Mongabay.co.id

Masyarakat Korban Tambang Pesimis Hasil Pemilu 2024, Mengapa?

 

 

Baliho besar membentang di tanggul Lumpur Lapindo, di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa [13/2/2024]. Gambar tiga pasang calon presiden dan wakil presiden terlihat bertuliskan “Pemilu Dalam Cengkeraman Oligarki”, dengan hastag #pemilumemilukan. Deretan 10 lukisan karikatur karya Toni Malakian, menggambarkan runtutan peristiwa Lumpur Lapindo dari awal bencana  hingga situasi saat ini.

Harwati, korban Lumpur Lapindo asal Desa Siring, Kecamatan Porong, mengaku tidak berharap banyak dengan hasil pemilu. Alasannya, sejak awal bencana terjadi, banyak janji yang mengecewakan warga.

“Sejak 2006, muncul aturan, tapi untuk warga tidak ada realisasi,” ujarnya.

Pemimpin baru, menurut Harwati, tidak terlalu membawa harapan bagi korban tambang seperti dirinya. Hingga kini, masih sekitar 78 keluarga yang belum tuntas pembayaran ganti rugi.

Persoalan lain adalah rusaknya ruang hidup. Seperti bidang pendidikan, model zonasi sekolah menyulitkan anak-anak warga korban lumpur untuk memilih sekolah negeri. Bidang kesehatan, Kartu Indonesia Sehat [KIS] tidak dapat diakses warga korban lumpur yang saat ini tinggal di rumah kontrakan. Bahkan, untuk urusan bantuan sosial, Harwati mengatakan, justru tidak termasuk dalam data penerima.

“Kami kurang miskin bagaimana, diusir tanpa ada pilihan dan hidup di kontrakan.”

Harwati mengungkapkan, deklarasi ini bukan untuk menolak pemilu, melainkan menunjukkan bahwa pemilu tidak pernah berpihak kepada rakyat tertindas, melainkan oligarki.

“Jangan sampai kehidupan kita diserahkan kepada mereka yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya.

Baca: Pemilu 2024: Visi Misi Capres-Cawapres Belum Berpihak pada Konservasi Laut Berbasis Masyarakat

 

Kondisi areal di sekitar tambang batubara di Kalimantan yang gersang. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Solidartas masyarakat korban tambang

Deklarasi ini juga dihadiri perwakilan warga terdampak tambang dari sejumlah daerah di Indonesia, seperti Tumpang Pitu, Wadas, Trenggalek, Halmahera, Sulawesi Tengah, Dairi, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.

Sukinah, warga Kendeng, Jawa Tengah, mengungkapkan solidaritasnya untuk semua warga korban tambang yang terus berjuang demi kembalinya ruang hidup mereka, yang dirampas aktivitas tambang. Sejak 2013, Sukinah bersama warga Rembang terus memperjuangkan penolakan pembangunan pabrik semen, meskipun belum mendapatkan hasil memuaskan.

“Mulai pejabat lokal hingga Presiden sudah kami temui, tapi hasilnya nihil. Meski kami menang putusan kasasi di Mahkamah Agung, nyatanya pabrik semen tetap beroperasi,” katanya.

Paini, warga Tumpang Pitu, Banyuwangi, mengajak semua elemen masyarakat untuk melindungi dan melestarikan alam demi generasi penerus. Dia menuturkan, perjuangannya bersama warga Tumpang Pitu, bahkan dengan aksi mengayuh sepeda dari Banyuwangi ke Surabaya dan Jakarta, untuk menuntut pencabutan izin usaha pertambangan PT. BSI dan PT. DSI.

“Meski sampai sekarang tidak ada respon, kami tidak akan menyerah, tetap melawan apapun risikonya.”

Harwati menambahkan, solidaritas dan persaudaraan antarwarga korban industri ekstraktif perlu diperkuat, karena perlawanan semakin berat. Upaya menuntut keadilan dan hak ruang hidup warga seringkali dihadapkan pada represi aparat keamanan.

“Kami sudah kenyang represi, bahkan pembalikan fakta tentang korban lumpur yang justru disalahkan itu sering kami alami.”

Baca: Pemilu 2024: Orang Muda Desak Komitmen dan Aksi Nyata untuk Iklim

 

Lukisan karikator perjalanan tragedi Lumpur Lapindo dipamerkan di area tanggul lumpur titik 21, Porong. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Cengkeraman oligarki

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang [JATAM], Melky Nahar, menyebut kekhawatiran warga yang tinggal di area lingkar tambang bukan kecemasan biasa. Lebih sepuluh tahun, dengan beberapa kali pemilu yang menghadirkan janji-janji kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, tidak satu pun visi misi, program, maupun kebijakan mereka menyelesaikan persoalan warga korban tambang.

“Mereka yang bertarung atau berkontestasi di Pemilu 2024, ada yang punya afiliasi atau keterhubungan dengan berbagai macam bisnis, tim pemenangannya pun ada banyak yang berlatar belakang pengusaha,” terangnya.

