Mongabay.co.id

Kualitas Udara Jakarta Masih Buruk, Ancam Kesehatan Warga

 

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan berbagai instrumen kebijakan untuk menanggulangi polusi udara. Namun, buruknya kualitas udara di kota berpenduduk 10,56 juta jiwa ini dari tahun ke tahun masih terus membayangi warga, terlebih saat musim kemarau.

Salah satunya seperti dirasakan Didik Apriliyanto (30), pekerja di salah satu lembaga yang berkantor di kawasan Senayan.

Menurutnya, walaupun belakangan ini langit Jakarta seringkali nampak berwarna biru karena pengaruh hujan dan angin. Akan tetapi ia masih merasa khawatir akan paparan penyakit yang diakibatkan polusi udara. Sebab, polusi udara di Jakarta ini seolah sudah menjadi agenda tahunan.

“Masih was-was sekali, sebagai kota dengan impian orang mencari penghidupan seharusnya udaranya bisa bersih, aman dan nyaman. Bukan malah mengalami kondisi yang tidak sehat alias kotor berkali-kali,” ujarnya dongkol, Senin (19/02/2024).

Berdasarkan data yang dikeluarkan IQAir, kualitas udara di Jakarta pernah menduduki peringkat ketiga terburuk di dunia. Sedangkan awal tahun 2024 ini, kualitas udara di Jakarta menduduki posisi kelima belas sebagai kota dengan udara terburuk di dunia, serta masuk kategori tidak sehat.

Berdasarkan data dari situs pemantauan kualitas udara IQAir, pada Senin (19/02/2024) pada pukul 12:11 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 82, yang masuk kategori sedang dengan polusi udara PM2.5 dan nilai konsentrasi 26.9 µgram/m3.

Didik menuturkan, untuk mencegah paparan berbagai penyakit yang ditimbulkan dari tercemarnya udara itu, langkah penting yang dia lakukan yaitu rutin mencari informasi kondisi kualitas udara di Jakarta lewat internet.

Bila kondisinya mengkhawatirkan, ia seringkali harus menggunakan masker untuk mengurangi dampak buruk bagi kesehatannya, dan kacamata untuk menghindari asap dan debu.

baca : Polusi Udara Jakarta Parah, Desak Pemerintah Serius Atasi Pencemaran

 

Warga bersantai di Taman kota Tebet Eco Park. Taman yang memiliki luas tanah 7 hektare ini menjadi salah satu kawasan rendah emisi atau law emission zone (LEZ). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Senada, Fathul Bari (28), pekerja kantoran lainnya mengaku, buruknya kualitas udara di Jakarta membuat dia pernah mengalami batuk-batuk, dan kadang sesak nafas. Karena kondisi tersebut ia juga tidak bisa leluasa beraktivitas di luar ruangan.

Untuk itu, dia berharap Pemerintah benar-benar serius menangani masalah polusi yang bisa mengakibatkan gangguan penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan kanker paru-paru ini.

 

Alami penurunan yang Signifikan

Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2023 kualitas udara di Jakarta mengalami penurunan yang signifikan.

Asep Kuswantoro, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mengatakan, menurunnya kualitas udara di Jakarta itu dikarenakan beberapa hal, salah satunya dipengaruhi munculnya gejala El Nino.

Fenomena ini disebut bisa menyebabkan curah hujan menjadi lebih rendah dalam periode lebih lama. Bahkan, dampaknya terjadi hingga Desember 2023.

“Dibandingkan tahun sebelumnya, konsentrasi PM2.5 di tahun 2023 kemarin cenderung lebih tinggi, terutama saat musim kemarau,” jelasnya belum lama ini, tanpa menjelaskan detail angkanya.

Mengacu pada materi partikular atmosfer atau particulate matter (PM), PM2.5 merupakan partikel polutan udara berukuran sangat kecil yang berdampak buruk pada kesehatan.

Data tersebut, lanjut Asep, merupakan data tahunan yang diambil dari seluruh stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU) di seluruh wilayah Jakarta. Merujuk data tahun 2022, tingkat PM2.5 di kota metropolitan ini rata-rata berada di angka 36,2 µgram/m3.

Sedangkan di bulan Januari-Juni 2023, konsentrasi polutan PM2.5 rata-rata mencapai 41,94 µgram/m3. Sedangkan di bulan Januari-Juni 2023, konsentrasi polutan PM2.5 rata-rata mencapai 41,94 µgram/m3.

