- Beragam persoalan yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, secara langsung ataupun tidak langsung, ikut memengaruhi posisi masyarakat pesisir yang mendominasi kawasan tersebut. Tak cuma sekarang, persoalan sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun yang lalu
- Di antara persoalan itu, mencakup konflik penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang mempertemukan masyarakat pesisir, nelayan kecil dan tradisional, serta Pemerintah sebagai pemegang kebijakan nasional
- Selain itu, ada juga persoalan masih minimnya penerapan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, sehingga masih belum melindungi penuh masyarakat pesisir
- Ironisnya, dua persoalan tersebut tidak dilihat oleh Pemerintah Indonesia sebagai masalah yang harus dicarikan jalan keluar. Fakta itu muncul karena kedua isu tidak masuk dalam rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dirilis pekan lalu
Pekan lalu, Pemerintah Indonesia resmi merilis dokumen Laporan Tim Percepatan Reformasi Hukum di Indonesia. Laporan tersebut dibuat oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Dokumen berisi 129 halaman itu, disusun selama hampir tiga bulan dengan melibatkan 38 tokoh akademisi dan perwakilan masyarakat sipil yang ada di seluruh negeri. Mereka semua merampungkan dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum.
Kemenko Polhukam membuat dokumen tersebut, agar Pemerintah bisa menyusun agenda prioritas dan rencana aksi untuk membenahi persoalan yang terjadi di bidang hukum. Agenda prioritas itu disusun dengan memperhatikan masukan dari pertemuan konsultatif dengan 18 pimpinan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dan 32 organisasi masyarakat sipil.
Tim penyusun dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 63 Tahun 2023, dengan masa kerja dijadwalkan akan berakhir pada Desember 2023. Tetapi, tim ternyata berhasil menyelesaikan tugas empat bulan cepat.
Sepanjang masa kerja yang berlangsung sejak Juni hingga Agustus 2023, tim berhasil menyelesaikan rumusan masalah, rekomendasi jangka pendek (maksimal September 2024) dan menengah (2024-2029) untuk mereformasi hukum. Total, ada 150 rekomendasi yang berhasil disusun dan diterbitkan untuk kepentingan publik.
Di antara rekomendasi yang diterbitkan, ada yang berkaitan dengan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Penyebutan mereka ada dalam klausul percepatan pengakuan dan/pemulihan hak-hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di dalam dan luar kawasan hutan.
Namun, penyebutan nama masyarakat pesisir dan pulau-pulau yang disebut sebagai bagian dari masyarakat hukum adat (MHA), dinilai masih belum cukup. Sebabnya, ada banyak persoalan yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
baca : 25 Tahun Reformasi, Bagaimana Kondisi Masyarakat Adat?

Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) menyoroti kurangnya perhatian yang ditunjukkan Pemerintah Pusat tersebut. Itu menjelaskan bahwa ada kecenderungan yang berorientasi pada isu-isu daratan (bias darat) melalui laporan tersebut.
“Dan mengabaikan isu-isu perikanan, serta perlindungan nelayan yang sangat penting bagi negara kepulauan seperti Indonesia,” ungkap Koordinator Nasional Marthin Hadiwinata awal pekan ini di Jakarta.
Fakta itu menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia masih mengabaikan urgensi perlindungan nelayan dan masih minim terhadap isu perikanan dan kelautan. Ekomarin membeberkan fakta tersebut ke dalam lima alasan besar.
Pertama, tidak ada satu pun penjelasan atau pembahasan tentang Undang -Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Ketiadaan tersebut dinilai tidak adil, mengingat kehadiran UU tersebut sudah tujuh tahun, namun pelaksanaan di lapangan masih belum optimal.
Terutama, berkaitan dengan aspek perlindungan nelayan, mulai dari aspek perencanaan hingga sarana dan prasarana usaha perikanan. Contoh paling nyata, sebanyak 82,8% nelayan kecil di Indonesia selalu mengalami kesulitan dalam mengakses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Hasil penelitian dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang dipublikasikan pada 2023 itu, juga mengungkap fakta lain bahwa nelayan juga selalu mengalami kesulitan saat mengakses sarana dan prasarana perikanan skala kecil.
“Seperti fasilitas cold storage untuk nelayan kecil dan tradisional, itu sangat sulit diakses,” jelasnya.
baca juga : Mengawal Hukum dan Lingkungan Laut Tetap Adil dan Berkelanjutan

