Mongabay.co.id

Mikro Hidro Korong Wonorejo, Tak Sekadar Mandiri Energi

 

 

 

 

 

Ketika daerah lain menanti PT PLN masuk untuk mendapatkan penerangan,  tidak bagi Korong Wonorejo. Kampung yang berada di Jorong Sungai Lambai, Nagari Lubuk Gadang Selatan, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan ini sejak 2005 sudah memanfaatkan kekayaan air mereka untuk sumber energi.

Korong adalah kata lain dari kampung di Sumatera Barat. Korong ini mempunyai luas sekitar 1.600 hektar,  5% dari luas Solok Selatan.

Sore itu, Arima, warga Korong Wonorejo sedang menggendong bayinya yang berusia satu tahun. Lampu ruang tamu dan ruang belakang rumah sudah hidup. Ibunya, Wigati,  datang membawa  kopi sembari mematikan saklar lampu dapur.  Lampu-lampu hasil dari pembangkit mikro hidro.

Wigati cerita, baru sekitar tahun 2005 mulai ada listrik di kampung ini dengan gunakan mikro hidro..

Sebelum ada pembangkit dari energi air itu mereka hanya pakai lampu togok, penerangan pakai minyak tanah.  Mereka tak bisa mengisi baterai telepon maupun pakai lemari pendingin. Kini, dengan mikro hidro, mereka bisa menikmati listrik di rumah juga pakai peralatan elektronik seperti kulkas.

Awal mula ada mikro hidro, katanya, hanya bisa untuk lampu dan charge handphone.

“Sekarang bisa untuk kulkas dan mesin cuci,” kata perempuan 43 tahun ini.

Arima menambahkan,  mereka hanya membayar Rp50.000- Rp70.000 per bulan. “Sampai Rp70.000 itu kalau pakai kulkas dan mesin cuci,” kata perempuan 24 tahun ini.

 

Warga Wonorejo mengelas menggunakan listrik dari PLTMH. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Untuk menjaga dan perawatan pembangkit listrik tenaga mikro hidup, ada petugas khusus. Junaidi, yang jadi operator PLTMH. Dia harus berjaga, andai sewaktu-waktu ada masalah, misal, listrik mati.

Seperti hari itu, Junaidi harus berangkat malam sekali dari rumahnya ke mesin pembangkit karena listrik kampung tiba-tiba mati. Motor melewati jembatan dan jalan berbatu nan licin. Setelah dia cek, ternyata ada kayu dan ranting yang menghambat air sungai masuk ke turbin.

Penyaring air menuju turbin tertutup oleh ranting-ranting dan batang-batang kayu kecil.

Seperti hari-hari biasa, di PLTMH dia pun membersihkan sampah-sampah yang masuk ke penyaring.

“Kalau ada petir harus cepat-cepat mati karena risiko besar. Selain itu karena sering kena petir lalu mati. Kalau hujan lebat tantangan sampah-sampah seperti daun ranting dan kayu-kayu,” katanya diselingi suara hujan di luar rumah.

Dia bilang, sudah beberapa kali pembangkit kena sambar petir. Kalau turbin rusak tersambar petir, katanya, hanya beberapa warga yang memiliki genset dan ada listrik. Pemilik genset biasa memasang harga Rp5.000 per orang yang menumpang mengecas telepon genggamnya.

 

Lampu jalan Korong Wonorejo menggunakan listrik dari PLTMH. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Junaidi beberapa kali pernah menemukan kayu yang ditebang menutupi filternya. Dampaknya,  listrik tak menyala karena turbin mati tidak teraliri air.

Dia mengatakan, awal mula PLTMH ini hanya untuk pribadi pada 2005. Setelah ada program MCAI di korong mereka, melalui perusahaan Pro Water, PLTMH mulai jalan untuk kepentingan kampung.

Ada sekitar 200 rumah yang mendapat penerangan dari pembangkit dan masing-masing mendapat aliran listrik sebesar 900 watt.

Warga membayar per bulan bervariasi tergantung pemakaian. Ada yang Rp50.000, Rp60.000  sampai Rp70.000 per bulan.

Eliono,  mantan operator PLTMH Wonorejo mengatakan, dulu PLTMH belum pakai alat otomatis, masih gunakan batu-batu tersusun, pakai terpal supaya air tidak merembes ke bawah dan bisa mengalir ke rumah turbin.

