Mongabay.co.id

Kisah Rumput Laut dan Hilirisasi

 

Komoditas rumput laut masih menjadi komoditas andalan bagi Pemerintah Indonesia untuk menggenjot produksi subsektor perikanan budi daya nasional. Tahun ini, rumput laut difokuskan untuk bisa ditingkatkan produksinya melalui hilirisasi.

Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat belum lama ini.

Dia menyebutkan, rumput laut adalah salah satu komoditas unggulan Indonesia yang memiliki manfaat besar bagi ekonomi, kesejahteraan masyarakat, terutama di pesisir, dan lingkungan. Potensi itu akan semakin membesar, jika rumput laut dikelola melalui hilirisasi.

Tetapi, agar hilirisasi bisa dijalankan dengan baik, harus dilakukan perbaikan terlebih dahulu di bagian hulu, agar produksi dan efisiensi kegiatan budi daya rumput laut bisa meningkat.

Tanpa ada perbaikan seperti itu, dia pesimis kalau produksi rumput laut bisa digenjot berkali-kali lipat dari jumlah saat ini. Untuk itu, dia meyakini kalau perbaikan di hulu menjadi mutlak untuk dilakukan jika ingin mewujudkan kesuksesan hilirisasi rumput laut.

“Hari ini kita menyaksikan target peningkatan produktivitas bukan hal yang mustahil dicapai,” tuturnya.

Hal itu dikatakan Luhut karena dia paham bahwa Indonesia adalah negara produsen rumput laut yang memiliki keunggulan alami, yaitu posisi geografis Indonesia terletak di kawasan katulistiwa, di mana matahari bersinar sepanjang tahun yang mendukung budi daya secara optimal.

Selain itu, kegiatan budi daya rumput laut juga semakin bagus di Indonesia, karena perairan lautnya relatif tenang dan tidak ada badai topan atau tornado.

baca : Hilirisasi Rumput Laut untuk Kemakmuran Banyak Pihak

 

Menko Marves Luhut B Pandjaitan melihat budi daya rumput laut dalam acara “Showcase Piloting Budidaya Rumput Laut Skala Besar” pada Kamis (29/02/2014) di Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Foto : Kemenko Marves

 

Dia mengatakan, potensi rumput laut masih sangat besar, karena saat ini baru seluas 12 juta hektare dari total semua wilayah perairan Indonesia yang sudah dimanfaatkan untuk kegiatan budi daya. Makanya tidak heran, jika produksi rumput laut nasional saat ini dinilai masih belum maksimal.

Sampai sekarang, kegiatan budi daya rumput laut yang ada baru dilakukan pada lahan seluas 102.000 ha atau baru mencapai 0,8 persen saja dari total wilayah perairan laut nasional. Hasil dari produksinya, sebanyak 60 persen masih dikirim untuk ekspor dalam bentuk mentah (raw material) atau biasanya dalam bentuk rumput laut kering, dan dengan hilirisasi yang masih terbatas.

Akan tetapi, dengan luas lahan yang hampir sama, namun dikelola dengan cara hilirisasi, maka kegiatan budi daya rumput laut akan bisa menghasilkan banyak manfaat ekonomi dengan rerata investasi sebesar USD2-2,5 juta. Itu semua, dilakukan dengan sentuhan teknologi terkini yang tepat dan efisien.

Manfaat dari hilirisasi yang berjalan baik, adalah terciptanya lapangan kerja dengan daya serap paling minimal sebanyak 100-150 orang, produksi rumput laut basah mencapai 10-15 ribu ton per tahun. Itu semua setara dengan produksi biostimulant mencakup 1-2 juta ha lahan pertanian.

“Bukan hanya nelayan lombok saja yang akan mendapat manfaat, tapi nelayan di mana saja akan dapat manfaatnya,” terangnya.

Luhut mengeklaim kalau hilirisasi dengan teknologi saat ini sudah berjalan di lahan seluas 100 ha. Upaya tersebut diharapkan bisa semakin mendorong penciptaan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Katanya, dari rumput laut akan bisa dihasilkan produksi biostimulant atau pupuk organik yang dapat membantu masalah subsidi pupuk dan ketahanan pangan. Kemudian, ada juga biodegradable plastic yang dapat mengatasi masalah sampah plastik Indonesia.