Melky meyakini, semua yang terlibat pasti memiliki kepentingan untuk memastikan bisnisnya tetap berjalan, bahkan diperluas.

“Kami menilai pasca-Pemilu 2024, tren perluasan pembongkaran material tambang dan energi di Indonesia akan masif terjadi. Kami mengimbau kepada seluruh pemilih, terutama warga di daerah lingkar tambang untuk bersiap-siap terhadap situasi ini,” paparnya.

Sejak Pemilu 2019, Melky menyebut situasi politik menunjukkan tren kebijakan dan regulasi yang dibuat pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan para pelaku bisnis, dibandingkan kepentingan masyarakat yang dirugikan dengan hadirnya tambang. Seperti yang ada di Porong, Sidoarjo ini, juga dialami oleh warga di sejumlah daerah lain di Indonesia.

“Termasuk ekspansi ke nikel dan hilirisasi. Kami mau mengingatkan bahwa musuh yang hari ini kita hadapi juga akan kita hadapi kedepan, dengan musuh yang sama.”

Melky juga mangajak warga membangun solidaritas perlawanan secara terbuka terhadap usaha yang akan menghancurkan ruang hidup warga, terutama industri ekstraktif. Mitigasi risiko setelah pemilu harus dilakukan, sebagai bentuk antisipasi ancaman yang muncul dari oligarki yang bersatu dengan penguasa.

“Kami tentu saja pesimis dengan siapa pun yang hari ini berkontestasi. Justru, harapan terbesar kami adalah bagaimana solidaritas antarwarga terus diperkuat, juga memitigasi potensi risiko setelah pemilu,” paparnya.

Baca juga: Masyarakat Adat, Perubahan Iklim, dan Presiden Indonesia yang Baru

 

Sejumlah warga menyerukan solidaritas antarwarga korban tambang, menyikapi masifnya pengaruh oligarki pada para kontestan pemilu 2024. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Tidak melahirkan pemimpin peduli lingkungan

Terpisah, Adios Syafri, dari Hutan Kita Institut [HaKI], Minggu [18/2/2024], di Sumatera Selatan terdapat 130 IUP [Izin Usaha Penambangan] Batubara, yang luasannya sekitar luas 674.000 hektar.

Sebanyak 28 IUP [Kabupaten Lahat], 16 IUP [Kabupaten Muaraenim], 3 IUP [Kabupaten PALI], sementara usaha batubara di kabupaten yang dilintasi Sungai Rawas adalah 6 IUP [Kabupaten Musi Rawas Utara], dan 4 IUP [Kabupaten Musi Rawas]. Untuk IUP Batuan dan Mineral Non Logam di Sumatera Selatan sebanyak delapan unit, tersebar di Kabupaten OKU Timur, OKU Selatan, Banyuasin, dan Muba.

Cadangan batubara di Sumatera Selatan sebesar 9,3 miliar ton, terbesar kedua di Indonesia. Seperempat total cadangan batubara nasional, yang mencapai 37,60 miliar ton.

“Namun, berbagai persoalan lingkungan hidup masih belum terselesaikan di Sumatera Selatan. Mulai dari terus tergerusnya hutan, rusaknya lahan basah, hingga pencemaran, akibat aktvitas ekonomi ekstraktif, pembangunan infrastruktur, serta perilaku masyarakat yang tidak lestari.”

Hingga 2021, Kementerian Pertanian mencatat sekitar 1,2 juta hektar lahan perkebunan sawit di Sumatera Selatan. Perkebunan sawit ini menyebar dari dataran tinggi hingga dataran rendah.

Sementara lahan gambut seluas 1.254.502,34 hektare berubah fungsi menjadi HTI [Hutan Tanaman Industri] dan perkebunan sawit seluas ekitar 738.137,84 hektare.

Ironinya dari berbagai aktivitas ekonomi tersebut, sebagian masyarakat Sumatera Selatan hidup dalam kemiskinan. Sumatera Selatan berada di urutan ke-10 sebagai provinsi di Indonesia dengan persentase penduduk miskin terbesar.

“Persoalan ini sudah muncul sejak puluhan tahun lalu. Tidak ada wakil rakyat yang mampu atau fokus dalam mengatasi berbagai persoalan tersebut. Dan Pemilu 2024, tampaknya kembali melahirkan pemimpin yang sama,” ujarnya.

Sutrisman Dinah, pegiat lingkungan hidup di Sumatera Selatan, menambahkan dengan realitas ini, masyarakat sipil harus terus menyuarakan berbagai pengetahuan dan membangun kesadaran agar masalah lingkungan hidup tetap menjadi perhatian serius.

“Hukum alam itu bekerja dengan caranya sendiri, tidak ada yang mampu merekayasa. Kerusakan akan membuahkan kerusakan, yang berdampak pada makhluk sekitarnya. Kita jangan menjadi bagian dari manusia yang gemar merusak dan menghancurkan kekayaan alam,” tegasnya.

 

Tahun Baru dan Kecemasan Gen Z Menanti 2050

 

Exit mobile version