Mongabay.co.id

Begini Kritik WALHI atas Fatwa MUI soal Pengendalian Iklim

 

Menjelang akhir tahun lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa No.86/2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global. Fatwa yang ditetapkan pada 16 November 2023 itu baru diluncurkan secara resmi pada pekan lalu di Jakarta.

Itu menjadi wujud dari upaya MUI untuk ikut terlibat dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Sebelumnya, lembaga tersebut sudah lima kali menerbitkan fatwa, termasuk fatwa tentang hukum pembakaran hutan dan lahan beserta pengendaliannya, dan fatwa tentang pertambangan ramah lingkungan.

Tetapi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengkritisi penerbitan Fatwa tersebut dengan berbagai penjelasan. Menurut WALHI, fatwa tersebut tidak memiliki posisi yang tegas terhadap perusahaan penyumbang emisi terbesar (carbon major).

Kemudian, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan kalau MUI tidak mengungkapkan dukungan moral keagamaan terhadap berbagai upaya litigasi iklim yang kini telah dan sedang ditempuh oleh masyarakat di Indonesia yang terdampak krisis iklim.

Merujuk pada data yang dipublikasikan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), sebanyak 12 gugatan iklim saat ini sedang berjalan di Indonesia. Termasuk, gugatan dari masyarakat terdampak iklim di pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Gugatan itu dilayangkan oleh empat masyarakat lokal kepada perusahaan semen terbesar di dunia yang berpusat di Swiss. Perusahaan itu sudah memperoduksi lebih dari 7 miliar ton karbondioksida (CO2) sejak 1950 hingga 2021.

Data tersebut dipublikasikan oleh sebuah Lembaga yang berpusat di Swiss, Hilfswerk Der Evangelischen Kirchen Schweiz (HEKS). Selain di Indonesia, gugatan iklim juga terjadi di seluruh dunia, di mana terjadi peningkatan sejak 2017 dengan 500 gugatan, menjadi 2.000 gugatan pada 2022.

Empat warga dari pulau Pari menuntut Holcim untuk tiga hal, yaitu menurunkan emisi hingga 69 persen sampai dengan 2040; membayar dana adaptasi iklim; dan membayar dana loss and damage kepada empat orang penggugat Iklim.

baca : Pertama dari Indonesia, Gugatan Iklim Warga Pulau Pari pada Holcim

 

Tambang nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali sebabkan pencemaran udara dan air berdampak pada Kesehatan masyarakat sekitar. Foto: Walhi Sulteng.

 

Gugatan dari keempat orang itu dilayangkan, karena pulau Pari adalah pulau kecil yang saat ini sudah merasakan dampak perubahan iklim. Di antara dampak serius yang sudah terjadi adalah tenggelamnya daratan pulau yang menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 1.500 orang itu.

Bersama HEKS, WALHI sudah melakukan penghitungan luas daratan yang menghilang dari pulau Pari dan ternyata sudah mencapai 11 persen dari total daratan pulau seluas 42 hektare. Itu berarti, seluas 4,6 ha daratan pulau sudah tidak ada alias berada di bawah permukaan air laut.

Parid kemudian menambahkan, perubahan iklim sudah mengakibatkan warga yang berprofesi sebagai nelayan mengalami penurunan secara signifikan hasil tangkapan ikan. Jika dibandingkan dengan sebelum perubahan iklim datang ke pulau Pari, kondisi saat ini sangat buruk karena terjadi penurunan hasil tangkapan hingga 60 persen.

Fakta itu diungkapkan oleh salah satu penggugat yang juga seorang nelayan tradisional lokal, Mustaghfirin (50). Dia menyebut, penurunan juga terjadi karena banyak jenis ikan laut semakin sulit ditemukan di sekitar wilayah perairan pulau Pari.

Jika dulu, nelayan lokal masih bisa menemukan dan menangkap ikan kerapu dan cakalang dengan mudah, maka saat ini kondisinya sangat jauh berbeda. Hal itu, salah satunya karena disebabkan air laut di sekitar pulau sudah mengalami peningkatan suhu hingga terasa lebih hangat.

“Krisis iklim juga telah menyebabkan banjir rob semakin sering terjadi di pulau Pari. Akibat banjir rob, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungan wisatanya ke pulau,” ungkapnya seperti dilansir WALHI dalam keterangan resminya, pekan lalu.

Tak pelak, situasi tersebut memberi pukulan keras kepada masyarakat lokal yang selama ini sangat bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata untuk bertahan hidup. Pendapatan utama dari dua sektor itu menjadi tulang punggung ekonomi setiap keluarga di sana.

baca juga : Pulau Kecil, Terancam Tenggelam oleh Pertambangan

 

Seorang penambang sedang duduk di salah satu ponton tambang timah laut di sekitar perairan Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bagi WALHI, apa yang terjadi di pulau Pari menjadi gambaran nyata tentang ancaman besar dari perubahan iklim yang kini sedang mengintai pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia. Selain pulau Pari, masih ada enam pulau kecil lain di Kepulauan Seribu yang juga menghadapi ancaman tenggelam.

