Fatwa MUI, Mampukah Membunuh Perdagangan Satwa?

Langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk merilis sebuah fatwa yang bertujuan melindungi satwa langka Indonesia, memang bisa dianggap sebuah terobosan baru di Indonesia. Pendekatan religi untuk menekan angka perburuan dan kematian satwa melalui Fatwa No.4 Tahun 2014 Tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem ini dinilai sebagai salah satu jalan keluar untuk menjaga keseimbangan manusia dengan alam di sekitarnya.

Upaya MUI untuk mengeluarkan fatwa ini sendiri memang dilandasi tidak hanya semata pendekatan agama, proses penerbitan fatwa ini sempat diawali dengan beberapa kunjungan lapangan. Salah satunya adalah ke Taman Nasional Tesso Nilo yang dilakukan oleh tim fatwa ini pada tanggal 30 Agustus 2013 hingga 1 September 2013 silam yang terdiri dari KH Dr. Ma’rifat Iman, Prof Nahar Nachrowi, KH Nasir Zubaidi, Prof Amany Lubis dan Dr Hayu Prabowo (Ketua Pusat Pemuliaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam, MUI).

Dalam kunjungan ini, tim sempat melakukan perjalanan dan berjumpa dengan sejumlah pakar konservasi seperti BKSDA, Jikalahari, Kejaksaan Tinggi Riau, MUI Riau, Universitas Nasional, Forum Harimau Kita, dan juga dengan tim WWF di Riau. Selain itu, dalam perjalanan ini tim fatwa ini juga sempat bertemu dengan penduduk yang tinggal di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo, terkait semakinmaraknya aktivitas satwa yang memasuki perkebunan dan wilayah yang mereka tinggali akibat hilangnya habitat asli mereka.

Dalam fatwa MUI ini disebutkan bahwa satwa langka boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan sesuai dengan ketentuan syariat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemanfaatan satwa langka antara lain dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem, menggunakannya untuk kepentingan ekowisata, pendidikan dan penelitian, menggunakannya untuk menjaga keamanan lingkungan, serta membudidayakan untuk kepentingan kemaslahatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain perlindungan terhadap satwa, Fatwa ini secara khusus menyerukan kepada pemerintah untuk meninjau izin yang dikeluarkan kepada perusahaan yang merusak lingkungan dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi spesies yang terancam punah.

Ketua Dewan Ulama bidang lingkungan dan sumber daya alam, Hayu Prabowo mengungkapkan fatwa ini dikeluarkan untuk memberikan penjelasan, serta bimbingan, kepada seluruh umat Islam di Indonesia pada perspektif syariah hukum yang terkait dengan masalah konservasi hewan.

Lahirnya fatwa ini sendiri kemudian disambut positif oleh banyak pihak. Tak hanya di level nasional, namun juga meraih tanggapan positif dari sejumlah lembaga internasional seperti National Geographic.

“Langkah ini belum pernah terjadi sebelumnya di lakukan organisasi ulama, yang menyatakan perburuan liar atau perdagangan ilegal satwa langka menjadi dilarang,” ujar Reporter National Geographic Bryan Christy pada hari Rabu 4 Maret 2014 silam kepada Republika.

Menurut dia, fatwa itu adalah seruan kepada umat Islam untuk bertindak. Menjalankan ayat-ayat Alquran, yang meyakini Tuhan menjadikan hewan bagian dari jenis yang pertama diciptakan di dunia.

Salah satu lembaga konservasi yang ikut terlibat dalam lahirnya fatwa ini, WWF Indonesia menilai bahwa fatwa yang ditujukan sebagai pelengkap Undang-Undang yang memiliki kekuatan hukum ini merupakan yang pertama di dunia.

Taring beruang madu yang berhasil diamankan dari rumah tersangka. Barang bukti kini ada di BKSDA Kalbar. Foto: Andi Fachrizal
Taring beruang madu yang berhasil diamankan dari rumah tersangka. Barang bukti kini ada di BKSDA Kalbar. Foto: Andi Fachrizal

Efektifkah Menekan Kejahatan Satwa?

Dibalik langkah progresif yang dilakukan oleh MUI tersebut, pada kenyataannya memang kejahatan perdagangan satwa masih terus terjadi di Indonesia. Bahkan kecenderungan ini semakin meningkat, baik dalam kuantitas maupun dalam modus operandi yang dilakukan.

