- Pemprov Kepulauan Riau menjadi sorotan publik dalam sepekan terakhir ini, setelah Gubernur Kepri Nurdin Basirun ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT). Nurdin diduga terlibat korupsi dalam proyek reklamasi di Gurindam 12, Kota Tanjung Pinang
- Bentuk korupsi proyek reklamasi di Kepri, yaitu suap perizinan, suap terhadap anggota DPRD terkait peraturan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), dan pengelabuan dokumen Amdal.
- Perilaku korupsi diduga kuat terjadi pada proyek reklamasi yang sedang dan akan dilaksanakan di seluruh Indonesia. Sehingga Pemerintah perlu mengevaluasi seluruh proyek reklamasi di Indonesia
- Selain Tanjung Pinang, proyek reklamasi ada di tempat lainnya di Provinsi Kepri. Proyek tersebut dinilai sudah merugikan masyarakat pesisir dan nelayan, seperti hilang atau menyusutnya ruang tangkapan ikan, meningkatnya tingkat kekeruhan air laut, dan rusaknya ekosistem pesisir dan laut seperti hutan mangrove dan padang lamun.
Proyek reklamasi yang dilaksanakan di seluruh Indonesia sangat rentan dikorupsi oleh para pemangku kepentingan. Indikasi itu terlihat dari kasus megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), dimana Gubernur Kepri Nurdin Basirun dinyatakan terlibat dalam dugaan kasus korupsi proyek tersebut.
Bagi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), pejabat seperti Gubernur Kepri menjadi contoh buruk pelaksanaan proyek berdana besar. Kasus seperti itu sangat mungkin terjadi di daerah yang melaksanakan proyek reklamasi pantai di seluruh Indonesia.
Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Kepri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pekan lalu menjelaskan bahwa proyek reklamasi selama ini berjalan dengan cara-cara yang melanggar hukum, berupa korupsi untuk bisa memuluskan pelaksanaannya.
Ada tiga bentuk korupsi dalam proyek reklamasi seperti di Kepulauan Riau, yaitu suap perizinan dalam izin lokasi dan izin pelaksanaan, suap terhadap anggota DPRD terkait peraturan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), dan pengelabuan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
“Itu adalah wujud koruptif dari proyek-proyek reklamasi,” ujar Marthin dalam rilis yang diterima Mongabay, Minggu (14/7/2019).
baca : KPK Cokok Gubernur Kepulauan Riau atas Dugaan Suap Izin Reklamasi
Proyek reklamasi menjadi ancaman bagi kehidupan nelayan dan lingkungan perairan pesisir, bila Pemprov Kepri tidak mau melindunginya melalui Raperda RZWP3K yang masih dalam pembahasan.
Harapan perlindungan nelayan dan wilayah pesisir tidak terwujud, karena faktanya Raperda RZWP3K justru dibuat tanpa melibatkan partisipasi penuh dari nelayan dan masyarakat pesisir yang menjadi stakeholder utama di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K). Pengawasan Pemerintah terhadap wilayah P3K juga masih sangat rendah.
“Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak melakukan identifikasi kawasan penting dan rentan yang seharusnya direhabilitasi sebagaimana dimandatkan Perpres No.121/2012 tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tegas Marthin.
Menurutnya, agar masyarakat pesisir nyaman dan berdaulat, Perda RZWP3K Kepri harus mengakui ruang penghidupan nelayan dengan memberikan alokasi kawasan tinggal nelayan, lokasi tambatan labuh perahu, ruang tangkap nelayan, dan wilayah budi daya ikan skala kecil.
Sedangkan Ketua KNTI Kota Batam Alimun melihat proyek reklamasi di Kepri memang bermasalah dan itu dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir setempat. Tak hanya di ibu kota Kepri, Tanjung Pinang, proyek reklamasi yang ada di Kota Batam juga dinilai bermasalah.
KNTI Batam sendiri sejak 2016 telah menolak reklamasi yang dilaksanakan oleh pengembang besar Agung Podomoro Grup di Kampung Belian, Kecamatan Batam Kota, karena proyek reklamasi dilakukan secara diam-diam.
“Bahkan, tidak ada konsultasi publik kepada nelayan dan masyarakat luas. Proyek dilakukan hanya untuk menguntungkan kelompok pelaku usaha properti,” ucapnya.
baca juga : Korupsi Reklamasi, Raperda RZWP3K Kepulauan Riau Harus Dibuat Ulang
Selain Batam, KNTI Bintan juga menolak proyek reklamasi di Gurindam 12, Kota Tanjung Pinang, dan proyek pengerukan alur laut yang dilakukan PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) di kawasan ekonomi khusus (KEK) Galang Batang, kawasan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan.
Menurut Ketua KNTI Bintan Buyung Hariyanto, berbagai dampak buruk reklamasi dirasakan masyarakat. Seperti kerusakan hingga kehilangan ruang tangkap nelayan, meningkatnya tingkat kekeruhan air, rusaknya habitat dan ekosistem pesisir yang mencakup hutan bakau (mangrove), padang lamun, dan rumah ikan.