Dari enam pulau tersebut, pulau Ubi Besar adalah satu-satunya yang berpenghuni dan sudah tercatat sebelumnya ada warga yang memilih untuk pindah ke pulau Untung Jawa menjadi pengungsi. Fakta itu menggambarkan betapa bahayanya ancaman perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dan alam.

Lebih luas lagi, ancaman dari krisisi iklim kepada pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia juga kini sedang terjadi. Pulau-pulau yang menghadapi ancaman perubahan iklim itu, ada yang statusnya berpenghuni dan ada juga yang tidak.

Meski demikian, WALHI tetap menyampaikan apresiasi atas apa yang sudah dilakukan oleh MUI. Fatwa No.86/2023 adalah fatwa yang pertama di Indonesia, atau mungkin di dunia yang mengulas secara spesifik tentang isu krisis iklim.

Sebelum fatwa tersebut, MUI sudah empat kali menerbitkan fatwa tentang lingkungan. Kelimanya, adalah Fatwa MUI No.22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan; dan Fatwa MUI No.04/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem.

Kemudian, Fatwa MUI No.41/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan; Fatwa MUI No.30/2016 tentang Hukum Pembakaran hutan dan Lahan serta Pengendaliannya; dan Fatwa MUI No.86/2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.

baca juga : Fatwa MUI, Mampukah Membunuh Perdagangan Satwa?

 

Kebakaran hutan dan lahan di Desa Sungai Cabang, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tanjung Puting, 5 Oktober 2023. Foto: warga Sungai Cabang

 

Catatan Kritis

Selain apresiasi, WALHI membuat sejumlah catatan kritis tentang Fatwa MUI No.86/2023. Pertama, MUI masih menggunakan istilah pengendalian perubahan iklim global. Kata pengendalian menjelaskan bahwa situasi krisis saat ini suatu kondisi yang mesti terjadi, tetapi kita diminta untuk mengendalikan situasi itu.

Padahal, krisis iklim global saat ini dihasilkan oleh sejarah panjang produksi emisi negara-negara industri serta ratusan perusahaan multinasional, terutama di bidang minyak, gas, batu bara, serta semen. Kejadian terencana dan terstruktur itu tidak bisa diantisipasi dan dikendalikan oleh masyarakat Indonesia.

Dengan kata lain, masyarakat Indonesia adalah korban dari krisis iklim. Itu berarti, penyampaian kalimat menggunakan kata pengendalian dinilai tidak tepat, karena masyarakat Indonesia sudah menjadi korban dan tentu akan kesulitan mengendalikan krisis iklim.

Kedua, dalam poin c materi konsideran, MUI menyebut bahwa krisis iklim berakar pada keterkaitan faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial. Namun tidak disebutkan lebih jelas faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial semacam apa yang menyebabkan krisis iklim saat ini.

Ketiga, tidak ada penjelasan mengenai relevansi dan signifikansi penyebutan ayat, hadits, dan perkataan ulama dalam situasi krisis saat ini. Padahal, MUI mengutip ayat, hadits, dan perkataan ulama dalam kitab terdahulu.

Keempat, MUI menyebut dua cara pengendalian krisis iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi. Namun, MUI melupakan satu hal penting yang telah dibicarakan dalam Conference of The Parties (COP) ke-27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada akhir 2022 lalu, yaitu loss and damage fund.

Loss and damage fund sendiri adalah mekanisme yang didorong oleh gerakan lingkungan hidup global untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang menjadi produsen emisi, serta mendapatkan keuntungan dari mengekstraksi sumber daya alam.

Mekanisme itu penting dilakukan, karena walau mitigasi masih dapat dijadikan cara melawan krisis iklim, namun adaptasi dinilai semakin tidak relevan lagi. Contohnya, bagaimana masyarakat pesisir yang desa atau pulau kecilnya tenggelam harus beradaptasi, sementara rumah dan ruang hidupnya telah hilang.

“Dengan demikian, fatwa ini tidak mempertimbangkan konsensus internasional, terutama soal loss and damage fund,” urai WALHI.

baca juga : Kala Nelayan dan Petani Terdampak Perubahan Iklim

 

Masjid Desa Toseho, Tidore Kepulauan, Maluku Utara yang tenggelam bila air laut pasang karena pesisir pantainya terdampak abrasi parah. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Kelima, pada ketentuan hukum, khususnya poin 2 disebutkan bahwa deforestasi yang tidak terkendali adalah haram hukumnya. Penyebutan kalimat tersebut dinilai janggal, karena jika deforestasi yang terkendali bisa berarti hukumnya tidak haram.

