Mongabay.co.id

‘Jala Korupsi di Laut’ Soroti Korupsi Sektor Kelautan di Takalar

 

Pengerukan besar-besaran di Makassar, Sulawesi Selatan telah mengakibatkan eksploitasi laut dan praktik korupsi yang meresap dalam masyarakat, yang tampaknya tak terhindarkan. Privatisasi ruang bawah laut dinilai telah merusak ekosistem dan meningkatkan marginalisasi terhadap nelayan.

Sikap tidak transparan dan tidak bertanggung jawab terhadap sumber daya laut, yang dianggap sebagai objek bisnis semata, hanya mengukuhkan keserakahan dan ketidakadilan yang sudah menjadi ciri sejak awal pembangunan.

Demikian salah satu simpulan dari hasil kajian yang dilakukan oleh Transparansi Internasional (TI)  Indonesia dalam laporan berjudul “Jala Korupsi di Laut: Eksploitasi Sumber Daya Kelautan-Perikanan dan Dampaknya pada Masyarakat Pesisir” yang disampaikan dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan TI Indonesia, di Makassar, Kamis (7/3/2024).

“Dalam konteks korupsi, praktik-praktik tersebut menjadi lumrah dengan budaya yang menganggap korupsi sebagai hal yang biasa, dorongan untuk memperoleh keuntungan maksimal, persepsi terhadap ketidakefektifan sistem hukum, serta sikap tidak mau repot, semuanya mempengaruhi tindakan korupsi,” ungkap Eko Budi Wibowo, salah satu peneliti TI Indonesia dalam paparannya.

Dikatakan juga dalam simpulan laporan yang mengambil studi kasus di Kabupaten Takalar ini, bahwa pada konsep pembangunan modern, nelayan skala kecil bukanlah tokoh utama, tapi justru menjadi penonton di wilayah mereka sendiri. Mereka hanya bisa melihat dengan keterbatasan pembangunan skala besar yang terjadi di wilayah mereka, sambil menyaksikan semua kekacauan yang terjadi yang merampas mata pencaharian mereka.

“Saat ini, kondisinya semakin berubah, di mana stok ikan di laut semakin berkurang dan masyarakat pesisir terpaksa mengubah cara hidup mereka untuk bertahan dalam lingkungan pesisir. Diperlukan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, yang hanya dapat tercapai melalui tata kelola yang transparan dan pengawasan kebijakan yang memihak pada nelayan kecil,” papar Eko.

baca : Kenapa Reformasi Hukum Sektor Kelautan dan Perikanan Sangat Minim Tersentuh?

 

Transparansi Internasional (TI) Indonesia melakukan ekspose kajian terkait korupsi di sektor kelautan di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, di Hotel Universitas Hasanuddin, Makassar, Kamis (7/3/2024). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Selain itu, proyek strategis nasional yang mengambil lahan-lahan nelayan dinilai telah mengakibatkan marginalisasi masyarakat pesisir. Pemanfaatan ruang laut secara ilegal oleh pengusaha bermodal besar tampaknya dibiarkan tanpa pengawasan.

“Kapitalisasi dan sentralisasi budidaya udang yang dikuasai oleh pengusaha besar juga menimbulkan persaingan dengan budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh masyarakat nelayan kecil.”

Fahmi Rizki Fahroji, peneliti TI Indonesia lainnya menambahkan bahwa masalah korupsi dan pengawasan yang lemah menjadi masalah tambahan, seperti yang terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Takalar.

Pihak otoritas dinilai belum memperhatikan keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan, di mana kebijakan ala blue economy, belum memberikan manfaat yang merata bagi seluruh masyarakat dan lingkungan untuk menjaga ekosistem nelayan dan laut.

“Sistem pengawasan dan pemantauan terhadap praktik korupsi di lapangan perlu diperhatikan karena tidak cukup hanya bergantung para pejabat elite yang memiliki jabatan tinggi. Penelitian lebih lanjut tentang bagaimana hal ini dimoderasi di lapangan seharusnya menjadi acuan bagi sektor perikanan yang adil,” bebernya.

Menurut Fahmi, penerapan konsep ekonomi biru di Kabupaten Takalar belum berhasil memberikan manfaat yang merata bagi seluruh masyarakat. Kurangnya transparansi dalam mewujudkan gambaran ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan masih terhalang pada anggapan bahwa ruang laut dianggap sebagai ruang kompetisi terbuka.

