Mongabay.co.id

Merawat Pampa, Hutan Perempuan Adat Moa

 

 

 

 

Elisabet Heta tengah sibuk menyiapkan bekal ke kebun, pagi itu. Satu persatu berbagai peralatan kebun pun dia masukkan dalam baki, tas khusus Perempuan Adat Moa, terbuat dari rotan dan bantu. Tak berselang lama, perempuan berumur 52 tahun ini langsung bergegas pergi.

“Saya mau pergi ke pampa,” kata Elisabet yang tinggal di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) ini, beberapa waktu lalu.

Pampa adalah zona tradisional Masyarakat Adat Moa, dengan otoritas pemanfaatan oleh perempuan. Setiap pagi, para Perempuan Adat Moa harus ke wilayah ini karena pampa merupakan “dapur kedua” bagi mereka.

Sejatinya, perempuan. dan pampa merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan Komunitas Adat Topo Uma Suku Kulawi yang berbahasa uma ini. Pasalnya, lahan pampa yang relatif dekat dengan pemukiman mereka itu, ditanami berbagai macam tanaman untuk pangan keluarga.

Elisabet bilang, setiap keluarga memiliki sekitar 300 meter persegi lahan pampa dengan aneka jenis tanaman muda, seperti, sayur-mayur, umbi-umbian, kacang tanah, jagung, cabai (rica), dan berbagai jenis bumbu dapur lain.

Bibit-bibit tanaman mereka peroleh dengan saling bertukar (barter) dan membuat pembibitan sendiri dari tanaman yang ada.

“Karena hasil panen hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, maka pemilihan jenis bibit pun akan selalu disesuaikan dengan kebutuhan setiap keluarga,” kata perempuan empat anak ini.

Meskipun bersifat subsisten, Perempuan Adat Moa ini juga memainkan peran penting dalam pengelolaan keuangan keluarga. Kalau para laki-laki bekerja di lahan pertanian yang untuk panen dan pasar, perempuan berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Jadi, setiap rumah tangga Masyarakat Adat Moa tak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk kebutuhan pangan karena sebagian besar dari pampa. Sementara, produksi kakao, kopi, dan berbagai jenis tanaman perkebunan yang dikelola laki-laki berfungsi sebagai sumber pendapatan untuk keperluan hidup lain.

Adapun permukaan pampa sebelum masa membuka bonea, salah satu zonasi tradisional Masyarakat Adat Moa untuk kebun padi ladang atau jagung.

Elisabet bilang, pembukaan pampa lebih awal itu sebagai cara perempuan memastikan ketersediaan bahan pangan keluarga, sebelum mereka mulai bekerja di bonea.

Dalam mengelola pampa, Perempuan Adat Moa lebih mengutamakan sistem kerja berkelompok dan bergilir yang disebut mome ala pale.

Dalam prinsip kerja mome ala pale, uang bukanlah hal utama, yang mereka perlukan tenaga, kerja sama, dan solidaritas kelompok.

Hal ini berlaku untuk semua Perempuan Adat Moa, kecuali kalau terkena penyakit (sakit) atau ada urusan keluarga yang tak dapat mereka tinggalkan. Meski begitu, katanya, kalau ada seseorang dalam kelompok tidak dapat mengikuti mome ala pale, harus mencari orang lain sebagai tenaga pengganti dari luar kelompok atau dari Desa Moa.

“Setiap kelompok kerja perempuan di Desa Moa ini bervariasi dan berbasis pada rukun tetangga (RT). Dalam setiap kelompok,  biasa 20-23 orang,” kata Elisabet.

 

Baca juga: Kearifan Masyarakat Adat Moa Merawat Hutan

Perempuan Adat Moa tengah jemur kakao. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Warisan leluhur

Agustin Mpadjama, tina ngata (ibu kampung) mengatakan, pampa merupakan warisan leluhur yang tidak terpisahkan dengan Perempuan Adat Moa hingga kini. Pampa pun jadi salah satu dari 15 tingkatan atau zona hutan yang ditetapkan leluhur Masyarakat Adat Moa menurut pengetahuan dan pemanfaatannya. Pampa terinternalisasi ke dalam Hukum Adat Topo Uma.

Komunitas Adat Topo Uma,  adalah satu suku asli Kulawi atau biasa disebut Masyarakat Adat Moa memiliki kultur budaya sama dengan etnis Uma secara umum, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam. Jauh sebelum ada negara, Masyarakat Adat Moa sudah jalankan kearifan lokal pengelolaan berdasarkan Hukum Adat Topo Uma secara bijaksana.

