Mongabay.co.id

Nestapa Petani Pacitan Terdampak Limbah Tambang Tembaga

 

 

 

 

 

Parno bergegas menepi saat matahari mulai terik. Dengan wajah lesu, petani 69 tahun asal Dusun Kwangen, Desa Cokrokembang, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur itu tak henti memandangi tanaman padi di depannya.  Sesekali, dia menggelengkan kepala. Tanaman padi tak tumbuh subur

Lha pripun mboten susah, wong niki sampun umur 25 hari, tandurane mboten saget subur (bagaimana tidak gusar, ini sudah 20 hari. Tanamannya tidak bisa subur),” keluh Parno.

Parno gusar. Pagi akhir Januari lalu, dia datang ke sawah untuk melihat pertumbuhan padinya. Dia lesu lantaran padi yang ditanam sejak 20 hari lalu ternyata tak tumbuh dengan baik. Bentuk tanaman kerdil, bahkan di beberapa bagian terlihat menguning.

“Seharusnya ini sudah mulai beranak, tidak seperti ini. Sampean bisa lihat sendiri. Tanamannya tidak terlihat subur. Tidak mau tumbuh.”

Parno tak tahu pasti yang menyebabkan tanaman padi tak bisa tumbuh subur.  Dia menduga karena air irigasi tercemar limbah tambang tembaga, PT Gemilang Limpah Internusa (GLI) di atas bukit.

Indikasinya, sawah-sawah lain yang tidak menggunakan sumber irigasi sama terlihat lebih subur. Pun demikian dengan sawah yang lokasi lebih jauh dari saluran itu, pertumbuhan padi terlihat lebih baik.

 

Sawah petani di Para petani Desa Cokrokembang, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur terdampak pencemaran limbah tambang tembaga. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Hasil panen turun

Tambang GLI sejatinya berada di Desa Kluwih, Kecataman Tulakan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Karena lokasi berada di ketinggian,limbah mengalir ke Sungai Kedung Pinihan yang melintas di Desa Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo.

Cokrokembang jadi desa paling terdampak lantaran topografi tepat di bawah Desa Kluwih. Dampak paling kentara terlihat dari sawah-sawah terganggu lantaran saluran irigasi bersumber dari Sungai Kedung Pinihan itu diduga tercemar limbah GLI.

Jejak pencemaran itu pun begitu kasat mata. Mongabay mengikuti aliran sungai ke atas mendapati sisa-sisa endapan lumpur begitu pekat. Bahkan, batu-batu besar di badan sungai juga berubah warna menjadi kuning keemasan. Makin ke atas, kondisi sungai makin pekat.

Parno menyebut, dulu, dengan sawah seluas 0,9 hektar, dia bisa mendapat 16 karung sak padi untuk sekali panen. Belakangan,  panen terus turun. “Dua panen ini dapat 11 sak. Terakhir turun lagi, malah cuma dapat enam sak,”  katanya.


Petani yang mengeluhkan air sungai tercemar yang berdampak pada sawah petani

 

 

Parno sempat mencoba mengganti padi dengan tanaman lain, seperti kedelai, jagung, atau kacang-kacangan. Hasilnya,  malah lebih parah. Semua jenis palawija yang dia tanam itu mati.

Kebingungan memanfaatkan lahan sawah yang tak seberapa luas itu, Parno memutuskan kembali menanam padi. Karena itu, begitu masuk musim penghujan, dia segera membuat demplot persemaian padi.

Upaya Parno kemungkinan juga gagal karena bibit padi semaian itu tak tumbuh dengan baik, bahkan mengering.

“Tidak bisa tumbuh, kuning-kuning. Ya saya akhirnya beli benih dari daerah lain, ke Madiun Rp200.000. Hasilnya juga bisa sampean lihat. Tidak bisa subur, tanaman kurus-kurus,” katanya.

Parno bukanlah satu-satunya petani terdampak limbah tambang GLI itu. Tulus Pujianto,  Wakil Ketua Kelompok Tani Rukun Makmur mengatakan, ada lebih 200 petani di Desa Cokrokembang turut terdampak limbah perusahaan tambang ini.

“Kalau hamparan sekitar 20-25 hektar,” katanya.

Sawah Tulus termasuk paling terdampak limbah GLI karena berada di area awal saluran irigasi. Hasil panen sawah Tulus pun turun drastis. Padahal, untuk mengelola sawah, dia keluarkan biaya tak sedikit sekitar Rp1 juta per masa tanam.

Biaya itu, katanya, untuk membayar traktor saat pengolahan lahan Rp200.000, membeli bibit Rp200.000, dan biaya tanam Rp300.000.

“Itu belum biaya lain-lain, pupuk, operasional wara-wiri, makan dan sebagainya. Yang pasti, kalau pakai air sumur, otomatis biaya juga nambah untuk sewa pompa,” katanya.