“Selain akibat reklamasi, dampak buruk juga dirasakan akibat dari sumber material reklamasi yaitu penambangan pasir laut maupun tanah-tanah urugan. Semua itu, memberi rasa tidak nyaman bagi masyarakat pesisir dan nelayan yang ada di Kepri. Untuk itu, Raperda RZWP3K Kepri harus menghapuskan kegiatan reklamasi yang ada dan akan ada,” papar Buyung.
Diketahui, Pemprov Kepri memaksakan 114 titik lokasi reklamasi yang tersebar Kepulauan Riau yang kemudian setelah verifikasi oleh KPK berkurang hingga menjadi 42 titik lokasi reklamasi. Dalam draf Perda RZWP3K versi Januari 2019 terungkap, masih terdapat 38 titik reklamasi dari yang akan dilakukan dalam kawasan wisata, permukiman non-nelayan, zona industri, bandar udara, fasilitas umum, hingga zona jasa perdagangan.
Sementara untuk pertambangan, terdapat empat blok tambang mineral berupa pasir laut, mineral serta minyak dan gas yaitu di Blok Karimun, Blok Batam, Blok Lingga hingga Blok Natuna Anambas khusus untuk migas.
menarik dibaca : Anies Terbitkan IMB: Kemunduran Penyelesaian Persoalan Reklamasi Jakarta?
Evaluasi Reklamasi
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Nelayan (KIARA) Susan Herawati mendesak KPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap seluruh proyek reklamasi di 40 lokasi yang ada di Indonesia. Bahkan, pada 2018 KIARA mencatat proyek reklamasi jumlahnya ada di 41 lokasi kawasan pesisir Indonesia.
“Ada banyak persoalan dalam proyek ini, mulai dari penyuapan, pelanggaran hukum, perusakan lingkungan, penghilangan mata pencaharaian nelayan, pencemaran laut, dan lain sebagainya. Dengan kewenangannya, KPK harus memeriksa seluruh proyek ini,” ucap Susan.
Susan menerangkan kasus reklamasi di Kepri menjadi pesan yang sarat makna bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia yang sedang dan akan melaksanakan proyek reklamasi. Pemda jangan mudah memberikan izin reklamasi kepada pengembang pelaksana reklamasi.
“Ini adalah pesan penting untuk seluruh kepala daerah supaya tidak mudah mengobral perizinan reklamasi,” tandasnya.
Diketahui, Nurdin Basirun tertangkap saat KPK melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT) atas dugaan korupsi izin lokasi rencana megaproyek reklamasi Gurindam 12. Proyek tersebut, meski tidak masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RJPMD) Provinsi Kepulauan Riau tahun 2016-2020, namun ternyata masuk kategori proyek besar karena memerlukan dana hingga Rp886 miliar.
Untuk membiayai proyek tersebut, Susan menyebut kalau Pemprov Kepri menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dikucurkan selama tiga tahun. Rinciannya, pada 2018 APBD Kepri mengucurkan anggaran sebesar Rp487,9 miliar, pada 2019 sebesar Rp179 miliar, dan untuk 2020 dianggarkan sebesar Rp220 miliar.
Susan mengungkapkan, dalam mengungkap kasus reklamasi di Kepri, KPK harus bisa mengusut tuntas praktik korupsi perizinan reklamasi di provinsi tersebut, mulai dari unsur pemerintah, pengembang, sekaligus sejumlah perusahaan yang terlibat dalam pertambangan pasir di kawasan ini. Dengan kata lain, ada banyak pihak yang terlibat dalam kasus tersebut dan KPK jangan membiarkan satu pihak pun sampai lolos.
“Semuanya mesti diberikan sanksi, mulai dari Gubernur sampai dengan perusahaan pengembang dan penambang pasir,” jelas dia.
baca juga : Melihat Budaya Bali di Kaus Tolak Reklamasi
Lebih jauh Susan mengatakan, sebelum KPK menangkap Gubernur, Pemprov Kepri diketahui sedang berusaha mendorong pengesahan Raperda RZWP3K untuk dibahas di rapat paripurna DPRD Kepri. Padahal, di dalam draf raperda, diketahui ada beberapa pihak yang mengajukan izin pemanfaatan lahan untuk proyek reklamasi dan berharap bisa diakomodir oleh Perda.
Adapun, sejumlah perusahaan yang selama ini terlibat dalam aktivitas reklamasi di Kepulauan Riau, yaitu PT Guna Karya Nusantara, PT Mitra Tama Daya Alam Bintan, PT Bukit Lintang Karimun, PT Kim Jaya Utama, PT Indospora Bumi Persada, PT Yuliana Jaya, PT Combol Bahari Perkasa, PT Merak Karimun Lestari, dan PT Sarana Trans Sejahtera. Semua perusahaan tersebut, kata Susan, wajib untuk diperiksa oleh KPK.