Lalu, rumput laut juga bisa menghasilkan bahan pangan seperti pengganti gandum pada mie, yang dapat mengurangi impor gandum. Juga, menghasilkan biofuel yang bisa mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Tetapi, dia mengakui kalau untuk bisa menghasilkan diversifikasi produk yang berasal dari rumput laut itu diperlukan upaya yang ekstra keras dan berkesinambungan. Salah satunya, melalui akselerasi pengembangan industri laut secara komprehensif dan terukur.

baca juga : Beragam Permasalahan Rumput Laut dari Petani hingga Tata Niaga

 

Deretan petak longline budidaya rumput laut di Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur hampir memenuhi seluruh teluk Seriwe. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Proyek Kerjasama

Proyek percontohan itu dilakukan melalui bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP); Sea6 Energy, sebuah perusahaan di Bangalore, India yang bergerak pada industri rumput laut dunia; dan Prospera.

Kemudian, ada juga kerja sama dengan Pusat Penelitian dan Kerjasama Teknologi Kelautan (MTCRC), sebuah pusat penelitian di bidang ilmu dan teknologi kelautan yang dibangun bersama oleh Indonesia dan Korea Selatan.

Lalu, ada juga kerja sama dengan LSM Konservasi Indonesia dan Universitas Mataram di NTB untuk mengevaluasi dampak proyek ini terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, kualitas air, ekosistem lingkungan, dan potensi penyerapan karbon.

Kerja sama tersebut, diharapkan bisa menghasilkan data yang akurat untuk penyempurnaan kebijakan tata kelola rumput laut di masa mendatang. Untuk mendukungnya, Pemerintah akan melaksanakan beragam program akselerasi yang terintegrasi, baik di hulu maupun sisi hilir.

Lebih detail, program percepatan industri rumput laut nasional tak hanya melibatkan KKP dan BRIN, tetapi juga Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, Kementerian Investasi, dan pemerintah daerah.

Beberapa program yang akan dilaksanakan, di antaranya adalah penyediaan bibit berkualitas, pemetaan potensi lahan dengan menggunakan satelit, penyederhanaan perizinan berusaha, riset jenis rumput laut unggul dan kualitas lingkungan, penyiapan aspek sosial ekonomi, peningkatan mutu pengolahan hasil, dan market generation.

“Ke depan, saya meminta kepada semua pihak untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi demi kebangkitan industri rumput laut nasional. Kami percaya bahwa ini akan memberikan manfaat bagi UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah),” terang Luhut.

baca juga : Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim, Petambak Rumput Laut Glacilaria di Bone Budidaya Ikan Nila

 

Seorang nelayan panen rumput laut. Dalam lima tahun terakhir, jumlah petani rumput laut di Desa Seriwe Lombok Timur berkurang. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Program Hilirisasi

Diketahui, KKP memprediksi kegiatan hilirisasi rumput laut bisa mengembangkan potensi senilai USD11,8 miliar yang berasal dari beberapa produk di hilir yang memanfaatkan rumput laut. Namun, potensi tersebut diakui sangat berat untuk diwujudkan.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistyo mengatakan, saat ini sudah disiapkan program dan kegiatan melalui modeling budi daya rumput laut yang terintegrasi dengan industri di hilir.

Agar bisa menghasilkan produksi yang bagus secara kuantitas dan kualitas, KKP melaksanakan program perbaikan benih melalui pengembangan laboratorium kultur jaringan, dan melakukan kegaitan ekstensifikasi kebun starter dan kebun bibit.

Semua itu dilakukan, agar Indonesia tidak lagi memanfaatkan rumput laut dengan dominasi bentuk mentah. Akan tetapi, harus disiapkan produk dengan nilai tambah yang bagus, dan bisa diserap pasar dunia dengan nilai ekonomi tinggi.

Selain cara tersebut, upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sesuai standar mutu juga dilakukan melalui cara budi daya rumput laut yang baik, penanganan pasca panen yang baik yang didukung dengan logistik dan cara distribusi yang baik dan efisien.

Budi Sulistiyo menyebutkan, produksi rumput laut secara nasional pada 2022 sudah mencapai angka 9,2 juta ton. Terdiri dari 61 persen jenis Eucheuma cottonii, 22 persen jenis  Eucheuma spinosum, 15 persen jenis Glacilaria sp., dan dua persen jenis lainnya. Jumlah produksi tersebut menasbihkan Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, mengekori Cina.

