Mongabay.co.id

Perluasan Perkotaan Berdampak Buruk pada Vertebrata Darat di Jakarta

 

Urbanisasi yang melahirkan terjadinya perluasan perkotaan berdampak besar terhadap menurunnya vertebrata darat seperti amfibi, mamalia dan burung di Jakarta. Bahkan, mirisnya beberapa jenis spesies satwa endemik Jawa yang dulunya pernah ada, seiring berjalannya waktu kini keberadaannya sudah sulit dijumpai.

Ady Kristanto,Koordinator Jakarta Birdwatcher’s Society menilai, perluasan perkotaan yang diakibatkan oleh urbanisasi berdampak besar terhadap ruang hidup hewan-hewan tersebut.

Fragmentasi habitat disebut menjadi penyebab utama penurunan bahkan hilangnya keanekaragaman hayati yang sebelumnya pernah ada di daerah berpenduduk sekitar 10,67 jiwa.

Adi mencontohkan, pada kurun tahun 1985-an, ketika kondisi tutupan hutan bakau di pesisir utara Jakarta masih rimbun, membentang dari wilayah Pantai Indah Kapuk hingga Tanjung Priok, hewan primata jenis lutung jawa (Trachypithecus auratus) masih bisa dilihat.

Akan tetapi karena pembangunan perniagaan dan hunian di kawasan utara Jakarta masif terjadi, membuat ekosistem mangrove yang menjadi habitat jenis primata asli Indonesia itu semakin menipis. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7/1999, lutung jawa merupakan satwa yang dilindungi.

“Meski perluasan perkotaan itu bukan satu-satunya faktor, namun dengan semakin sempitnya habitat tersebut tentu berpengaruh besar terhadap populasi mereka, bisa jadi mereka pindah atau bahkan sudah punah,” ujar pria kelahiran Jakarta ini, Selasa (13/02/2024).

baca : Burung, Bioindikator Kualitas Ruang Terbuka Hijau Perkotaan di Jakarta

 

Kawasan pesisir utara Jakarta yang sudah dipadati penduduk. fragmentasi habitat disebut menjadi penyebab utama penurunan bahkan hilangnya keanekaragaman hayati yang sebelumnya pernah ada. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain satwa yang biasa disebut budeng itu, lanjut pria yang pernah mengikuti proyek penelitian habitat mangrove di Muara Angke pada tahun 2006 ini, vertebrata darat lain seperti burung paok pancawarna (Hydromis guajanus) yang berdasarkan catatan dari Symbiose Bird Club tahun 1994-1995 dulunya pernah ada di Condet dan Pasar Minggu.

Namun, selama ia melakukan pengamatan yang dilakukan secara konsisten sejak 2001 di Jakarta itu, ia tidak pernah menjumpai sekalipun burung ras Jawa tersebut. Begitu pula dengan burung srigunting (Dicrurus macrocercus) yang dijadikan lambang Kota Jakarta Timur juga tidak pernah ia lihat.

“Hewan reptil seperti kadal rumput dan berang-berang yang dulunya juga ada. Sekarang sudah tidak tampak lagi,” katanya.

 

Perubahan Fungsi

Yudhistira Satya Pribadi, Analis Hidrologis World Resource Institute (WRI) Indonesia mengatakan, urbanisasi berkembang dan berdampak dalam keterkaitan yang kompleks terhadap keanekaragaman hayati.

Pada umumnya, perkembangan kota ini banyak terkonsentrasi di sepanjang garis pantai dan aliran sungai besar, yang juga menjadi area dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebab akses terhadap sumber air bersih juga kemudahan transportasi terutama di masa dulu menjadikan area ini sebagai pusat kegiatan manusia, sehingga kemudian berkembang semakin pesat dan mendorong proses urbanisasi.

Dengan begitu fungsi alami (hutan) yang merupakan habitat alami bagi keanekaragaman hayati banyak yang berubah menjadi berbagai fitur urban seperti perumahan, pertanian, perkebunan maupun industri yang secara signifikan meningkatkan deforestasi, degradasi tanah dan lahan, hingga fragmentasi serta hilangnya habitat lokal.