Berbagai faktor seperti kesulitan dalam mengakses perizinan, akses modal terbatas, serta ketersediaan BBM bersubsidi merupakan tantangan-tantangan riil yang menjadi perhatian nelayan skala kecil.

“Sejauh ini, kritik terhadap kebijakan ekonomi biru di Takalar, khususnya kebijakan penangkapan ikan terukur, menunjukkan bahwa kebijakan tersebut kurang mendukung semangat keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan serta peningkatan kesejahteraan nelayan kecil.”

baca juga : Korupsi Sumber Daya Alam di Maluku Utara Belum Tersentuh?

 

Nelayan skala kecil bukanlah tokoh utama dalam konsep pembangunan modern hanya menjadi penonton di wilayah mereka sendiri. Mereka hanya bisa melihat dengan keterbatasan pembangunan skala besar yang terjadi di wilayah mereka, sambil menyaksikan semua kekacauan yang terjadi yang merampas mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Di satu sisi, kebijakan ekonomi biru seharusnya memberikan manfaat yang sama bagi seluruh masyarakat termasuk masyarakat nelayan tradisional. Namun, kenyataannya kebijakan tersebut diarahkan pada pengembangan kepentingan ekonomi pada skala besar dan modal yang besar.

Blue economy tak lain hanya berupa paper parks semata yang belum berhasil menciptakan aturan yang membatasi aktivitas manusia yang merusak sumber daya kelautan kita.”

 

Rekomendasi Kajian

Sejumlah rekomendasi dari kajian ini, sebagai langkah konkret yang dapat diambil untuk mengatasi celah regulasi ekonomi biru dan korupsi dalam rantai pasok perikanan, adalah secara ideologis, perubahan perilaku manusia dan manajemen yang efektif diperlukan untuk mengatur penggunaan sumber daya kelautan.

Selain itu, kemauan politik dari seluruh jajaran pemerintahan diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan secara konsisten. Dukungan dari pemangku kepentingan utama, termasuk nelayan dan organisasi masyarakat, penting untuk mencapai kesepakatan dan komitmen bersama.

“Rekomendasi lain, regulasi yang ketat dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah praktik ilegal dan korupsi di sektor perikanan, serta prioritas anggaran dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan perlu ditekankan untuk meningkatkan layanan dasar dan perlindungan lingkungan.”

Selain itu, intervensi budaya dan pemberdayaan masyarakat dalam hal pendidikan, pelatihan, dan manajemen usaha akan memperkuat kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya kelautan secara berkelanjutan.

“Usulan ini tentu memerlukan dukungan dan kolaborasi multipihak, lintas sektor, dan keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan, agar dapat menciptakan lingkungan kelautan dan pesisir yang lebih berkelanjutan dan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia,” tambahnya.

baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

 

Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal TI Indonesia, mengungkapkan bahwa pendekatan kajian ini melalui etnografi dipilih agar dapat memotret realitas kehidupan nelayan yang juga terdampak oleh praktik-praktik korupsi di sektor kelautan serta untuk mendekatkan secara emosional masalah ini kepada pengambil kebijakan.

“Pendekatan etnografi ini dipilih untuk menarasikan dalam perspektif korban yaitu komunitas nelayan,” katanya.

Danang juga mengajak seluruh elemen masyarakat, utamanya kampus dan para mahasiswa untuk mengambil peran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Kita menyadari bahwa korupsi itu merupakan salah satu ancaman terbesar yang saat ini dihadapi oleh bangsa ini, bukan hanya di Jakarta, kita juga menemukannya di sini. Kami mengajak civitas academia di kampus maupun para mahasiswa untuk berpihak kepada masyarakat terdampak sekaligus ambil bagian dari upaya pemberantasan korupsi,” tambahnya.

Prof. Dr. Phil. Sukri Tamma, Dekan FISIP Universitas Hasanudin, menyambut baik riset tersebut dan berkomitmen untuk mengawal upaya pemberantasan korupsi khususnya di Sulawesi Selatan.

“Kami menyambut baik hasil riset ini, dan siap mengawal pemberantasan korupsi di Indonesia, dimulai dari Sulawesi Selatan,” ujarnya. (***)

 

 

Korupsi Proyek Reklamasi, Bisa Terjadi di Seluruh Indonesia

 

 

Exit mobile version