- Komunitas Adat Topo Uma, atau Masyarakat Adat Moa hidup bergantung hutan di Kulawi Selatan, Sigi, Sulawesi Tengah. Bagi Masyarakat Adat Moa, hutan merupakan urat nadi dan sumber kehidupan turun temurun. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural kuat terhadap hutan.
- Masyarakat Adat Moa, mengelola hutan dengan kearifan lokal. Mereka bagi hutan dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona). Ada, Pongataa, Polidaa, Pampa, Pocoklat, Oma Bou, Oma Nete, dan Oma Ntua, Pahawa Pangko dan banyak lagi.
- Jauh sebelum ada Desa Moa, Komunitas Topo Uma sudah lama menjalankan sistem pemerintahan adat. Keberadaan lembaga adat berawal dari kebutuhan tata kehidupan bersama masyarakat di Komunitas Topo Uma. Lembaga adat yang mengatur rangkaian tata cara dalam hubungan antar manusia dalam menjalani kehidupan.
- Sekitar 97% warga adat Moa sebagai petani dengan menanam kakao, jagung, dan kopi. Ada juga padi ladang, kemiri dan tanaman palawija. Sistem penanaman dan perawatan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
Pohon-pohon besar nan rimbun menutupi puncak pegunungan Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng). Itulah sebagian sisi hutan adat yang dilarang keras ada aktivitas manusia. Komunitas Adat Topo Uma menyebut hutan mereka ini wanangkiki.
Daud Rori, Wali Ketua Lembaga Adat Komunitas Adat Topo Uma mengatakan, hutan wanangkiki ini dilarang dibuka untuk ladang atau kebun. Kalau dibuka, katanya, menurut pengetahuan tradisional dapat mengakibatkan bencana kekeringan.
“Larangan-larangan itu dibuat lembaga adat Komunitas Topo Uma. Jika melanggar, akan diberi sanksi tegas,” katanya.
Jauh sebelum ada Desa Moa, Komunitas Topo Uma sudah lama menjalankan sistem pemerintahan adat. Keberadaan lembaga adat berawal dari kebutuhan tata kehidupan bersama masyarakat di Komunitas Topo Uma. Lembaga adat yang mengatur rangkaian tata cara dalam hubungan antar manusia dalam menjalani kehidupan.
Komunitas Adat Topo Uma, salah satu suku asli Kulawi atau biasa disebut Masyarakat Adat Moa memiliki kultur budaya sama dengan etnis Uma secara umum.
Secara filosofi di Kulawi, dikenal dengan penyebutan hintuwu (yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), katuwuan (mengatur hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (mengatur hubungan dengan sang pencipta).
“Wanangkiki satu bentuk dari katuwua,” kata Daud, awal juli lalu.
Mongabay mengunjungi Desa Moa melalui program Estungkara media field visit dari Kemitraan-Partnership. Desa yang paling selatan di Kulawi Selatan ini terletak di pegunungan dengan ketinggian 700-1200 mdpl dan luas 91,60 km persegi.
Jarak sekitar 24 km dari Gimpu, ibu kota Kecamatan Kulawi Selatan yang menjadi pintu masuk menuju Desa Moa, dan 120 km dari pusat Kota Palu.
Modal transportasi menuju Desa Moa hanya sepeda motor karena letak geografis terpencil di perbukitan yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Perlu sekitar tiga jam dari Gimpu berkendara motor dengan hati-hati dan kesigapan penuh untuk menyusuri jalan setapak di tepi jurang terjal di pinggiran TNLL. Di dasar jurang terbentang Sungai Koro (Lariang), sungai terpanjang di Sulawesi, yang mengalir deras di celah batu-batu besar.
Saat sampai di Desa Moa, semua lelah dalam perjalanan terbayarkan. Kehidupan masih tradisional dan pemandangan alam sangat asri membuat rasa capek hilang seketika.
Ditambah lagi, desa yang berpenduduk 474 jiwa dan 114 keluarga ini dikelilingi hutan membuat udara sangat sejuk, jauh dari polusi. Apalagi, semua warga menggunakan energi pembangkit listrik tenaga kincir air yang dibangun mandiri untuk penerangan malam hari.
