- Ada dua inisiatif dari kepulauan Nusa Penida, Bali, yang saat ini sedang bergairah dan mendapat perhatian sejak pandemi Covid-19 melanda yang membuat sektor pariwisata mati suri
- Pertama usaha olahan rumput laut untuk meningkatkan nilai ekonomi rumput laut menjadi berbagai produk seperti produk perawatan badan
- Kedua, kelompok anak muda yang melakukan konservasi terumbu karang untuk menjaga ekosistem bawah lautnya terkait dengan ekowisata selam yang jadi unggulan di Nusa Penida
- Di sisi lain ada tantangan mengurangi tekanan pariwisata yang berdampak pada lingkungan di manajemen pengelolaan kawasan konservasi perairan Nusa Penida.
Salah satu dampak baik yang diharapkan dari pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah ekonomi dan lingkungan. Warga mendapat manfaat ekonomi dan kelestarian lingkungan terjaga.
Sejumlah anak muda di Nusa Penida, Bali, merintis usaha pengolahan rumput laut jadi sejumlah produk perawatan kulit dan menggerakkan penambahan tutupan karang di pesisirnya.
Rintisan pertama dari Nusa Lembongan, salah satu gugusan kepulauan Nusa Penida. Ada pasangan Ni Luh Putu Wira Astuti, 42 tahun dan suaminya Nyoman Sudiatmika, 41 tahun membangun usaha kelompok Sandu Care. Keduanya mendapat penghargaan inovasi ekonomi usaha kecil dari Pemerintah Provinsi Bali pada 2022 lalu.
Saat ini di rumahnya, ada deretan produk dengan kemasan menarik seperti sabun cair badan dan tangan berbagai aroma. Produknya sudah dijual di retail toko organik seperti Bali Buda dan Bali Organik. Bahkan saat ini sedang menjalin kerja sama pengembangan produk ke seri perawatan kulit (skin care), seperti day cream, night care, body lotion, dan lainnya dengan perusahaan di luar Bali.
Olahan rumput laut ini tak lepas dari kisah Pandemi Covid-19 pada 2020-2021 lalu. Saat itu keduanya baru saja membangun satu unit villa untuk merespon membludaknya kunjungan turis. Apa daya pandemi datang sementara uang membangun dari ‘uang panas’ atau pinjaman. Dari internet, keduanya mempelajari bagaimana mengolah rumput laut jadi produk non makanan, berikutnya idenya dibantu tim dari Universitas Udayana. Setelah itu ada dukungan juga dari program Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP – CTI) didukung Asian Development Bank (ADB).
“Awalnya uji coba sama suami dari info di google, kemudian dibimbing Unud lab untuk buat sabun cair dari bahan baku rumput laut dua tahun lebih,” jelas Astuti pada akhir Juni lalu. Produk pertama adalah sabun cuci piring dan sabun tangan. Ada juga makanan seperti kerupuk, puding, dan sedotan.
baca : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)
Singkat cerita, kedua pasangan ini akhirnya merasakan hasil kerja keras meningkatkan nilai tambah rumput laut dengan menjual ke pelanggannya. Misalnya selama sebulan ia menjual lebih dari 100 botol ukuran 450-500 ml ke Bali Buda. Jika ditotal, produksi sabun saja saat ini sekitar 250 botol per bulan dengan harga Rp110 ribu. Ia menyebut omzetnya sekitar Rp15 juta per bulan. “Tantangannya banyak, saya hampir menyerah, tapi disemangati suami,” ingatnya. Semua dikerjakan sendiri di bekas villa 3 kamar itu, kadang dibantu sejumlah pekerja lain jika pesanan melonjak.
Suaminya, Sudiatmika bekerja sebagai pegawai PLN. Tidak semua jenis rumput laut bisa dipakai, tergantung umur dan kualitas rumput laut agar ekstraknya bagus. Rumput laut di Nusa Penida dikenal memiliki kekentalan atau jelly yang lebih pekat.
Dukungan dari program COREMAP adalah mesin-mesin pengolah. Sebelumnya ia manual, memerlukan waktu 2-3 hari baru jadi, tapi sekarang 1 hari jadi dengan mesin pengaduk sabun. Ada juga mesin membuat tepung, untuk kerupuk dan puding. Rencana berikut adalah produksi skincare seperti sun cream, body lotion, dan lainnya. Saat dikunjungi, suaminya sedang menandatangani MoU dengan perusahaan kosmetik di Surabaya.
Astuti menyebut pasokan bahan baku aman. Ia sudah memetakan petani rumput laut yang diajak kerja sama di Nusa Penida.