Mengacu pada publikasi dari Coalition for Urban Transition, di Indonesia sendiri telah terjadi konversi lahan masif hingga 73% dari lahan pertanian menjadi lahan untuk penggunaan urban selama periode 2000-2014.

Pada priode yang sama, sekitar 10% kawasan hutan juga terkonversi untuk penggunaan urban. “Urbanisasi dapat menjadi ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati bila tidak terkontrol dengan baik,” jelasnya.

baca juga : Elang Bondol, Maskot Jakarta yang Kian Pudar

 

Burung srigunting hitam (Discrurus macrocercus) yang dijadikan lambang Kota Jakarta Timur dulu pernah ada di di Jakarta, kini sudah tidak bisa dijumpai lagi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, menurutnya, konsep solusi berbasis alam (SbA) bisa menjadi alternatif solusi bagi perkotaan dalam menyeimbangkan pembangunan berkelanjutan tanpa mengorban keanekaragaman hayati

Hal ini sejalan dengan SbA yang menekankan fungsi dan peran berbagai elemen dalam membantu mengurangi berbagai permasalahan yang muncul di perkotaan.

Sebagai contoh, keberadaan pepohonan, taman, hingga hutan kota bisa membantu upaya pengendalian polusi udara, mengurangi panas, hingga membantu tata kelola air melalui perluasan infiltrasi air hujan menjadi tempat penampungan air sementara.

Keberadaan berbagai fitur alam tersebut juga bisa menjadi ruang bagi ekosistem dan biodiversitas untuk hidup di tengah perkotaan.

 

Perlu Dihadirkan Kembali

Helmy Zulhidayat, Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengemukakan, untuk memperkenalkan kembali suatu spesies satwa maupun tanaman yang sudah lama menghilang dari Jakarta, perlu dihadirkan kembali habitat maupun kondisi alam yang diperlukan spesies itu.

Hal ini juga sebagai bagian dari upaya dalam memperluas ruang terbuka hijau di Jakarta yang saat ini baru mencapai 33,34 juta meter persegi atau hanya sebesar 5,2%.

Sedangkan bila mengacu pada amanat Undang-Undang No.26/2007 tentang Penataan Ruang, standar ideal proporsi ruang terbuka hijau yaitu 30% dari luas kota.

“Dengan menghadirkan kembali habitat mereka tentu memberikan banyak manfaat lain, seperti amileorasi iklim dan memberikan kesejahteraan bagi manusia,” terang Helmy.

baca juga : Hutan Lindung Angke Kapuk, Tempat Asik Pengamatan Burung di Jakarta

 

Hutan bakau yang masih tersisa di Jakarta Utara. Akibat perluasan perkotaan yang disebabkan oleh urbanisasi mengakibatkan penurunan bahkan hilangnya keanekaragaman hayati di Jakarta. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Baginya, status keanekaragaman hayati di kota-kota besar seperti DKI Jakarta salah satunya memang ditentukan oleh munculnya faktor pendorong dan penekan. Adapun faktor pendorong yang teridentifikasi antara lain terjadinya peningkatan jumlah penduduk, kebijakan pemerintah, lemahnya penegakan hukum, perubahan iklim, dan kondisi riset dan teknologi.

Untuk mewujudkan kelestarian keanekaragaman hayati dan pengembangan nilai manfaat secara berkelanjutan, lanjutnya, pihaknya telah menyusun Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Provinsi DKI Jakarta 2020-2024.

Selain itu, Pemerintah DKI juga telah menyusun dan memperbaharui profil keanekaragaman hayati yang menjadi dasar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di Provinsi DKI Jakarta.

Hal ini dilakukan karena keberpihakan terhadap konservasi keanekaragaman hayati itu sangat penting di tengah ancamannya yang besar. Keberpihakan yang dimaksud adalah dalam bentuk kebijakan politik maupun operasional teknis.

“Kesadaran menempatkan keanekaragaman hayati sebagai pilar sumber daya pembangunan ekonomi dan pemanfaatan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pada generasi saat ini dan mendatang bisa mendorong komitmen politik dan keselarasan kebijakan yang ada,” tambahnya. (***)

 

 

Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia

 

Exit mobile version