Sementara, pada tahun yang sama nilai perdagangan rumput laut di dunia mencapai angka USD 3,7 miliar, dengan Indonesia bisa meraup hingga USD600 juta atau 16 persen terhadap total. Jumlah tersebut juga menasbihkan Indonesia sebagai negara eksportir kedua terbesar di dunia, juga di belakang Cina.

baca juga : Kenapa Rumput Laut Indonesia Kalah Bersaing dari Korea Selatan?

 

Seorang nelayan perempuan membalik rumput laut yang sedang dijemur di Dusun Seriwe, Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Nilai Jual Mahal

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kemenko Marves Firman Hidayat mengatakan kalau hilirisasi akan bisa meningkatkan daya jual rumput laut lebih mahal lagi. Cara itu akan memperbaiki cara sebelumnya yang hanya memanfaatkan rumput laut dalam bentuk mentah dan atau diproduksi hanya bentuk kerajinan atau agar-agar.

Menurut dia, Bank Dunia sebelumnya sudah merilis hasil studi yang menjelaskan bahwa produksi rumput laut melalui hilirisasi akan menghasilkan produk yang beragam dan bernilai ekonomi tinggi. Sebut saja, pupuk organik, kesehatan, dan bioplastik.

“Yang saya highlight di sini utamanya yang biostimulant atau pupuk organik, projeksi sampai 2030 potensi market lebih dari USD10 miliar dan bioplastik potensi market lebih dari USD40 miliar,” paparnya.

Sebagai upaya melaksanakan hilirisasi, kegiatan budi daya rumput laut pada lahan seluas 100 ha di Teluk Ekas, Lombok Timur, NTB, dilaksanakan dengan menggunakan teknologi dan mekanisasi pesawat tanpa awak. Juga, nantinya akan dibangun pabrik bioplastik sebagai perwujudan hilirisasi.

Katanya, kegiatan budi daya rumput laut di seluruh Indonesia baru dilakukan maksimal pada lahan seluas 102.000 ha. Jika pengembangan bioplastik bisa diwujudkan, maka lahan budi daya akan meluas hingga 10 kali lipatnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengapresiasi program percontohan budi daya rumput laut melalui hilirisasi yang berlangsung di Teluk Ekas. Dia berharap, kegiatan tersebut bisa menambah pengetahuan dan kemampuan pembudi daya dalam mengembangkan rumput laut secara modern.

“Selain itu, piloting ini dapat menyerap hasil panen pembudi daya secara maksimal sehingga berimbas pada stabilitas harga dan peningkatan kesejahteraan,” tuturnya.

Menurutnya, KKP juga sudah membangun modeling rumput laut seluas 50 ha di Wakatobi, Sulawesi Tenggara sebagai bagian dari strategi meningkatkan produksi rumput laut secara nasional yang ramah lingkungan. Kegiatan tersebut juga menjadi bagian dari upaya mendorong hilirisasi rumput laut di Indonesia.

baca juga : Fakfak Jadi Sentra Rumput Laut Nasional. Seperti Apa?

 

Sebagian besar warga Lembongan, Nusa Penida, Bali, kembali bertani rumput laut ketika sektor pariwisata ambruk selama pandemi ini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita meyakini kalau kegiatan budi daya rumput laut melalui hilirisasi bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut. Hilirisasi dilakukan dengan meningkatkan utilitas dan kapabilitas industri pangan seperti karagenan, jelly, dan sejenisnya.

“Selain itu, juga mendorong diversifikasi olahan rumput laut menjadi produk biostimulan, plastik biodegradable, dan produk biofuel di masa mendatang,” ucapnya.

Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal mengatakan kalau rumput laut adalah pengubah permainan yang nyata bagi sektor maritim Indonesia.

Tidak hanya untuk makanan dan obat-obatan saja, dia menyebut kalau rumput laut juga bisa menghasilkan produk lain seperti bioplastik dan biofuel. Dia melihat kalau program percontohan di Teluk Ekas menjadi upaya nyata menjadikan rumput laut menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi dan diakui dunia.

Dia mengakui kalau rumput laut menjadi komoditas yang dikenali dengan akrab oleh FAO, karena ada proyek regional untuk manajemen keberlanjutan pada ekosistem laut besar Indonesia (ISLME) dan proyek pendekatan ekosistem untuk budi daya perairan (EAA).