Secara filosofi, di Kulawi dikenal dengan penyebutan hintuwu (yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), katuwuan (mengatur hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (mengatur hubungan dengan sang pencipta).

Pampa bagian tak terpisahkan dari filosofi itu.”

Dengan begitu, kata Agustin, pampa memiliki nilai religius bagi Perempuan Adat Moa yang tergambar dari cara perempuan mengolah pampa. Dahulu, membuka lahan untuk pampa selalu mulai dengan upacara adat yang dipimpin tetua adat. Tetua dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi dengan Tope Hoi, penguasa alam semesta.

“Tujuan upacara adat untuk memohon kepada Tope Hoi agar diberi kesuburan tanah, terhindar dari hama perusak tanaman, dan memohon perlindungan, serta keselamatan dalam setiap pekerjaan di pampa,” kata Agustin.

Namun, katanya, tradisi ini mulai ditinggalkan sejak masuk agama dan makin kuat dominasi gereja. Peran dan fungsi tetua adat di masa lalu berubah jadi ibadah biston yang sepenuhnya oleh “opsir,” atau pimpinan Gereja Bala Keselamatan di Moa. Walaupun begitu, katanya, mereka masih terus menggelar tradisi wunca (upacara syukur) terhadap hasil pertanian termasuk dari pampa yang digelar gereja.

 

Baca juga: Masyarakat Adat Moa Masih Terbelenggu Hutan Negara

Pampa, hutan Perempuan Adat Moa, yang berisi berbagai tanaman keras dan semusim. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Melekatnya nilai-nilai religius itu membuat pampa tak sekadar kebun yang bisa menghasilkan kebutuhan dapur pelengkap nasi saja, lebih dari itu. Pampa jadi bagian terpenting dalam struktur sosial kelembagaan adat Komunitas Adat Topo Uma, terutama jadi wadah perempuan saling berinteraksi satu sama lain.

Agustin bilang, setiap perempuan yang berumah tangga, otomatis akan mengolah pampa dan ikut bergabung dalam sistem kerja mome ala pale tanpa ada paksaan. Perempuan Adat Moa meyakini mome ala pale sebagai tradisi dalam budaya Topo Uma, secara turun menurun sebagai identitas perempuan.

Di pampa, katanya, perempuan dapat saling bertukar informasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka dalam membudidayakan berbagai jenis tanaman. Selain itu, mome ala pale, juga jadi wadah dan ruang perempuan saling berinteraksi dan bersosialisasi tanpa batas-batas hierarki.

Pampa juga tempat perempuan mengaktualisasi diri dan membentuk jati diri sebagai sosok-sosok yang tangguh dan mandiri.”

Meski begitu, katanya, ada sejumlah pantangan (palia) yang tak boleh dilakukan di pampa. Misal, ketika hujan saat proses pembukaan pampa pagi hari, dianggap sebagai pertanda buruk. Masyarakat pun tidak boleh beraktivitas di lahan pertanian lain, termasuk di pampa. Dia bilang, kalau dilanggar akan menyebabkan musibah atau kesialan fatal, bahkan kematian.

Selain itu, katanya, suara bunyi gemuruh angin yang terdengar saat bekerja di pampa, juga dipercaya sebagai tanda peringatan untuk segera beristirahat sejenak. Sekitar 5-10 menit setelah gemuruh itu berhenti baru pekerjaan lanjut kembali.

“Semua pantangan yang dalam bahasa uma disebut palia itu masih dipercaya dan dipegang teguh oleh Perempuan Adat Moa hingga saat ini.”

 

Baca juga: Masyarakat Adat Moa Penuhi Energi dari Air yang Melimpah

Perempuan Adat Moa panen kacang di pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

 

Dari ketimpangan lahan ke agroforestri

Pampa, kini, dari zona lahan tempat budidaya berbagai tanaman sayur-mayur berubah jadi seperti hutan karena sudah ditanami kopi, dan kakao. Konsep pertanian menetap pada pampa itu terlihat berkembang membentuk sistem agroforestri dengan banyak tanaman tahunan.

Helni Gopi, Tokoh Perempuan Adat Moa mengatakan, perubahan bentuk lahan pampa itu terjadi sejak marak kopi di zaman kolonial Belanda dan kakao pada awal kemerdekaan.

Saat itu, katanya, kedua tanaman komersial itu memiliki harga fantastik dan banyak minat dari negara-negara luar. Mereka pun akhirnya ramai-ramai menanam tanaman tahunan itu di berbagai zona pertanian, termasuk di pampa.