Karena letak geografis cukup terpencil dan sulit akses terlebih karena kawasan hutan sekitar merupakan taman nasional, infrastruktur dan fasilitas layanan publik di Desa Moa minim, termasuk layanan kesehatan dan pendidikan.
Selain sarana terbatas, tenaga medis dan pendidik juga belum mencukupi untuk bisa melayani kebutuhan seluruh warga. Fasilitas pendidikan baru sekolah dasar.
Tata kelola hutan
Bagi Masyarakat Adat Moa, hutan merupakan urat nadi dan sumber kehidupan turun temurun. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural kuat terhadap hutan.
Sekitar 97% warga adat Moa sebagai petani dengan menanam kakao, jagung, dan kopi. Ada juga padi ladang, kemiri dan tanaman palawija.
Sistem penanaman dan perawatan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
Daud bilang, mereka kelola hutan dengan kearifan lokal. Mereka bagi hutan dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona). Ada, Pongataa, untuk wilayah pemukiman atau perumahan, fasilitas umum sekolah, rumah ibadah, sarana olahraga dan lain-lain. Ada Polidaa untuk persawahan atau budidaya padi, dan beternak itik.
Ada Pampa, untuk penggunaan kebun campuran, kombinasi tanaman keras dan musiman. Biasa, katanya, di Pampa tanaman pangan seperti ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran, serta tanaman penghasil bumbu dapur macam bawang, rica, tomat. Ada juga tanaman buah-buahan, coklat, kayu-kayuan, pandan serta tanaman untuk bahan kerajinan.
“Pampa satu zonasi tradisional Masyarakat Adat Moa, otoritas pengelolaan dan pemanfaatan menjadi milik kaum perempuan,” kata Daud.
Lahan untuk Pampa dipilih relatif dekat pemukiman. Pampa merupakan ‘dapur kedua’ bagi kaum perempuan, tempat mereka menanam berbagai macam tanaman untuk kebutuhan pangan keluarga.
Ada Pocoklat. Wilayah ini untuk kebun tanaman keras dengan tanaman kunci kakao. Ada juga pokopia untuk kebun tanaman keras dengan kopi sebagai tanaman kunci. Budidaya kakao dan kopi, katanya, pakai pola tumpang sari dengan tanaman campuran buah-buahan, berbagai jenis kayu ramuan rumah dan kayu bahan baku sandang.
Ada pula Lamara, katanya, merupakan lokasi penggembalaan kerbau dan sapi. Umumnya lokasi berupa hutan sekunder sudah tua (oma tua), namun tak menutup kemungkinan di hutan primer (ponulu).
Di sekitar Lamara harus ditunjang sumber air minum (kana), dan tempat berkubang hewan ternak (potampoa). Ada juga Bonea, katanya, merupakan ladang tanaman padi, jagung, sayur-sayuran, dan rempah-rempah. Setiap bulan ladang ini juga menghasilkan jamur yang tumbuh liar.
Kemudian zona Bilingkia, merupakan bekas ladang yang berusia di bawah satu tahun, permukaan lahan ditutupi tumbuhan herba berumur pendek, alang-alang, dan sedikit belukar.
Seringkali, bagian tertentu dari tanah di Bilingkia untuk menanam tanaman musiman seperti sayur-sayuran, rica (cabai rawit) dan tanaman pelengkap bumbu dapur lain.
Ada pula Oma Bou, merupakan bekas ladang berusia antara 1-2 tahun. Di sini, katanya, didominasi alang-alang dan permukaan tanah mulai tumbuh tumbuhan berkayu berupa semak, belukar dan anakan pohon kecil.
Setelah 3-10 tahun, wilayah itu disebut sebagai Oma Nete dengan lahan mulai banyak pohon kayu ukuran kecil (tiang), menggantikan semak dan belukar. Saat berusia 10 tahun lebih, wilayah itu disebut Oma Ntua yang memiliki anakan pohon besar dan mulai membentuk strata pepohonan.
“Oma Bou, Oma Nete, dan Oma Ntua masih bisa dibuka untuk lahan-lahan pertanian seperti padi ladang tapi harus proses musyawarah adat (moromu),” kata Daud.
Masih ada lagi, zona Pahawa Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang ditinggalkan berumur 25 tahun lebih. Pahawa Pongko, hampir menyerupai hutan sekunder semi hutan primer (Peponurua). Pohon-pohon sudah tumbuh besar.
