- Karena ketergantungannya yang tinggi terhadap pepohonan, burung mampu dijadikan sebagai biondikator kualitas ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan seperti di Kota Jakarta
- Dibandingkan dengan hewan lain, burung lebih mudah diamati. Terlebih sebagian besar data taksonominya dan jenisnya sudah diketahui dan teridentifikasi dengan baik.
- Burung sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman hayati di perkotaan memberikan nilai jasa lingkungan yang tinggi
- Penggunaan komunitas burung sebagai salah satu instrumen alami untuk mengukur kualitas ruang terbuka hijau perkotaan dinilai lebih mudah dibandingkan memakai parameter kimia.
Sebagai makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, keberadaan burung di alam sebagian besar bergantung pada tegakan pohon untuk melakukan aktivitasnya. Bagi mereka pepohonan merupakan sumber penghidupan, lokasi untuk mencari makan, berlindung, serta beranak-pinak.
Karena ketergantungannya yang tinggi terhadap pepohonan tersebut, satwa bertulang belakang yang memiliki bulu dan sayap ini bisa dijadikan sebagai biondikator kualitas ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan, salah satunya seperti di DKI Jakarta.
Walid Rumblat (33), dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, tolak ukur itu didasari karena secara ekologis burung merupakan makhluk yang memiliki banyak karakteristik yang potensial.
Sebagai contoh, distribusi spesies-spesies burung ini bisa dipengaruhi oleh fragmentasi habitat atau parameter struktur habitat lainnya.
Selain itu, dibandingkan dengan taksa lainnya, burung cenderung lebih mudah diamati sebagai objek penelitian. Apalagi sebagian besar data taksonominya sudah diketahui juga teridentifikasi dengan baik.
“Oleh sebab itu, komunitas burung ini bisa menjadi indikator yang baik untuk menilai kualitas lingkungan di perkotaan. Jika di dalam RTH itu terdapat berbagai jenis karakter burung, maka area itu kualitasnya baik,” jelas Walid saat dihubungi, Minggu (28/01/2024).
baca : Hutan Lindung Angke Kapuk, Tempat Asik Pengamatan Burung di Jakarta
Dalam rantai makanan, lanjutnya, burung yang menempati tingkat trofik tinggi yang dapat mencerminkan adanya perubahan pada tingkat trofik di bawahnya. Disisi lain, komposisi komunitas burung itu mencerminkan dinamika interspesifik dan gejala perubahan populasi.
Adapun dinamika interspesifik yaitu persaingan antar spesies untuk mendapatkan sumber daya bersama seperti ruang, makanan dan lokasi bersarang.
Instrumen Alami
Pria pengampu mata kuliah ornitologi yang merupakan cabang zoologi untuk mempelajari burung ini menilai, penggunaan komunitas burung sebagai salah satu instrumen alami untuk mengukur kualitas ruang terbuka hijau perkotaan cenderung lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan parameter kimia.
Hal tersebut dikarenakan proses menggunakan parameter kimia lebih rumit, membutuhkan sarana dan biaya yang relatif besar. Walaupun mudah, akan tetapi penggunaan indikator burung ini ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan.
Diantaranya yaitu pemilihan tipe dan interpretasi guild burung, baik itu guild pakan, asal spesies, strategi reproduksi, peletakan sarang, waktu beraktivitas dan habitat utama.
Berikutnya adalah penghitungan nilai Indeks Komunitas Burung (IKB), dan juga penentuan kategori kualitas lingkungan berdasarkan nilai IKB.
“Untuk burung yang mendapatkan skor paling tinggi yaitu burung yang karakter ekologisnya lebih spesifik, contohnya seperti burung betet biasa. Bila suatu kawasan tersebut hanya diisi burung gereja atau emprit berarti nilanya kecil,” kata dia.
baca juga : Elang Bondol, Maskot Jakarta yang Kian Pudar
Sementara itu, Jihad, Senior Biodiversity Officer Burung Indonesia mengungkapkan, bukan hanya di hutan alami, di hutan perkotaan burung juga mempunyai peran yang strategis. Keberadaannya dapat memastikan sistem ekologis atau regenerasi tegakan pohon-pohon bisa berlangsung secara berkelanjutan, tanpa campur tangan manusia.
Selain itu, burung juga merupakan hewan yang mudah dijumpai di lingkungan dengan vegetasi di berbagai tipe ekosistem.
Dengan begitu bisa menjadi sumber kekayaan hayati yang potensial. Selain itu, sebaran burung juga luas dan beragam, sehingga mempunyai banyak manfaat untuk kehidupan, seperti berperan untuk keseimbangan ekosistem, serta menjadi indikator perubahan lingkungan.
“Komunitas burung di perkotaan itu juga bisa menjadi indikator baik buruknya kualitas perairan. Hal ini karena ada beberapa jenis burung air itu yang tinggal di ekosistem perairan, misalnya di sungai, pesisir maupun danau di perkotaan,” katanya, Senin (29/01/2024)
baca juga : Mengenal 10 Burung Terbesar, Tertinggi, dan Sayap Terlebar di Dunia
Aset Pembangunan
Burung sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman hayati di perkotaan memberikan nilai jasa lingkungan yang sangat tinggi, serta merupakan aset pembangunan yang sangat vital. Untuk itu, diperlukan upaya pengelolaan secara terpadu untuk melindunginya.
Helmy Zulhidayat, Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengatakan, untuk memelihara dan meningkatkan keanekaragaman hayati khususnya burung, pihaknya telah melakukan berbagai upaya. Diantaranya memberi perlindungan atau pemeliharaan terhadap ekosistem alaminya, khususnya ekosistem pantai dan pesisir.
Hal ini penting dilakukan mengingat potensi ancaman yang datang dari pencemaran dan perubahan lahan sangat besar. Padahal, ekosistem tersebut merupakan area yang penting baik bagi burung-burung migran maupun burung yang dilindungi.
“Untuk mengurangi risiko penangkapan burung yang diperjualbelikan, penyadartahuan kepada masyarakat akan pentingnya keberadaan keanekaragaman hayati ini juga diperlukan,” jelas Helmy, Selasa (06/02/2024).
baca juga : Upaya Pelestarian Burung Melalui Kegiatan ‘Birdwatching’ di Pulau Rambut
Pria kelahiran Jakarta itu menilai, sejauh ini adanya RTH di DKI Jakarta terbukti telah memberikan manfaat yang besar. Untuk meningkatkan keanekaragaman hayati di dalamnya, menurut dia diperlukan desain habitat yang memadai bagi burung.
Seperti pemilihan jenis dan habitus tumbuhan yang ditanam. Hal itu penting dilakukan karena pepohonan mampu memberikan pengaruh terhadap berbagai jenis burung.
Untuk itu, katanya, pada RTH perlu ditanami tumbuhan atau pohon yang bervariasi yang bisa dimanfaatkan burung, misalnya seperti pohon buni (Antidesma bunius), salam (Syzygium polyanthum), dan kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis).
“Kekayaan jenis burung itu dipengaruhi oleh keragaman struktur vegetasi. Apabila semakin beragam struktur vegetasinya maka keanekaragaman jenis burung semakin tinggi,” imbuhnya.
Untuk mewujudkan kelestarian keanekaragaman hayati dan pengembangan nilai manfaat secara keberlanjutan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah membuatkan Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati 2020-2024 di wilayah kerjanya. (***)