Melalui program-program tersebut, FAO belajar banyak bagaimana bekerja sama dengan nelayan kecil dan membantu mereka untuk bisa berkembang lebih baik lagi, sekaligus menjaga kelestarian laut yang mereka manfaatkan setiap hari.

“Komunitas lokal, dan memastikan semua orang berkembang dalam Ekonomi Biru kita yang indah dengan memanfaatkannya sebaik mungkin,” tandas dia.

baca juga : Cerita Sukses Kosmetik Rumput Laut dan Pelestari Terumbu Karang dari Nusa Penida

 

kondisi dan tekstur warga rumput laut sementara di jemur oleh para pembudi daya. Foto: M Jaya Barends/Mongabay Indonesia

 

Produk Hilirisasi

Berkaitan dengan penerapan kultur jaringan sebagai teknologi pendukung, Pemerintah Indonesia sengaja membangun laboratorium khusus kultur jaringan di enam lokasi yang ada di bawah pengelolaan unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP.

Rinciannya, adalah Balai Besar Perikanan Budi daya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah; Balai Besar Perikanan Budi daya Laut (BBPBL) Lampung; dan Balai Perikanan Budi daya Air Payau (BPBAP) Takalar, Sulawesi Selatan.

Kemudian, dibangun juga laboratorium yang sama di BPBAP Situbondo, Jawa Timur; Balai Perikanan Budi daya Laut (BPBL) Lombok, Nusa Tenggara Barat; dan BPBL Ambon, Maluku.

Pembangunan keenam laboratorium tersebut dilakukan karena metode kultur jaringan dalam pelaksanaannya harus dilakukan di dalam laboratorium. Dengan demikian, proses tersebut tidak akan bergantung pada cuaca atau musim, dan bisa dilakukan sepanjang tahun.

Selain laboratorium, agar rumput laut bisa naik level, diperlukan juga diversifikasi produk yang melibatkan banyak pihak. Salah satunya, masyarakat umum yang kini sudah bisa membuat produk turunan secara mandiri untuk produk pangan.

Kemudian, industri rumput laut juga mulai mengembangkan inovasi dengan pemanfaatan di berbagai bidang seperti food, health, pharmaceuticals, sustainable materials, cosmetics, biostimulant, dan fertilizer.

Selain itu, produk turunan rumput laut juga dikembangkan sebagai hidrokoloid dan dikelompokkan menjadi karaginan (karaginofit), agar (agarofit), dan alginat (alginofit). Bahan-bahan baku tersebut umum digunakan untuk bahan pembantu dalam pembuatan berbagai produk industri baik pangan maupun nonpangan.

Hidrokoloid sendiri adalah komponen polimer yang berasal dari sayuran, hewan, mikroba atau komponen sintetik yang dapat larut dalam air, mampu membentuk koloid, dan dapat mengentalkan atau membentuk gel dari suatu larutan.

Adapun, tiga jenis hidrokoloid yang disebut di atas, dihasilkan dari jenis rumput laut yang berbeda. Untuk karaginan, digunakan rumput laut jenis Eucheuma spp.; agar menggunakan jenis Gracilaria spp.; dan alginat menggunakan jenis Sargassum spp.

Diketahui, perairan laut Indonesia selama ini menjadi habitat pertumbuhan 555 jenis dari sekitar 8.000 jenis yang ada di dunia. Namun, dengan potensi besar tersebut, pemanfaatan rumput laut untuk kegiatan perikanan budi daya masih belum maksimal.

Mulai dikembangkan pada 1967 atau 55 tahun lalu, rumput laut baru berkembang baik pada dekade 1980-an. Saat ini, lahan perikanan budi daya luasnya mencapai 12,3 juta hektare dan yang dimanfaatkan baru mencapai 102 ribu ha atau 0,8 persen. Itu berarti, potensi untuk berkembang masih sangat besar.

Adapun untuk seluruh komoditas kelautan dan perikanan, KKP menargetkan pada 2029 nilai ekspor produk kelautan dan perikanan mencapai USD8,5 miliar dan nilai perdagangan dalam negeri tembus Rp796,93 triliun. (***)

 

 

Rumput Laut Indonesia Terus Berjuang untuk Produksi bagi Dunia

 

Exit mobile version