Daud bilang, kalau menebang pohon di wilayah ini harus menggunakan tempat menginjakkan kaki terbuat dari kayu. Tempat injak kaki itu juga harus agak tinggi dari tanah agar dapat menebang dengan baik.
“Penebangan pohon di Pahawa Pongko ini dilakukan terbatas, hanya untuk kebutuhan membangun rumah, tidak bisa diperjualbelikan apalagi dibawa ke luas desa.”
Ada lagi Ko’olo, hutan larangan karena pertimbangan ekologis seperti daerah aliran sungai, mata air, sumber air panas mengandung sulfur tempat minum khusus untuk kerbau, atau tebing yang rawan longsor. Juga, tempat-tempat bersejarah atau situs purbakala, maupun tempat-tempat keramat yang memiliki nilai spiritual dan budaya.
Ada juga yang namanya Ponulu, merupakan hutan primer, jauh dari pemukiman atau lahan lahan pertanian. Ia bisa untuk tempat berburu dan mengambil rotan, kayu ramuan, damar, obat-obatan dan hasil hutan lain.
Menurut Daud, sewaktu-waktu Ponulu dapat saja beralih untuk lahan-lahan pertanian. Namun, katanya, harus melalui proses musyawarah adat dan ritual yang disebut motonaa atau meminta tanda.
Pada ritual motonaa, kata Daud, seorang yang dituakan akan menancapkan parang pada sebatang pohon di areal ponulu. Setelah tiga hari parang baru dapat dilihat kembali. Kalau parang yang ditancapkan tidak jatuh ke tanah maka pembukaan ladang dapat dilakukan di tempat itu. Apabila parang itu terjatuh ke tanah maka jadi pertanda larangan atau tak boleh ada aktivitas di situ.
“Bagi Masyarakat Adat Moa mempercayai jika melanggar pantangan akan mendapatkan bencana bahkan apa yang diusahakan di tempat itu tidak memberikan hasil,” katanya.
Berbeda kalau tempat untuk kebun ladang berada pada wilayah oma, balingkea, dan pohawa pongko. “Ritual tidak perlu lagi dilakukan,” katanya.
Selanjutnya lagi, ada Wana, suatu wilayah hutan yang luas dan tutupan hutan rapat atau biasa juga dikenal dengan hutan rimba atau hutan belantara.
Wana ini terletak jauh dari pemukiman atau dari lahan-lahan pertanian dan hanya sebagai tempat berburu, mengambil getah damar (gaharu), rotan, dan tumbuhan obat skala terbatas. Wilayah ini dilarang untuk membuka ladang karena jadi penyangga ketersediaan air.
Kemudian, wanangkiki, merupakan hutan pegunungan atas terletak di puncak gunung tinggi jauh dari pemukiman penduduk. Di wilayah ini, katanya, ditumbuhi pohon berbatang keras, berukuran kerdil. Batang, dahan, daun pepohonan dan lantai hutan berselimut lumut.
Daud mengatakan, semua pohon di sana dilarang keras ditebang.
Hak kepemilikan
Desa Moa memiliki kekayaan alam berlimpah. Dalam mengelola kekayaan itu, Masyarakat Adat Moa membagi kedalam dua kategori hak kepemilikan. Ada hak kepemilikan bersama (hak kolektif atau hak komunal) yang dalam bahasa To Kulawi Uma disebut Huaka to i Moa.
“Yang termasuk hak kepemilikan bersama adalah tanah dan segala sumber daya alam dalam wilayah adat yaitu, Wana, Ponulu, Peponurua, sungai dan segala yang terkandung didalamnya,” kata Agustin Mpadjama, tokoh Perempuan Adat Moa.
Dia bilang, hak kepemilikan bersama ini tidak bisa diperjualbelikan, disewakan (dikontrakkan) kepada siapapun juga terutama pihak-pihak luar yang bukan Masyarakat Moa.
Hak kepemilikan bersama ini terbatas pada pemanfaatan yang diatur lembaga adat Desa Moa. Katanya, semua aktivitas dalam hak kepemilikan bersama ini harus ada izin dari lembaga adat.
Dalam hak kepemilikan ini ada hak kepemilikan keluarga atau individu yang dalam bahasa uma disebut dengan peponurua. Ini hutan di pegunungan dan dataran.