 

acitan, yang Air sungai di Pacitan, yang tak jernih lagi diduga dampak pencemaran limbah tambang tembaga. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Tengah Januari lalu, warga mengadukan permasalahan ini ke pemerintah kabupaten. Oleh Dinas Pertanian, menindaklanjuti aduan itu kemudian dengan uji biologi kualitas sungai yang jadi sumber irigasi warga.

Dalam uji itu, petugas disaksikan warga menebar ratusan nila di kerambah yang sebelumnya telah mereka siapkan. Hasilnya, ikan-ikan yang ditabur itu hanya mampu bertahan semalam. “Ditabur sekarang, besoknya mati semua. Ini makin memperkuat dugaan warga bahwa air yang mengalir memang telah tercemar,” kata Tulus.

Mongabay mencoba melakukan hal sama menebar ratusan benih nila ke kerambah. Hasilnya, ikan-ikan dengan ukuran rata-rata 51-10 sentimeter itu hanya mampu bertahan sehari. Padahal, kondisi air terlihat lebih jernih dibanding sebelumnya.

Hasil uji biologi itu makin mempertegas dugaan warga sungai yang melintas di kampung mereka tercemar. Selain itu, juga mengkonfirmasi hasil uji air limbah milik GLI yang mendapati sejumlah parameter yang jauh melebihi baku mutu, sebagaimana Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Men-LH) Nomor 202/2004.

Mongabay mendapatkan salinan dokumen hasil uji laboratorium terbitan Januari 2023 oleh EnviLab, lembaga penguji yang terakreditasi nasional. Beberapa parameter itu antara lain, cooper atau tembaga.

Temuan senyawa dengan rumus kimia Cu itu mencapai 45 mg/l, atau 20 kali lipat lebih tinggi dari baku mutu, hanya 2 mg/l.

Tulus mengatakan, merujuk hasil uji biologi plus uji lab itu, sangat logis kalau pencemaran sudah parah. Saking parahnya, gulma atau rumput yang biasa memenuhi sawah tak bisa tumbuh.

“Dimana-mana, sawah itu pasti ada rumput. Ini kan tidak. Tidak banyak rumput atau gulma yang tumbuh kendati sawah banyak mendapat pasokan air,”  katanya.

Sebelum ada tambang GLI, sawah di Cokrokembang,  sangat subur. Warga bisa panen sampai tiga kali dalam setahun. Naas, cemaran limbah GLI membuat warga kini kelimpungan lantaran sawah tak lagi bisa mereka tanami. Bahkan untuk palawija seklipun, seperti kacang dan kedelai juga mati.

Bagi Tulus, keadaan itu berisiko membuat petani rugi berlipat-lipat. Untuk benih padi saja mereka harus mendatangkan dari luar daerah. Sebelumnya, benih semaian itu bisa mereka lakukan sendiri.

“Ini bingung juga. Tidak ditanami itu eman, ditanami juga begitu,” keluh Tulus.

Gunadi, Kepala Desa Cokrokembang, miris dengan apa yang para petani alami. Betapa tidak, demi bertahan hidup, mereka tetap menanam padi kendati hasil tak menjanjikan. Para petani ini, kata kades, tak lagi punya pilihan lantaran tak ada tanaman lain yang bisa hidup.

“Yang bisa hidup hanya padi, meskipun hasil tidak menjanjikan. Ya, mereka tidak punya pilihan karena ditanami yang lain tidak bisa.”

 

Sawah petani di pacitan. Yang tak gunakan aliran air dari sungai tercemar, bisa tumbuh subur. Tetapi tidak di lahan-lahan sawah yang pakai irigasi dari sungai tercemar, tanaman padi kerdil. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Seperti kebanyakan warga desa lain, kata Gunadi, warga Cokrokembang, tidak begitu memahami dampak buruk pertambangan. Mereka baru mulai menyadari setelah ikan-ikan di sungai banyak mati, begitu juga hasil pertanian terus menurun.

“Tadinya kan mereka tidak mengerti. Mereka baru sadar ada masalah setelah panen turun terus. Ditanami kedelai, jagung malah tidak hidup. Sebelumnya tidak pernah seperti itu.”

Sopingi, Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Desa Cokrokembang,  mengatakan, tadinya para petani itu tidak begitu peduli dengan kehadiran GLI. Warga baru mulai menyadari ada yang tidak beres setelah air sungai berubah jadi lebih keruh.

“Setiap habis hujan kok air keruh sekali. Keruhnya itu tidak seperti biasa,” katanya.

Warga mulai curiga karena ikan-ikan di sungai utama, Kali Grindulu,  banyak mati.

