak tahun 2000 atau setidaknya 20 tahun terakhir menurut catatan kami, perusahaan sawit skala besar ini menjadi sumber konflik agraria di Sulteng. kami masih terus advokasi,” kata Sunardi.

Menurut dia, permasalahan yang timbul dari perkebunan skala besar ini seperti tumpang tindih dan ketidak jelasan tapal batas lahan yang menyebabkan kriminaslisasi juga tuduhan pencurian di lahan milik petani sendiri.

Dari berbagai konflik lahan itu, masyarakatlah yang paling sering menjadi pesakitan.

Pasca pemilu, Pilkada Sulteng menyusul pada 27 November 2024. Situasi ini menjadi taruhan terbesar alhi sebagai organisasi lingkungan untuk para calon gubernur terpilih nanti bisa menyelesaikan persoalan-persoalan terkait perkebunan sawit.

 

Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: WALHI Sulteng

 

Hilirisasi nikel

Richard Fernandez Labiro, Ketua Dewan Daerah Wlahi Sulteng menyoroti munculnya politisi lokal dari bisnis pertambangan nikel kecil dan pasir di wilayah Morowali dan Morowali Utara.

Hilirisasi industri nikel di bumi Morowali dan Morowali Utara menjadi sangat massif beberapa tahun terakhir. Pembangunan konstruksi skala besar untuk kawasan ini menjadi ajang bisnis bagi pengusaha kecil lokal di sektor material bangunan.

Bisnis pertambangan pasir yang diduga ilegal menggila, terutama di Morowali Utara yang saat dalam pembangunan Kawasan Huobao Industrial Park.

Bisnis pertambangan pasir ini, dilakoni banyak pengusaha kecil dan memberi keuntungan berlipat. Selain pasir, pengusaha lokal juga bermain di area pertambangan ore nikel skala kecil.

Pertambangan pasir yang beroperasi di sepanjang sungai La’a Morowali Utara, Richard menemukan beberapa nama-nama pengurus, juga duduk sebagai pengurus partai.

Dari hasil pemantauan digital, katanya, mereka menemukan para pengurus perusahaan merupakan pendukung salah satu pasangan cawapres.

“Meskipun kecil, inilah yang membuat mereka menjadi tokoh politik baru dengan cepat.”

 

 

*****

 

Jelang Pemilu, Desak Calon Pemimpin Peduli Krisis Iklim

Exit mobile version