Mongabay.co.id

Jalan Panjang Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Pitap

 

 

 

 

 

Terus berusaha dan berjuang, itulah yang Masyarakat Adat Dayak Pitap lakukan sejak bertahun-tahun lalu untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak wilayah adat. Hingga kini belum ada kejelasan. Meskipun begitu, ada angin segar mengikuti jalan panjang perjuangan Masyarakat Pitap, Pemerintah Balangan berencana susun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Sementara ancaman demi ancamanwilayah adat mereka datang silih berganti dengan berbagai bentuk, dari HPH, sawit sampai tambang.

Masyarakat Dayak Pitap, gigih menolak, mereka percaya, , para leluhur mewariskan lahan untuk mereka kelola dan pertahankan.

Kala perusahaan datang silih berganti ke wilayah adat Dayak Pitap, Rahmadi,  Kepala Adat Dayak Pitap periode 2000-2005, alami mimpi berulang-ulang. Dalam mimpi itu, seorang kakek mengingatkan kalau nekat menyerahkan tanah adat ke perusahaan, kehancuran akan menimpa masyarakat.

Setiap kali membicarakan mimpi itu, dia merinding.

Ulun (saya) percaya itu pesan dari leluhur,” kata Rahmadi ditemui di Desa Ajung, Tebing Tinggi, Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel) akhir Desember lalu.

Sekitar 2006, seorang pekerja perusahaan tambang bijih besi meninggal dunia mendadak setelah survei di sekitar situs keramat Pitap di Tanalang dan Batu Berani.

“Meninggal setelah pulang ke kampung halamannya di Bandung. Di tubuhnya seperti ada bekas terkena pukulan. Ulun tahu karena ada kawan yang mengabari,” kata pria 55 tahun itu.

Sebelumnya, seorang pekerja meninggal misterius setelah membor di Tanalang. “Sewaktu mengebor, keluar air berwarna darah. Setelah itu, seorang pekerja meninggal. Kejadian sudah lama,” katanya.

Untuk mencari makna mimpi dan rentetan insiden itu, Rahmadi menemui seseorang bergelar Raja Ganap bermukim di Desa Lajar, Lampihong.

Orang hawas (orang pintar) itu berujar, musibah dan konflik besar akan melanda kalau perusahaan dapat izin beroperasi di tanah adat Dayak Pitap.

Ulun jadi makin yakin untuk menolak perusahaan-perusahaan yang ingin memasuki tanah kami,” kata Rahmadi.

Populasi Dayak Pitap sekitar 1.670 jiwa. Komunitas kecil ini berhimpun pada 19 balai adat endiami lahan ulayat seluas 22.806 hektar.

Secara administrasi meliputi lima desa: Desa Dayak Pitap, Kambiayin, Langkap, Ajung, dan sebagian Desa Mayanau.

Kelima desa ini berada di Tebing Tinggi, Balangan. Dahulu, sebelum terjadi pemekaran kabupaten, wilayah ini masuk Hulu Sungai Utara (HSU).

Secara geografis, wilayah Pitap berada di bentang Pegunungan Meratus. Kawasan ini memegang fungsi hidrologis penting. Ia hulu dari banyak sungai besar yang mengalir ke Kalsel.  Kawasan ini juga kaya emas, bijih besi, dan batubara.

 

Ritual Masyarakat Adat Dayak Pitap. Foto: Riyad Dafhi Rizki / Mongabay Indonesia

 

Dari HPH ke tambang

Berdasar data dokumentasi Walhi Kalsel, PT Fass Forest (FF) dari Daya Sakti Group mengantongi surat keputusan hak penguasaan hutan (HPH) yang terbit 14 Maret 1980. Mereka berada di hutan adat Dayak Pitap.

Praktik deforestasi ini turut diiringi kisah horor. Tahun 1986, usai menebangi pohon, empat pekerja mendadak gila.

Perusahaan, katanya,  meminta tokoh masyarakat Pitap mengobati mereka berempat. Konon, dari sini terkuak, itu kutukan leluhur kepada mereka yang berani merambah hutan keramat.

Bala tak hanya menimpa perusahaan. Pada 1987, muncul wabah diare menewaskan 17 warga. Penyakit itu diduga muncul karena air sungai tercemar karena hutan tergerus.