Menurut catatan ProFauna yang dirilis tahun 2009 silam  dalam Survey terakhir ProFauna Indonesia di 70 pasar burung yang dilakukan pada 2009 menemukan ada 183 ekor jenis satwa dilindungi yang diperdagangkan. Dari 70 pasar burung/lokasi yang dikunjungi di 58 kota tersebut, tercatat ada 14 pasar burung yang memperdagangkan burung nuri dan kakatua, 21 pasar memperdagangkan primata, 11 pasar memperdagangkan mamalia dan 13 pasar memperdagangkan raptor (burung pemangsa). Selain itu tercatat ada 11 pasar lokasi yang memperdagangkan jenis burung berkicau yang dilindungi.

Sementara di Bali, kasus satwa yang menonjol adalah kasus perdagangan penyu. Meski jauh menurun dibandingkan sebelum tahun 2000, namun penyelundupan penyu ke Bali masih terjadi secara sembunyi-sembunyi. Salah satu kasus yang terungkap adalah kasus tertangkapnya nelayan yang hendak menyelundupkan 7 ekor penyu ke Bali pada tanggal 30 Mei 2009. Di Bali juga masih ada sedikitnya 6 lokasi yang memelihara penyu secara ilegal atas nama pariwisata. Lokasi tersebut adalah terpusat di Tanjung Benoa. Ini membuktikan bahwa Bali masih menjadi tujuan utama perdagangan penyu di Indonesia.

Modus operandi pun kini merambah ke dunia maya, dimana angka perdagangan satwa lewat situs internet makin kerap terjadi.

Masih dari laporan yang dihimpun ProFauna ada 22 jenis satwa langka dalam 220 iklan yang disebarkan secara online pada bulan Januari 2014 melalui Forum Kaskus. Jenis satwa yang diperjualbelikan termasuk diantaranya adalah penyu sisik, gading gajah, kukang, lutung Jawa, elang Jawa, kulit harimau, burung cendrawasih, kucing hutan, surili, kakatua raja dan trenggiling. Harga yang ditawarkan sangat bervariasi, mulai dari 200 ribu rupiah untuk seekor kukang, 2 juta rupiah untuk elang Jawa, hingga mencapai 3 juta rupiah untuk seekor siamang. Perdagangan satwa ini tersebar di berbagai kota, yaitu di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Banten, Solo, Batam, Semarang, Banda Aceh dan Medan.

Perdagangan melalui situs Kaskus ini, baru berhenti setelah pihak Kaskus bersedia untuk tidak lagi memuat barang-barang yang dihasilkan dari satwa atau bahkan satwa itu sendiri dalam forum jual beli mereka.

Barang bukti perdagangan satwa ilegal di Klaten. Foto: COP
Barang bukti perdagangan satwa ilegal di Klaten. Foto: COP

Kontrol dan Sanksi Hukum Tetap Utama

Langkah MUI saat ini memang patut  diacungi jempol, namun dengan kondisi perkembangan masyarakat urban yang terus berkembang ke arah ekonomi uang, dan mendasarkan tingkat kesuksesan atas capaian finansial, plus semakin tingginya angka inflasi di negeri ini. Tekanan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menjadi yang utama. Kecenderungan yang ada, masyarakat urban, yang merupakan mayoritas pelaku perdagangan satwa ini, menempatkan indikator terukur duniawi dalam aktivitas mereka. Kondisi ini membuat pentingnya peran hukum dalam penanganan kejahatan perdagangan satwa ini tetap menjadi yang utama.

Ditambah lemahnya hukuman yang diberikan pada pelaku perdagangan satwa (jikapun tertangkap) membuat para pelaku tidak jera untuk kembali mengulang pelanggaran ini. Sementara peranti hukum yang disediakan pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang mengancam setiap pelaku dengan penjara selama 5 tahun dan denda 100 juta rupiah lebih banyak tak berdaya, akibat tak terlacaknya aktivitas di lapangan.

Fatwa dan pendekatan hukum Tuhan memang penting, namun harus diingat bahwa saat penjara sudah tak mempan bagi pelaku, maka kecil kemungkinan hukum Tuhan ini yang  sanksinya dianggap masih sangat jauh di masa depan, akan mampu menakuti para pemburu dan pedagang. Pengawasan, penegakan hukum yang kuat, serta sanksi sosial, tetap menjadi senjata utama yang seharusnya bisa menakuti para pedagang dan pemburu satwa jika dilakukan dengan semestinya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,