“Juga bandar dulu ga seperti sekarang, banyak peresapan air ke pinggir-pinggir itu, apalagi kalau hujan malam harus membesarkan dan mengecilkan pintu air atur setok untuk air supaya pengaturan untuk pltmh nya,” katanya.

Kini,  PLTMH itu sudah menggunakan mesin otomatis. “Daya yang masuk sudah stabil jadi kondisi elektronik warga di korong ini aman.”

Saat ini, katanya, sudah ada jembatan yang menghubungkan antara rumah operator dengan pembangkit hingga tidak harus mengambil jalan memutar yang dapat menghabiskan waktu hampir 30 menit,  tergantung cuaca dan kondisi jalan.

Warga pun kini pakai kwh meter. Dengan mesin itu, katanya, tak ada kecemburuan antara pemakai. Kalau dulu,  warga tak boleh pakai alat elektronik banyak, kata Eliono, karena daya masih terbatas.  “Kalau ada yang gunakan beberapa elektronik saling curiga. Kini tak ada lagi kecurigaan.”

 

Junaidi operator Turbin PLTMH Wonorejo Solok Selatan. Foto: Jaka HB/MOngabay Indonesia

 

Manfaat sosial

Dia bilang, dari ada PLTMH tak hanya pemenuhan energi, dari iuran warga dapat digunakan kembali untuk kepentingan sosial masyarakat.

Selain untuk operasional, katanya, iuran  warga bisa untuk membangun korong secara mandiri. Dengan uang iuran, katanya, bisa membangun mesjid, sumbangan acara pemuda, bahkan ada beberapa tanah bisa terbeli dengan uang itu.

“Termasuk untuk anak sekolah berprestasi kami bisa mengeluarkan beasiswa,” katanya.

Ditambah lagi, kalau ada pertemuan tahunan mereka bisa berikan hadiah atau doorprize dan untuk acara-acara sosial lain.

 

Hutan harus terjaga

Mikro hidro bisa berjalan lancar kalau hutan terjaga. Eliono bilang, ancaman untuk sumber air mereka selalu ada.

“Kalau hutan kita tidak dijaga otomatis penyusutan air,   maka di sini kami dibangunkan PLTMH istilahnya masyarakat sekitar harus menjaga lingkungan.”

Dengan begitu, katanya, masyarakat bisa sekaligus ikut menjaga hutan. Kalau pun memanfaatkan hutan, katanya, harus memikirkan tanaman yang bisa menyerap dan menyimpan air.

Dalam buku yang berjudul Profil Korong Wonorejo bikinan MCA Indonesia  tertulis Korong Wonorejo sudah ada sejak 1928. Saat itu,  kolonial Belanda membawa beberapa keluarga dari Jawa untuk mereka pekerjakan di perkebunan teh.

Setelah merdeka,  sempat ada pergantian pengelola 1954-1956, lalu 1957 dan 1964, mereka dipekerjakan lagi oleh perkebunan teh PTP VI Sumatera Utara. Pada 1970,  kontrak mereka habis, sebagian pulang ke Jawa, ada yang tinggal di pinggir PPN VI.

Korong Wonorejo,  sebelah utara berbatasan dengan PT Mitra Kerinci Kebun Liki dan Korong Pasar, Sungai Barameh, sebelah selatan berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat dan PT MKK Liki Blok 127. Sebelah barat,  berbatasan dengan Jorong Sei Bukit Kapur dan sebelah timur dengan Sungai Lambai.

Di Korong Wonorejo lewat aliran sungai dan anak-anak sungai termasuk sub-sub daerah aliran sungai Batang Liki dan Kapur.

Energi air yang masyarakat Korong Wonorejo manfaatkan

dari Sungai Lambai,  bagian DAS Batang Sangir. Aliran untuk turbin dari Sungai Wonorejo.

PLTMH Wonorejo berdaya 64 KW terbangun pada 2005 sudah melistriki sekitar 172 keluarga dari 176 keluarga dengan rata-rata daya perkeluarga  250 watt.

Operator membersihkan saringan ke pipa menuju turbin PLTMH. Foto: Jaka HB?Mongabay Indonesia

*******

 

Mengasuh Pohon, Menjaga Pasokan Listrik Mikro Hidro

Exit mobile version