Mongabay.co.id

Inilah Alasan, Mengapa Anak Orangutan Tidak Boleh Dipisahkan dari Induknya

Orangutan kalimantan ini berada di lahan gambut di Taman Nasional Sebangau. Foto: Dok. Borneo Nature Foundation [BNF]

 

 

Perdagangan dan perburuan orangutan hingga saat ini masih terjadi di Indonesia. Bayi atau anak orangutan, sering menjadi sasaran utama pelaku kejahatan.

Misalkan di Medan, Sumatera Utara, menjelang akhir 2023, petugas berhasil menyita dua bayi orangutan berusia lima bulan dari pelaku perdagangan satwa ilegal. Para pelaku kejahatan biasanya menggunakan modus kekerasan ketika menangkap bayi atau mengambil anak orangutan tersebut.

Bahkan, para pemburu tanpa segan akan membunuh sang induk orangutan terlebih dahulu, lalu membawa anaknya untuk diperdagangkan. Banyak pula kejadian, bayi yang diambil untuk tujuan peliharaan tersebut mati.

Padahal, seperti halnya manusia, dalam hal membesarkan anak, induk orangutan akan selalu menggendong bayinya kemana pun ia pergi. Hubungan erat antara anak dan induk, akan terjalin terus selama 7-8 tahun, sebelum sang anaknya hidup secara mandiri di alam liar. Inilah sebabnya, anak orangutan harus bersama induknya.

“Bayi orangutan tetap bergantung pada induknya selama sekitar 7 hingga 8 tahun dan selama itu pula sang induk tidak akan memiliki anak lagi. Periode ini terpanjang di antara semua jenis kera besar,” kata Sophie Kirklin, peneliti orangutan dari Borneo Nature Foundation dalam laporannya.

Baca: Usia 40 Tahun, Orangutan Kalimantan Ini Melahirkan Bayi Keempat

 

Induk orangutan kalimantan bersama anaknya ini berada di lahan gambut di Taman Nasional Sebangau. Foto: Dok. Borneo Nature Foundation [BNF]/BTNS

 

Terkait periode tersebut, menurutnya ada dua teori yang bisa dijelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, orangutan bersifat semi-soliter, yang berarti bahwa mereka hidup sendiri dan bukan dalam kelompok sosial karena distribusi dan kepadatan makanan yang tersedia di hutan. Tidak ada sumber daya yang cukup untuk mendukung sekelompok orangutan di area yang sama.

Meski demikian, ada hipotesis mengenai gaya hidup soliter, bahwa habitat orangutan hanya dapat mendukung seekor induk dan satu anak yang sedang berkembang. Jika ada anak lain yang lahir, maka tidak akan ada cukup makanan. Jadi, selama bayi tidak dapat makan sendiri dan perlu berbagi sumber daya dengan induknya maka induknya tidak dapat memiliki anak kedua pada saat bersamaan.

Kedua, kata Sophie, yakni hipotesis pembelajaran keterampilan. Teori ini menyatakan bahwa keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan dan bertahan hidup di hutan sangat banyak, sehingga periode 8 tahun merupakan waktu yang dibutuhkan orangutan muda untuk memperoleh keterampilan tersebut, melalui transmisi sosial, pembelajaran, dan peniruan.

Baca: Lebih Dekat dengan Orangutan Kalimantan

 

Orangutan kalimantan [Pongopygmaeus] bernama Gracia ini bersama bayinya di lahan gambut di Taman Nasional Sebangau. Foto: Abdul Aziz/BNF/BTNS

 

Perilaku bayi orangutan

Penelitian yang dilakukan oleh Renata S. Mendonca, dkk, di jurnal Primates 2016, mengenai orangutan kalimantan, menjelaskan saat induk memberi makan, bayi memiliki kesempatan untuk belajar bagaimana dan apa yang dimakan dengan mengamatinya dari jarak yang lebih dekat. Periode usia 4-7 tahun merupakan waktu yang sangat penting dalam membentuk keterampilan makan mandiri.

“Kami menemukan bahwa waktu makan bayi meningkat pesat dari usia 1 hingga 3 tahun. Anak orangutan berusia empat tahun dapat memproses sebagian besar makanan yang sama dengan induknya, dan pembagian makanan dari induk menurun,” tulis para peneliti.

Dalam laporan berjudul “Development and behavior of wild- infant-juvenile East Bornean orangutans [Pongo pygmaeus moreo] in Danum Valley” dijelaskan, ketika waktu perjalanan induk meningkat, begitu pula dengan anaknya. Anak orangutan mulai bepergian secara lebih mandiri sambil mengikuti induknya sejak usia 3 tahun.

Namun, waktu istirahat induk tidak menentukan waktu istirahat anaknya; sebaliknya, waktu istirahat induk merupakan saat yang baik untuk waktu bermain anaknya.

“Waktu istirahat induk memungkinkan anak menjelajahi lingkungan dan terlibat dalam kegiatan soliter atau sosial, tergantung pada kehadiran pasangan yang sesuai,” ungkap peneliti.

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kecenderungan anak orangutan untuk tetap dekat dengan induknya meningkat seiring dengan bertambahnya usia anak. Namun, ketika sang anak menjadi lebih mandiri dan tidak terlalu membutuhkan perawatan induk, maka sang induk lebih sering meninggalkan anaknya atau jarang mendekati anaknya.

“Dengan begitu, induk perlahan mulai memutuskan kontak, dan anaknya menyesuaikan diri dengan perilaku induknya,” jelas laporan tersebut.

Di Indonesia, dalam berbagai operasi gabungan penyelamatan oleh aparat, pada umumnya ditemukan bayi orangutan terpisah dari induknya. Bayi-bayi orangutan yang berhasil diselamatkan ini kemudian dimasukan dalam pusat rehabilitasi. Masing-masing orangutan yang diselamatkan itu diharuskan masuk karantina terlebih dahulu, setelah itu bergabung di Sekolah Hutan untuk belajar hidup di alam liarnya.

Sebagai pemakan buah, orangutan merupakan agen penyebar biji yang efektif untuk menjamin regenerasi hutan. Di Indonesia, terdapat tiga jenis orangutan, yakni orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus], orangutan sumatera [Pongo abelii], dan orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis].

Semua jenis orangutan tersebut dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Sementara menurut IUCN, ketiga jenis orangutan ini masuk dalam daftar merah dengan status Kritis [Critically Endangered/CR], atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.

 

Usia 40 Tahun, Orangutan Kalimantan Ini Melahirkan Bayi Keempat

 

Exit mobile version