Sebelumnya, Sungai Grindulu merupakan habitat bagi sidat. Warga bahkan mengeramatkan ikan dengan bentuk panjang itu. Sejak GLI beroperasi, tak lagi bisa jumpai ikan ini.

Sejak itu,  warga mulai berpikir air sungai tercemar. Seiring perjalanan waktu, produktivitas pertanian juga turun. “Sejak itu, petani mulai berpikir, turun produksi pertanian karena air yang dipakai sudah tercemar limbak,” katanya.

Totok Widayanto,  penyuluh pertanian benarkan, hasil panen padi warga Cokrokembang terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Namun, dia tidak berani berspekulasi penyebab penurunan hasil panen sampai 50% itu.

“Kalau penglihatan luar memang terjadi penurunan sampai 50%. Tanaman juga tidak bisa tumbuh subur. Tetapi, kita tidak bisa meraba-raba apa penyebabnya. Semua harus diuji,” katanya.

Totok bilang, limbah GLI memang masuk ke saluran irigasi. “Itu baru sebatas sebagai pendapat pribadi. Harus ada bukti riset yang mengonfirmasi itu agar bisa dipertanggungjwablkan secara ilmiah. Apakah ada zat berbahaya yang mengakibatkan produktivitas terus menurun,” katanya.

Dia sempat mengusulkan uji menyeluruh terhadap kualitas lahan maupun air irigasi. Karena anggaran terbatas, belum bisa lakukan pengujian.

 

Uji biologi kualitas sungai yang jadi sumber irigasi warga, saat memasukkan bibit nila ke sungai hanya bertahan sehari, setelah itu ikan mati. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Apa kata perusahaan?

Badrul Amali, penasihat hukum perusahaan, tak menampiik dampak kegiatan GLI terhadap lahan para petani.

“Pada prinsipnya perusahaan tidak membantah ada permasalahan yang timbul dari aktivitas GLI,” katanya kepada Mongabay di kantornya di Jalan Sausit Tubun, Pacitan.

Badrul mengatakan, dugaan cemaran itu berasal dari sisa-sisa material tambang yang tertumpuk di area atas sebelum terangkut. Sisa material itulah, katanya,  yang kemudian masuk ke sungai saat hujan lebat.

“Karena kan memang posisinya di atas,” katanya.

Dia mengklaim, perusahaan telah mengambil sejumlah langkah sebagamana rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Misal, dengan membersihkan sisa material sumber cemaran.  Kegiatan itu, katanya, sudah mereka lakukan. Selain itu, perusahaan juga membangun kolam untuk menampung sisa-sisa material agar tidak mengalir ke bawah.

Air dalam kolam, katanya,  juga tercampur kapur untuk menetralisir zat-zat berbahaya yang terkandung dalam material itu. ‘Sedangkan endapan dari air kolam masuk ke karung untuk dibawa kembali ke terowongan.”

Untuk mendukung petani, perusahaan juga membangun jaringan air bersih. Selain mensuplai kebutuhan warga, air bersih ini juga untuk mengimbangi air irigasi yang kadung tercemar.

“Artinya, semua rekomendasi dari pemerintah sudah dilaksanakan oleh GLI. Perusahaan juga akan menggandeng konsultan tambang yang membidangi itu (pengolahan air limbah)” kata Badrul.

Cici Raudlatul Janna, h Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pacitan, mengatakan, telah mengirim surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dugaan pencemaran oleh GLI. Surat juga dia kirim kepada Pemerintah Jatim.

“Akhir Januari lalu kami juga sudah menggelar rapat bersama di provinsi untuk menindaklanjuti masalah ini,” kata Cici.

Sejauh ini, mereka belum memastikan berapa luasan lahan terdampak pencemaran ini, berikut penanganannya. Saat ini, tim Dinas Pertanian masih mengidentifikasi dan kajian terkait upaya penanganan.

Muhammad Jamil, Koordinator Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, memberikan catatan khusus terkait penanganan lahan kontaminasi. Menurut dia, selama ini, penanganan lahan terkontaminasi hanya fokus pada upaya pemulihan agar bisa kembali ditanami. Bagaimana dampak dan kerugian petani sebelumnya, tidak pernah masuk hitungan.

Dia pun mendorong upaya penanganan secara menyeluruh. “Tidak sebatas pemulihan. Petani yang merugi selama bertahun-tahun selama ini itu juga harus dihitung. Perusahaan wajib mengganti itu semua, karena itu bagian dari penegakan hukum,” katanya. (Bersambung)

 

Tanaman padi yang tak tumbuh subur di Pacitan diduga kuat dampak air irigasi tercemar limbah tambang tem baga. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

*******

Hidup dari Alam, Perempuan Adat Tolak Tambang Masuk Banggai Kepulauan

Exit mobile version