Menurut dia, peponurua termasuk hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer karena sebagian sudah ada aktivitas manusia atau diolah jadi ladang.
Katanya, bagi Masyarakat Moa, peponurua dipersiapkan untuk kebun dan persawahan.
“Pada tingkatan atau kategori peponurua ini dimanfaatkan juga untuk mengambil kayu dan rotan sebagai keperluan rumah tangga. Ada juga yang mengambil pandan hutan untuk membuat tikar, serta obat-obatan untuk perawatan kesehatan,” katanya seraya bilang ada yang mengambil wewangian, umbut dan daun melinjo untuk sayuran.
Secara keseluruhan, wilayah Desa Moa seluas 91,60 km,² mayoritas masuk Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dan hutan lindung.
Disamping itu terdapat hutan-hutan sekunder di area yang lebih dekat pemukiman masyarakat. Hutan ini biasa sudah dimiliki atau dikuasai perorangan atau keluarga, karena terbentuk dari bekas pembukaan ladang (bonea). Hutan sekunder, katanya, bagi masyarakat Adat Topo Uma disebut sebagai oma.
Oma adalah tanah atau lahan yang sedang diistirahatkan. Istilah ini berbeda dengan tanah yang ditelantarkan, karena masa istirahat adalah bagian dari metode perladangan gilir balik secara integral yang diterapkan masyarakat Moa.
Bagi Orang Moa, katanya, jika lahan tidak diistirahatkan setelah panen, akan menyebabkan tanah jadi kritis. Metode perladangan bergilir ini merupakan warisan bertani dari leluhur Orang Moa.
Tak heran, katanya, lanskap Desa Moa juga diisi lahan-lahan kosong berupa tegalan. Ada yang masih didominasi Ilalang, ada yang sudah dikombinasi ilalang dan perdu.
“Bentuk seperti ini disebut balingkia, merupakan tahapan awal dari oma. Juga transisi pembentukan hutan setelah bonea,” kata tina ngata atau ibu kampung ini.
Larangan
Dalam pengelolaan sumber daya alam, masyarakat adat moa membuat aturan larangan dan sanksi kepada para pelangar adat.
Pndokumentasian hukum adat itu dibantu oleh Karsa Institute, LSM yang sudah sekitar satu dekade mendampingi Masyarakat Moa.
Aturan pengelolaan alam itu juga dibuat formal untuk kepentingan pengusulan hutan adat ke negara.
“Tidak diperbolehkan juga untuk mengambil atau menebang kayu untuk kepentingan komersial. Ketika ada orang yang ingin mengelola damar dan kayu gaharu di hutan adat moa harus izin dari lembaga adat,” kata Eliyanus Surabi dari Karsa Institute juga pemuda adat Moa.
Tak hanya itu, masyarakat juga tidak boleh menambang emas tanpa izin dari lembaga adat, dan melarang mengambil rotan dengan cara menebang kayu tempat rotan bertumbuh melingkar.
Masyarakat juga dilarang keras membuka lahan perladangan dan perkebunan tanaman kopi, kakao, vanili dengan cara sendiri-sendiri atau secara liar.
Eliyanus bilang, menebang untuk kepentingan apapun di kemiringan 50 derajat dan di bawah 50 meter dari daerah aliran sungai (DAS) juga sangat dilarang keras.
Larangan lain juga berlaku untuk pengambilan kayu bakar dalam jumlah besar seperti keperluan pesta tanpa izin dari lembaga adat Moa.
Pengambilan kayu untuk ramuan rumah pun tidak bisa menebang kayu berdiameter di bawah 50 cm. Masyarakat Moa juga dilarang menjual atau memindahtangankan tanah, lahan, hutan, terutama Ponorua, kepada siapapun dan apapun dasar pertimbangannya, tanpa izin dari lembaga adat Moa.
Tak boleh juga menangkap satwa langka di hutan, seperti anoa (lupu), babi rusa (dolodo), atau rusa (ruha). Dilarang keras juga menangkap burung langka di hutan, seperti maleo (molo), rangkong Sulawesi (alo), elang Sulawesi (lowe), dan burung lain dengan jerat, ranjau, senjata api, senjata angin, senjata tajam, dan bahan beracun.
“Jika semua itu dilanggar, orang yang melanggar akan diberi sanksi.”
********