Rentetan kejadian buruk itu, katanya,  membuat nyali FF ciut dan memilih minggat.

Rahmadi bilang, bencana terus menimpa masyarakat Pitap. Pada 1995 terjadi banjir bandang menghanyutkan gelondongan kayu sisa-sisa penggundulan hutan ke arah perkampungan.

Dua nyawa melayang, satu gedung sekolah rusak, empat jembatan gantung putus, hewan ternak hilang, dan cadangan gabah disapu banjir.

Tantangan untuk menjaga wilayah adat juga muncul dari internal masyarakat Pitap.

Saat krisis moneter 1997, camat setempat mengeluarkan surat pungutan desa untuk penebangan. Surat ini menjadi legitimasi para penebang liar. Mereka cukup membayar Rp25.000 permeter³ kayu pada pemerintahan desa.

Sejak itu, katanya, antar warga mulai saling curiga. Gesekan sosial tak terhindarkan. Perlahan tetapi pasti, nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan rusak.

Usai reformasi, sebut data Walhi, pada 1999, keluar HPH untuk PT Kodeco. Perusahaan ini mendapat izin rencana kerja tahunan (RKT) sebagai kompensasi hutan produksi yang diubah menjadi kawasan hutan lindung Kapet Batulicin atau dikenal dengan istilah “tukar guling Hutan Lindung Meratus”.

Sebagian lahan Kodeco merupakan bekas area FF. Pada waktu bersamaan, hadir perusahaan HPH lain, yakni PT Bina Alam Indah Lestari (BAIL).

Sesudah era HPH, terbitlah izin ekspansi perkebunan sawit. Januari 1999, PT Malindo Jaya Diraja (MJD) menjadi buah bibir. Setelah mengantongi izin seluas 10.000 hektar, skitar 4.500 hektar masuk wilayah adat Dayak Pitap.

MJD bikin pembibitan sawit seluas empat hektar dari 150 hektar rencana di Gunung Batu. Lokasi pembibitan berjarak sekitar 500 meter dari batas Dusun Iyam.

Pada Mei 2000, Bupati HSU, Suhailin Mohtar hadiri peresmian perusahaan. Jalan dibangun sepanjang empat kilometer sampai ke Dusun Bayuana.

Kehadiran perusahaan asal Malaysia ini menjadi ‘penyakit’ baru bagi kehidupan penghuni Pegunungan Meratus.

Kemudian, pada Mei 2001, Pemerintah HSU menandatangani kesepakatan kerja sama dengan investor asal Korea Utara, PT Han Iron Mining.

Korporasi pertambangan ini memiliki anak perusahaan, PT Sari Bumi Sinar Karya (SBSK) yang mengantongi izin konsesi sejak 1998 untuk mengeruk bijih besi di wilayah adat Dayak Pitap.

SBSK merencanakan eksploitasi di tiga zona seluas 990 hektar di lokasi keramat Pitap, di kaki Gunung Hauk Laki, sebagian lagi di Gunung Hauk Bini. Di sini ada perkebunan karet masyarakat.

 

Masyarakat Dayat Pitak sedang berkompul. Foto: Riyad Dafhi Rizki / Mongabay Indonesia

 

Perjuangan masyarakat  

Perjuangan masyarakat Dayak Pitap untuk mempertahankan tanahnya berlangsung sejak FF masuk. Gerakan penolakan belum masif, masih parsial.

Baru pada 1999, perlawanan warga mulai terkoordinir, sejak aktivis Walhi datang ke Desa Ajung.

Rahmadi bercerita, saban hari terjadi diskusi mendalam dengan Walhi Kalsel. Hingga 15-17 September 1999 di Balai Adat Ajung Hilir ada pertemuan antar kampung. Masyarakat dari Dusun Ajung Hilir, Ajung Hulu, Nanai, Kambiyain dan Iyam, berdialog.

Rudy Fahrianor,  Manajer Penguatan Organisasi dan Manajemen Program Walhi Kalsel, mengatakan, garis besar masalah ditemukan.

Akses jalan darat sulit menjadi penghambat perekonomian masyarakat adat. “Hasil bumi sulit dipasarkan, sementara barang dari luar mahal. Dalam kondisi serba susah, rayuan perusahaan menjadi teramat menggoda.”