Padahal kriteria ambang batas konsentrasi PM 2.5 kategori baik adalah 0–15 µgram/m3, kategori sedang 16 – 65 µgram/mdan kategori tidak sehat  66 – 150 µgram/m3.

baca juga : Kemenangan Warga atas Gugatan Pencemaran Udara Jakarta

 

Kondisi polusi di langit Jakarta dari salah satu gedung di Jakarta Utara. Polusi udara berdampak besar pada kesehatan warga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk menanggulangi perkara itu, tahun ini DLH DKI Jakarta berencana menambahkan sembilan SPKU lagi. Sedangkan saat ini sudah terpasang 12 SPKU bertaraf refrence grade. Asep menambahkan, untuk menuju jumlah yang ideal, pihaknya telah menargetkan memiliki 25 SPKU refference grade di tahun 2025.

Dengan begitu ia berharap, kehadiran SPKU ini bisa memberikan data kualitas udara yang lebih maksimal. Selain itu, adanya alat pemantauan kualitas udara itu juga bisa menjadi rujukan utama berbagai stakeholder.

“Agar penerapannya bisa lebih maksimal, untuk menaikkan kualitas udara di Jakarta ini juga perlu didukung dengan regulasi lain, seperti melalui zona rendah emisi,” tambah pria jebolan pasca sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini. Untuk saat ini, di Jakarta sudah ada dua kawasan rendah emisi atau law emission zone (LEZ), yaitu di Tebet Eco Park dan kawasan Kota Tua.

 

Transportasi jadi Kontributor Utama

Aktivis Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah menilai, sejauh ini solusi-solusi yang diberikan pemerintah untuk mengatasi pencemaran udara di ibukota Indonesia masih jauh panggang dari api, belum menyentuh akar permasalahan yang terjadi.

Dari sektor transportasi misalnya. Walaupun kebijakan uji emisi dan ganjil genap sudah diperketat, namun realitanya di jam-jam berangkat maupun pulang kerja, kendaraan pribadi masih menumpuk di jalan Jakarta hingga menyebabkan kemacetan.

Menurutnya, masih banyaknya warga yang menggunakan mobil pribadi untuk mobilitas kerja itu dikarenakan transportasi umum dinilai masih belum memadai. Disisi lain kondisi transportasinya masih kurang aman dan nyaman. Selain itu, di beberapa wilayah akses dari tempat tinggal ke tempat transit, transportasi umum masih sulit.

“Sementara kendaraan pribadi terus didukung dengan pelebaran jalan dan uang muka (kepemilikan kendaraan pribadi) murah. Sehingga masyarakat masih banyak yang memilih menggunakan kendaraan pribadi,” jelas Anca, sapaan Muhammad Amirullah.

Padahal, sektor transportasi disebut-sebut menjadi salah satu penyumbang terbesar yang menyebabkan kualitas udara di Jakarta tidak baik. Akibat tingginya penggunaan kendaraan bermotor tersebut, total emisi yang dikeluarkan mencapai 81,17 juta kg CO2e.

Berdasarkan data Kepolisian RI, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 23,03 juta unit per Agustus 2023. Jumlahnya menjadi yang terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Timur.

baca juga : Akankah Mutu Udara Jakarta dan Kota-kota Lainnya Membaik?

 

Sektor transportasi disebut-sebut masih menjadi salah satu penyumbang terbesar yang menyebabkan kualitas udara di Jakarta tidak baik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, katanya, Walhi Jakarta merekomendasikan beberapa solusi, diantaranya yaitu pemerintah harus membatasi kendaraan pribadi dengan memberikan insentif pada masyarakat untuk mengurangi beban ekonomi akibat tidak bisa menggunakan kendaraan pribadi.

Selain itu biaya uji emisi dan perawatan kendaraan bermotor milik pekerja jasa angkutan dibebankan pada perusahaan angkutan.

“Kami juga mendesak perusahaan atau pengelola kawasan menyediakan angkutan pekerja. Begitu juga dengan lembaga keuangan, seharusnya syarat untuk pembelian kendaraan pribadi bisa lebih diperketat,” tegasnya.

Solusi yang hampir serupa dalam mengatasi polusi udara dari sektor transportasi ini juga disampaikan Diya Farida, Climate Impact Associate dari Yayasan Indonesia Cerah. Ia menilai seiring berjalannya waktu pemerintah sudah cukup baik dalam menyediakan transportasi publik di Jakarta, juga angkutan umum dari daerah-daerah penyangga seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Hanya saja adanya transportasi publik ini belum sepenuhnya saling terintegrasi. Hal itu yang membuat sebagian warga masih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

“Walaupun dari segi opsi transportasinya itu sudah cukup banyak, orang bisa pakai LRT, MRT, TransJakarta. Tapi memang kalau kita ngomong soal jumlah armadanya sama kapasitasnya itu memang masih belum memadai,” jelasnya saat dihubungi Mongabay Indonesia, Senin (19/02/2024).

Untuk itu, Diya berharap dengan melibatkan berbagai stakeholder pemerintah lebih serius lagi dalam mendorong transportasi publiknya. (***)

 

 

Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara

 

Exit mobile version