Bahkan, kata Helni, pada 1955-1960,  Desa Moa menjadi satu desa penyuplai kopi terbesar di Sulawesi Tengah. Pada 1990-1997, kakao di Desa Moa,  sangat terkenal dengan kualitas baik karena budidaya secara tradisional tanpa pupuk dan pestisida kimia.

“Dahulu, vanili juga banyak di pampa. Karena harga turun drastis, masyarakat mengganti dengan kopi dan kakao,” kata Helni. Hari itu dia memanen kacang di pampa yang tumbuh subur bersama kakao.

Selain itu, kata Helni, perubahan bentuk pampa itu juga karena penetapan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada 1993, dengan dominan wilayah di hutan adat Moa.

Penetapan sepihak itu, katanya, membuat ketimpangan dan berdampak pada pola pemanfaatan lahan untuk wilayah Masyarakat Adat Moa.

“Ruang penghidupan kita terhimpit karena keterbatasan akses atas tanah dan lahan untuk pertanian ladang dan kebun. Itu juga membuat pampa yang awalnya ditanami sayur-mayur, ditanami kopi dan kakao.”

Dalam Masyarakat Adat Moa, tanah dan lahan sangat penting untuk bercocok tanam dan mengembangkan budidaya pertanian sebagai sumber pendapatan dan kebutuhan hidup. Sekitar 97% warga Adat Moa adalah petani yang mengolah jagung, kopi, dan kakao.

Padi ladang, padi sawah, kemiri, dan tanaman palawija juga ditanam mereka.

Namun, katanya, penetapan TNLL, sekitar 85% wilayah Masyarakat Adat Moa masuk kawasan hutan negara. Helni bilang, masyarakat tidak dapat lagi mengambil kopi dan kako karena masuk dalam kawasan hutan. Bahkan, banyak pohon kopi dan kakao ditebang petugas TNLL saat patroli.

“Kalau kita melakukan perlawanan atas penebangan pohon kopi dan kakao itu, kita dianggap menghambat, dan dicap perusak hutan.”

 

Perempuan Adat Moa bersiap ke kebun di pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Jadi, katanya, pampa yang awalnya hanya sayur-mayur, kini ada tanaman kopi dan kakao.

Lantas Masyarakat Adat Moa bersama pemerintah desa mengusulkan pengakuan hutan adat seluas 7.738 hektar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017. Mereka pun dibantu Karsa institute dan Kemitraan-Partnership.

Alih-alih mendapatkan pengakuan cepat, mereka justru harus menunggu lebih empat tahun agar wilayah adat diakui. Itupun penetapan hanya 1.484 hektar berdasarkan SK 10 September 2021. Masyarakat, katanya, sangat kecewa.

Meskipun begitu, Helni menyadari, kebijakan negara yang merampas lahan untuk jadi kawasan hutan dan konservasi mendorong mereka menerapkan model pertanian berkelanjutan.

Mereka makin gemar memadukan kegiatan pengelolaan hutan dengan tanaman pertanian jangka pendek di pampa karena kekurangan lahan.

Sebenarnya, teknik bertani seperti itu adalah istilah baru praktik lama yang disebut agroforestri. Dia bilang, leluhur mereka elah melakukan cara itu sejak lama, tetapi pengelolaan hanya oleh laki-laki.

Dampak makin sempit ruang hidup mereka, Perempuan Adat Moa ikut andil dalam menerapkan wanatani itu di wilayah pampa mereka.

“Tak heran, kini wilayah pampa kita banyak sekali tanaman kopi dan kakao. Bahkan ada pohon aren juga,” kata Helni.

 

Para Perempuan Adat Moa, membawa beragam hasil panen mereka dari hutan pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Hutan terjaga

Dengan sistem agroforestri pampa itu memberikan dampak positif untuk keberlangsungan hutan di sekitar desa mereka. Fenomena itu ikut memperkuat peran perempuan adat yang merupakan penjaga hutan abadi.

Syukur Umar, profesor ilmu ekonomi sumber daya hutan di Universitas Tadulako dalam buku yang berjudul “Agroforest Pampa (2022)”.,  Dia menemukan praktik pengelolaan lahan dan hutan di pampa membentuk kebun hutan (forest garden), satu bentuk agroforestri yang menggabungkan tujuan pertanian dengan perlindungan hutan.

Syukur bilang, pampa Perempuan Adat Moa memperlihatkan unsur-unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan rumput. Secara fisik tampak seperti hutan alam, termasuk kehidupan di dalamnya.