Masyarakat mulai bersatu. Memperkuat nilai adat. Melindungi hutan dari ancaman industri.

November 1999, kades mencabut surat persetujuan perkebunan sawit yang dibuat pendahulunya. Surat itu dikirim ke Kantor MJD di Amuntai.

Mei 2000, sambung Rahmadi, beberapa tokoh Dayak Pitap didampingi Walhi berangkat ke Kotabaru untuk menemui Komunitas Dayak Samihim.

Mereka ingin melihat langsung masyarakat adat di sana yang terlanjur menyerahkan tanah ke perusahaan sawit. Di sana, mereka menyaksikan pemandangan getir.

Mereka melihat pola sama, perusahaan mengumbar janji-janji manis.

“Iming-iming macam-macam. Dijanjikan lahan, pekerjaan. Segala godaan,” kisah Rahmadi.

Apalagi, katanya,  rayuan ke kepala adat. Kalau lemah iman, pasti sudah mengiyakan. “Ulun pernah dibawakan uang sekoper. Diiming-imingi gaji buta. Hanya cukup tanda tangan, tapi ulun kada (tidak) mau.”

Rahmadi juga melihat, beratnya perjuangan Masyarakat Samihim untuk merebut kembali hak mereka.

“Mereka (Samihim) bilang ke kami (Pitap), sebelum terjadi (ekspansi sawit), lebih baik kada usah sama sekali,” katanya.

Perjalanan ke Kotabaru menjadi pelajaran berharga. Akhir Mei 2000, Masyarakat Pitap bertemu di Balai Ajung. Mereka sepakat menulis surat penolakan bersama terhadap perkebunan sawit.

Juga disepakati penghentian penebangan kayu untuk dijual, baik oleh orang luar maupun masyarakat Pitap. Larangan itu berlaku mulai 5 Juni 2000.

“Tak lama, 13.000 bibit sawit di sini diangkut ke Pelaihari, Tanah Laut. Penebangan hutan juga berkurang,” kenang Rahmadi.

Menyadari masih ada ancaman lain, mereka dokumentasikan aturan adat. Peta wilayah adat mereka buat. Rencana tata ruang dirancang berbasis hukum adat dan kondisi alam.

“Agar orang luar dan generasi selanjutnya bisa mengetahui aturan adat kami. Kami juga ingin keberadaan dan wilayah kami diakui negara,” katanya.

Pada rentang akhir 2000-awal 2001, beberapa kali pertemuan antara Masyarakat Pitap dengan Pemerintah dan DPRD HSU.

Pertengahan 2001, rencana pertambangan bijih besi SBSK makin santer, membuyarkan arah perjuangan.

Konsentrasi Masyarakat Pitap beralih ke perlawanan lain.

“Tapi ulun menolak. Pokoknya selama ulun hidup, jangan ada tanah yang diserahkan ke perusahaan. Baik sawit atau tambang,” katanya.

November 2001, masyarakat berunjuk rasa ke pusat kabupaten lalu rembuk masyarakat pada 7-9 Maret 2002 yang menelurkan tujuh poin tuntutan.

  1. Masyarakat Adat Dayak Pitap menolak tegas aktivitas pengusaha lokal, nasional maupun luar negeri yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kesengsaraan masyarakat.
  2. Mendesak Pemeirntah dan DPRD HSU merevisi Perda Nomor 15/2000 yang tidak mengakomodir hak masyarakat dan lembaga adat.
  3. Ketika menyusun raperda, pemerintah harus selalu melibatkan masyarakat adat.
  4. Menuntut pemerintah adil dalam menyelenggarakan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi masyarakat adat.
  5. Mendesak pemerintah melindungi tanah ulayat.
  6. Menghilangkan semua stigma merugikan, seperti peladang liar, suku terpencil, suku terasing, dan orang primitif.
  7. Pemerintah dan dewan adalah pelayan masyarakat, bukan penguasa.

“Berkat kegigihan masyarakat, saat ini tidak ada lagi perusahaan yang berani bergerak di wilayah Pitap,” katanya.

Bukan berarti Rahmadi bisa tidur tenang karena konsesi itu masih berlaku. Konsesi SBSK sampai 2029, MJD, punya izin sampai 2030.