Itu berarti, bisa diambil kesimpulan dari ketentuan hukum tersebut, bahwa bahwa kegiatan seperti tambang ilegal adalah tidak boleh karena haram. Namun sebaliknya, jika kegiatan tambang memiliki izin resmi alias legal, maka itu diperbolehkan karena masuk kategori bisa dikendalikan.

Keenam, pada ketentuan hukum, khususnya poin 3 huruf c disebutkan semua pihak wajib melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan. Lalu, pada poin 9 ketentuan umum, disebutkan transisi energi berkeadilan adalah transisi menuju sistem energi bersih nir karbon dengan mempertimbangkan sisi keadilan yang di dalamnya memasukan aspek sosial di dalam proses dan implementasinya, dan memastikan masyarakat dapat berdaulat atas sumber energinya.

Menurut WALHI, definisi nir karbon harusnya dimaknai oleh MUI lebih luas lagi, mencakup upaya pengurangan drastis pada keseluruhan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi pada krisis iklim. Merujuk pada ketentuan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), itu mencakup CO2, Metana (CH4), Nitro Oksida (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulfur hexafluoride (SF6).

Ketujuh, fatwa dinilai tidak mempertimbangkan prinsip common but differentiated responsibilities. Lantaran, poin 3 huruf c pada ketentuan hukum yang berisi ajakan untuk mengurangi jejak karbon kepada semua pihak dinilai sangat tidak adil.

WALHI menilai, penghasil jejak karbon terbesar sampai saat ini tetap dikuasai oleh orang-orang dengan kekayaan harta yang besar. Mereka ini adalah yang bisa memiliki konsesi sawit dan atau tambang di hutan, atau laut dengan luasan sangat besar dan masa konsesi yang sangat panjang.

Sementara, tentang ketimpangan penguasaan sumber daya alam justru tidak dilihat dan dirujuk dalam penyusunan fatwa ini.

baca juga : Gelombang Panas dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

 

Pembukaan hutan untuk tambang nikel di Pulau Wawonii. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Kedelapan, pada poin rekomendasi huruf b, MUI mendorong pemerintah untuk mengembangkan ekonomi hijau yang berkeadilan. Terkait hal ini, WALHI telah melakukan kritik terhadap sejumlah paradigma ekonomi yang selama ini berkembang di dunia, di antaranya kritik terhadap ekonomi hijau dan ekonomi biru.

WALHI melihat, baik ekonomi hijau maupun ekonomi biru, sama-sama merupakan bagian dari kapitalisme global yang mendorong eksploitasi sumber daya alam, baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, WALHI menyusun satu konsep ekonomi yang menjadi antitesis terhadap kedua paradigma ekonomi tersebut, yaitu ekonomi Nusantara

Pada akhirnya, konsep ekonomi hijau penting untuk kembali dipertanyakan secara mendasar.

Kesembilan, MUI tidak memasukkan poin yang mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim kepada masyarakat. Poin itu tidak ada dalam rekomendasi untuk pemerintah pusat.

Di antara peraturan perundangan yang dapat disebut adalah Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja, UU No.3/2020 tentang Perubahan atas UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara.

Alih-alih menyebutkan tiga peraturan perundangan tersebut, MUI justru hanya mendorong pemerintah pusat untuk melakukan percepatan dalam pembentukan regulasi yang berkaitan langsung dengan krisis iklim.

Kesepuluh, MUI juga tidak memasukkan poin yang mendesak parlemen untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi masyarakat. Rekomendasi itu dinilai seharusnya ada untuk legislatif.

Seperti poin kesembilan, MUI hanya mendorong parlemen untuk melakukan percepatan dalam pembentukan regulasi yang berhubungan langsung dengan perubahan iklim dengan memuat prinsip-prinsip dan asas keadilan iklim. Namun, MUI tidak menjelaskan secara detail apa itu prinsip dan asas-asas keadilan iklim.

 

PLTU batubara Suralaya di Banten. Foto: Greenpeace

 

Kolaboratif

Melalui keterangan resmi, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI Hayu Prabowo mengatakan bahwa untuk mengendalikan perubahan iklim diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak, baik Pemerintah mau pun masyarakat umum.

Dia menyebut kalau perubahan iklim dan pemanasan global disebabkan oleh berbagai faktor yang membuat cuaca menjadi ekstrem, memicu kemarau berkepanjangan, curah hujan dan permukaan air laut menjadi naik.

Saat fatwa disusun oleh tim, komisi fatwa bersama lembaga pengusul melakukan kunjungan lapangan untuk mengumpulkan bukti empiris tentang penyebab dan dampak perubahan iklim di lapangan. Selain itu, dilakukan diskusi kelompok terpumpun (FGD) dengan melibatkan beragam pemangku kepentingan, dan rujukan ilmiah. (***)

 

 

Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Kehidupan Kita

 

 

Exit mobile version