Ketika melihat langsung, wilayah perempuan Moa ini merupakan kebun yang menyerupai hutan.  Dia menyebut sebagai agroforestri pampa.

“Agroforestri pampa Perempuan Adat Moa itu jadi jaring pengaman setiap rumah tangga. Apalagi, mereka tinggal di sekitar TNLL,” katanya kepada Mongabay.

Desa Moa, satu desa terakhir di Kecamatan Kulawi Selatan di ujung selatan Kabupaten Sigi. Desa ini dikelilingi hutan lindung dan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dengan luas 215.733,70 hektar.

Jarak, sekitar 24 km dari Gimpu, ibu kota kecamatan Kulawi Selatan, dan 120 km dari pusat Kota Palu. Dari Gimpu, modal transportasi hanya sepeda motor dengan perjalanan sekitar tiga jam menyusuri jalan setapak di tepi jurang terjal di pinggiran Sungai Lariang-Sungai terpanjang di Sulawesi.

Dengan kondisi itu, kata Syukur, agroforestri pampa jadi solusi terbaik bagi Perempuan Adat Moa dalam menjaga hutan di sekitar desa mereka.

“Agroforest pampa karya Perempuan Adat Moa ini merupakan teknologi tradisional secara turun temurun dan terlepas dari intervensi ilmuwan dan teknokrat. Ini yang membuat saya tertarik menulis soal agroforest pampa ini.”

Agroforestri pampa memiliki potensi strategis sebagai teknologi yang berakar pada masyarakat adat. Terlebih lagi, berdasarkan temuannya, agroforestri pampa dapat efektif dalam pengelolaan batas kawasan hutan atau sebagai teknologi daerah penyangga kawasan hutan dan taman nasional.

Lebih menarik lagi, kata Syukur, agroforestri pampa yang lahir dari kreativitas berkebudayaan lokal ini memiliki nilai penerimaan sosial yang jadi kekuatan tambahannya. Selain itu, dengan potensi ekonomi, akan jadi sumber pendapatan dan memenuhi kebutuhan Masyarakat Adat Moa sehari-hari.

“Kita bisa mengatakan, Perempuan Adat Moa menjaga hutan dengan Agroforestri Pampa,” katanya.

 

Salah satu rumah orang Moa di Sigi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Bagi Masyarakat Adat Moa, hutan merupakan urat nadi dan jadi sumber kehidupan sejak nenek moyang. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural kuat terhadap hutan. Dengan kata lain, katanya,  hutan bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Hampir seluruh sumber daya di hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat besar dalam kehidupan orang Moa. Kegiatan mereka di dalam hutan pun sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu sebelum ada negara.

Desmon Mantaili, Program Manager Karsa mengatakan, Perempuan Ada Moa berperan krusial dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa Moa. Dia bilang, mereka jadi satu kelompok yang memiliki legitimasi sosiologi dan kultural kuat dalam pelestarian lingkungan.

“Mereka kerap menjadi orang pertama menolak jika ada hal yang mencoba merusak hutan di sekitar desa mereka. Jika dibandingkan, sifat kontrol Perempuan Adat Moa lebih tinggi dari petugas taman nasional,” kata Desmon Mantaili kepada Mongabay.

Lebih dari satu dekade, Desmon terlibat langsung dalam pendampingan pengelolaan sumber daya alam di Desa Moa atas dukungan Kemitraan-Partnership. Selama itu, dia melihat bagaimana Perempuan Adat Moa jadi kelompok terdepan menjaga hutan dengan praktik agroforestri pampa.

Agroforestri pampa, adalah satu kesatuan ekosistem yang benar-benar tak bisa terpisahkan dengan Perempuan Adat Moa. Hubungan ini, katanya,  mencakup aspek ekonomi dan ekologis serta spiritual dan budaya.

“Dengan agroforestri pampa, mereka (Perempuan Adat Moa) memiliki pengetahuan dan keterampilan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.”

Menurut dia, praktik agroforestri pampa Perempuan Adat Moa ini bisa diadopsi masyarakat lain yang tinggal berdampingan dengan kawasan hutan atau kawasan konservasi. Praktik itu, katanya,  memberikan dampak positif dalam pelestarian lingkungan.

“Agroforestri pampa, cara Perempuan Adat Moa benar-benar menjaga hutan mereka.”

 

Perempuan Moa panen jagung di hutan pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

********

 

Masyarakat Adat Moa Masih Terbelenggu Hutan Negara

Exit mobile version