Mengacu data Walhi, ada dua perusahaan lain yang memegang konsesi di wilayah adat Dayak Pitap, yakni, perusahaan tambang batubara, PT Sinar Kemilau Abadi izin sampai 2034 dan perusahaan tambang bijih besi, CV Razza Nugraha Agro hingga 2030.

“Tanpa tambang atau sawit, kami tetap bisa hidup. Punya rumah, kendaraan, dan tabungan. Mampu menyekolahkan anak, bahkan sampai sarjana,” kata Rahmadi.

Masyarakat Dayak Pitap lebih memilih hidup sederhana, asalkan hutan tetap lestari.

Hutan itu sakral. “Sumber penghidupan. Tempat berladang dan medan berburu. Tempat tanaman obat tumbuh,” katanya.

Lebih dari ruang hidup, hutan memiliki makna spiritual. Ada banyak area hutan terlarang yang disakralkan.

Maka ketika hutan terbabat, katanya, ritus pun sirna. Sebab aruh memerlukan bahan-bahan dari hutan, seperti enau, kelapa, bambu, lilin dari sarang lebah, dan dupa dari getah kayu.

Aruh,  adalah ungkapan syukur atas hasil panen padi. “Ketika hutan dan ladang dikuasai korporasi, apa yang mesti dirayakan? “Kalau tidak ada padi, apalagi yang akan diaruhkan? Praktis ritual adat menghilang,” kata Rahmadi.

Masyarakat Pitap menuntut negara hadir. Membantu perjuangan masyarakat Pitap dengan memberikan pengakuan.

“Usaha (dapatkan pengakuan) sudah kami tempuh sejak 2000-an. Belum membuahkan hasil,” katanya.

Perkataan Rahmadi diaminkan Ulan, Kepala Adat Dayak Pitap periode 2006-2010.

Ketika ditemui akhir Desember 2023, kakek 72 tahun itu coba mengingat-ingat kembali upaya masyarakatnya.

Bersama Walhi, mereka memetakan wilayah adat. Harapannya, bisa ada perda pengakuan. Namun, katanya, beberapa kali pertemuan berujung buntu. Birokrasi berbelit menjadi salah satu sebab.

“Di masa itu, gerak pemda sangat lamban. Diduga karena banyak kepentingan di belakangnya,” kata Ulan.

Rencana penyusunan Rancangan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) itu benar-benar terhenti ketika terjadi pemekaran kabupaten.

Balangan lahir dengan terbit UU Nomor 2/2003. Masyarakat Pitap tinggal di wilayah kabupaten muda ini.

Perjuangan berjalan mundur, kembali ke titik awal. “Benar-benar berhenti. Dokumen-dokumen kami entah ke mana,” kata Ulan.

Dua dekade Perda PPMHA terpinggirkan. Hingga Juni 2019, DPRD dan Pemerintah Balangan menyepakati pembahasan raperda tentang Kelembagaan Adat Dayak.

Sayangnya, sampai akhir 2023, raperda itu tak kunjung ada pengesahan.

 

Masyarakat Adat Dayak Pitap, sedang memasak makanan khasnya. Foto: Riyad Dafhi Rizki / Mongabay Indonesia

 

Ada harapan

Angin segar datang, harapan kembali muncul. Kamis 16 Desember 2023, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balangan dan DLH Kalsel menggelar sosialisasi di Balai Adat Desa Kambiayin, Balangan.  Ini bahas soal Perda Nomor 2/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang baru  Pemerintah Kalsel sahkan.

“Kata mereka, Pemkab Balangan diminta segera membentuk panitia pembentukan masyarakat hukum adat,” kata Ulan.

Di Kambiayin, Dinas Lingkungan Hidup juga mengidentifikasi data. “Kami tampilkan dokumen wilayah, hukum adat, benda bersejarah, dan data kekayaan sumber daya alam kami,” katanya.

“Setelah ditunjukkan kami tanya, apakah Dayak Pitap layak mendapat pengakuan? Mereka jawab sangat layak. Kami hanya diminta melengkapi beberapa dokumen lagi.”