Selama pandemi Covid, sebagian warga di Nusa Penida kembali bertani rumput laut karena usaha pariwisata kolaps. Namun setelah pandemi, mereka kembali bekerja di sektor pariwisata. Hanya sebagian kecil yang masih menekuni rumput laut, yang dulu dikenal sebagai emas hijau dari Nusa Penida.
Hal ini diakui mantan pengepul rumput laut besar Ketut Sudirna. Ia tinggal di Banjar Nyuh, Nusa Penida. Terakhir pada 2019 mampu mengirim 25 ton ke Surabaya. Per minggu 25 ton dengan harga Rp25 ribu per kg. Sedangkan beli dari petani Rp10 ribu. Ia menyebut bisa menghasilkan sekitar Rp10 juta per minggu.
baca juga : Kisah Hilangnya Rumput Laut Nusa Lembongan
Namun, ia akhirnya berhenti jadi pengepul dan banting stir jadi supir di Nusa Penida terutama mengantar turis. Alasannya, harga rumput laut makin mahal dan makin susah didapat. Ia tak bisa memasok dengan stabil ke pembeli besar di Surabaya. “Saya lebih senang jadi pengepul selama 7 tahun dari pada supir. Lebih pasti penghasilannya,” ujarnya. Bahkan di sektor rumput laut, semua warga bisa kerja. Orang tua yang sakit-sakitan kalau tidak bisa ke laut bisa dapat upah dari mengikat, atau mengumpulkan rumput laut sisa disebut munuh. Sekarang jadi supir ia merasa capek sekali.
Mahal dan makin sedikitnya hasil panen rumput laut menurutnya karena mudah rusak atau busuk. Warga menyebut kena ice-ice, karena memutih dan mudah hancur. Sudirna menduga salah satu penyebabnya karena dampak cemaran di laut, misalnya BBM dari aktivitas perairan wisata yang terus meningkat.
Anak muda pelestari terumbu karang
Di sudut lain di Pulau Nusa Penida, tepatnya di Desa Ped, ada sekelompok anak muda menamakan diri Kelompok Nuansa Pulau melakukan pelestarian terumbu karang.
Kelompok ini juga membesar saat pandemi, ketika itu banyak anak muda putus kerja karena dirumahkan. Nyoman Karyawan, printisnya, mengajak anak muda setempat belajar konservasi karang, edukasi sekolah, dan clean up underwater. Proyek pada 2021 adalah pembuatan struktur reefstar. Dari sekitar 300 struktur reefstar, hampir 80% hidup. Dukungan didapat dari COREMAP dan juga donatur lain.
Saat dikunjungi, beberapa anak muda menunjukkan semangatnya membuat transplantasi karang. Selain reefstar dari struktur besi berbentuk bintang atau laba-laba, ada juga stek model tali yang dinilai efektif. Stek koral lebih cepat hidup.
Jenis stek adalah hard coral, acropora karena bisa tumbuh lebih cepat. Mereka melakukan monitoring enam kali sebulan untuk membersihkan koral. Paling berat saat musim sampah laut ketika angin barat di akhir tahun. Ia menunjukkan titik hamparan transplantasi karang berbagai model yang sudah diturunkan, jaraknya sekitar 50-100 meter dari pantai.
perlu dibaca : Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Dideklarasikan sebagai Hope Spot. Apa Itu?
Selain melakukan kegiatan peningkatan kapasitas untuk masyarakat dalam pengembangan mata pencaharian, program COREMAP juga membangun sarana prasarana yang dapat mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Selain menara pandang, ada juga pusat informasi wisata. Ini adalah salah satu sarana yang dibangun di Nusa Penida, dan diharapkan dapat memberikan informasi tentang pariwisata yang berkelanjutan. Pusat informasi ini dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).
I Nengah Bagus Sugiarta, Kepala UPTD Kawasan Konservasi Nusa Penida menyebut sudah ada dua kantor UPTD KKP (kawasan konservasi perairan) yakni di Provinsi Bali dan Nusa Penida. UPTD terbentuk 2019 dikelola Pemprov, sebelumnya UPT Nusa Penida pada 2014 dikelola Pemkab. Berubah setelah ada ketentuan pengelolaan pesisir sampai 12 mil oleh Provinsi.
Program utamanya mengelola kawasan dari perencanaan sampai monitoring dan evaluasi (monev). Kawasan konservasi ini dibagi sejumlah zona seperti pemanfaatan terbatas, nelayan tradisional, wisata bahari, dan zona inti yang tidak boleh ada kegiatan sama sekali selain riset.
Terkait pembatasan turis, belum ada hitung-hitungan pasti. Namun ada kajian di tiap titik populer misalnya Crystal Bay kapasitas maksimal idealnya 75 penyelam per hari. Karena saat ini penyelam yang ingin melihat Mola-mola bisa sampai 200 orang per hari. Sudah ada panduan seperti code of conduct wisata menyelam.