Sepekan kemudian, ada pertemuan lanjutan bersama pemerintah kabupaten. Dalam audiensi itu ada Kepala Adat Dayak Pitap, pengurus lembaga adat, sejumlah kades, Kepala Adat Dayak se-Balangan, dan pengurus AMAN Balangan.

Bupati dan sekda tak ada, diwakili Bagian Hukum Setda Balangan, dua dinas, dan UPTD KPH Balangan.

“Kami bertanya, kapan panitia pembentukan MHA dibentuk? Kami meminta pembentukan melibatkan para kades,” kata Anang Suryani, Kepala Desa Kambiayin.

Pemerintah jawab sedang pelajari regulasi. Jawaban tidak memuaskan, tetapi Anang maklum.

Dia sadar, proses tidak akan sebentar, belum lagi keterbatasan anggaran daerah. “Harapan kami bisa segera. Kalau tidak perda, minimal ada surat keputusan penetapan dari bupati,” pinta Ulan dan Anang.

Serupa harapan Karah, Wakil Kepala Adat Dayak Pitap. Kalau perda belum, setidaknya untuk Dayak Pitap,  ada surat keputusan bupati terlebih dahulu.

Dia sarankan, panitia penyusunan Perda MHA bisa terbentuk secepatnya.

“Perda ini mungkin butuh waktu lama. Mengingat perlu mengumpulkan dokumen dari seluruh masyarakat adat se-Balangan.”

Hanifah Dwi Nirwana,  Kepala DLH Kalsel, mengatakan,  Perda PPMHA untuk mengatur tata cara pengakuan masyarakat adat.

Untuk masyarakat adat dengan wilayah lintas kabupaten, katanya, wewenang ada di pemerintah provinsi. Bagi masyarakat adat tinggal di satu kabupaten, cukup oleh pemerintah kabupaten.

“Sudah ada enam kabupaten membentuk kepanitiaan, yaitu,  Tabalong, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Tapin, Banjar, dan Tanah Bumbu,” katanya.

Bagaimana dengan Balangan? Syahbudin,  Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Balangan, menyatakan, mereka komitmen mempercepat penyusunan Raperda PPMHA.

Apalagi, sudah mulai bahas perda lembaga adat antara eksekutif dan legislatif sejak 2019.

Namun, katanya,  pada 2023, saat pendaftaran ke Pemerintah Kalsel, ternyata ada subtansi tidak sesuai. “Rencananya, pembahasan lanjut 2024. Judulnya,  kami ubah jadi Perda PPMHA. Ini sudah diagendakan Badan Musyawarah,” kata Syihab, awal Januari.

Hasan Nor Arifin,  Kabag Persidangan dan Perundangan-undangan Sekretariat DPRD Balangan, mengatakan, Perda PPMHA akan menaungi semua komunitas adat di Balangan.

“Tahun ini, akan mulai dibahas di DPRD. Sudah masuk Propemperda 2024,” kata M Roji,  Kabag Hukum Setda Balangan, terpisah.

Dia menjamin, Bupati Abdul Hadi mendukung aspirasi masyarakat adat. “Meski kemarin beliau tidak hadir saat audiensi 22 Desember, karena ada kesibukan di Jakarta, beliau titip salam,” katanya.

Meski begitu, dia tak mau menetapkan target selesai. “Kami tidak berani menarget. Karena ini menyangkut instansi vertikal seperti Kementerian Hukum dan HAM juga Kementerian Dalam Negeri.”

Tahap penetapan pengakuan masyarakat adat, katanya,  menempuh beberapa tahapan dari identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan.

“Kami akan mengawal pengakuan masyarakat hukum adat atas status wilayah adat Dayak Pitap,” kata Rudy.

Selain itu, Walhi juga dampingi masyarakat membentuk badan usaha milik desa (BumDes) di Kambiayin.

“Jika berhasil akan kami kembangkan ke desa lain. Harapannya, Masyarakat Dayak Pitap bisa berdikari secara ekonomi tanpa kehadiran perusahaan sawit dan tambang.”

 

*******

 *Artikel ini merupakan hasil liputan bersama Walhi Kalsel, Greenpeace Indonesia, dan AJI Balikpapan Biro Banjarmasin.

 

Aruh Mahanyari, Ritual Ucapan Syukur Hasil Panen Berlimpah Dayak Pitap

Exit mobile version