Alasan kedua kenapa sektor kelautan dan perikanan masih sering diabaikan, adalah karena masalah tata kelola sumber daya perikanan belum mendapatkan perhatian. Salah satu buktinya, adalah konflik alat penangkapan ikan (API) yang belum ada solusi, walau sudah berjalan sejak era 1970-an.
Kemudian, masih adanya kecenderungan untuk menjual atau menyewakan sumber daya perikanan yang seharusnya dikelola oleh Negara (privatisasi) kepada publik atau sektor swasta. Contoh tersebut diduga kuat diterapkan pada kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota.
Tak hanya itu, masalah juga bertambah lagi jika membahas tentang pengawasan sumber daya kelautan yang masih lemah, baik pengawasan dari darat atau pun di laut secara langsung. Itu terbukti dengan masih adanya kapal ikan asing (KIA) masuk ke perairan laut Indonesia dan melakukan pencurian sumber daya ikan (SDI) dengan bebas.
“Persoalan-persoalan di atas seharusnya juga menjadi perhatian dalam Tim Percepatan Reformasi Hukum di Indonesia,” tuturnya.
Alasan ketiga, lemahnya penerapan UU No.7/2016 menjadi akar masalah yang muncul pada kemudian hari. Sebut saja, persoalan nelayan kecil dan tradisional di wilayah pesisir yang kesulitan untuk mendapatkan perlindungan hak tenurial yang layak.
Kondisi tersebut memicu terjadinya konflik pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perikanan, dan diprediksi akan terus meningkat di masa mendatang. Kecuali, UU No.7/2016 bisa diterapkan dengan maksimal.
UU tersebut seharusnya bisa menjamin nelayan untuk mendapatkan perlindungan, hak akses, dan ruang penghidupan yang mencakup wilayah/zona menangkap ikan atau budi daya ikan, tempat melabuhkan kapal perikanan, tempat tinggal bagi nelayan kecil dan tradisional, pembudidaya ikan kecil, dan petambak garam kecil.
“Salah satunya, (karena) tidak ada Peraturan Pemerintah yang menjadi turunan dari UU No.7/2016 yang menjadi panduan juga untuk Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menerapkannya,” tegasnya.
baca juga : Nasib Abu-abu Nelayan Tradisional dan Kecil

Isu Krusial
Alasan keempat, tim Percepatan Reformasi Hukum di Indonesia secara jelas dan tegas sudah mengabaikan isu-isu krusial terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan pantai serta pulau kecil.
Contoh nyata itu ada pada Pasal 72 UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, dan perubahan Pasal 26A UU Pesisir dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2/2022 tentang Cipta Kerja.
UU Pesisir yang dimaksud, adalah UU No.1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU ini diundangkan 15 Januari 2014 atau sembilan tahun yang lalu.
Kedua pasal dalam dua aturan yang berbeda itu, menunjukkan kecenderungan Pemerintah untuk memberikan kemudahan investasi di wilayah pesisir dan pulau kecil, yang bisa mengancam keberlanjutan sumber daya tersebut.
Sikap yang diperlihatkan Pemerintah tersebut, menjelaskan bahwa kegiatan yang dinilai sebagai bentuk perilaku pidana oleh seseorang atau sekelompok pihak tertentu, secara afirmasi kemudian diakui sebagai perilaku yang biasa dan tidak mengancam.
Bagi Marthin Hadiwinata, deregulasi itu menunjukkan perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mendorong investasi atas wilayah dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuannya, agar barang milik publik dapat diprivatisasi untuk kepentingan investasi di pesisir pantai.
Alasan kelima kenapa tim masih mengabaikan isu dari kelautan dan perikanan, adalah karena adanya indikasi dorongan untuk memprivatisasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil melalui skema hak atas tanah di wilayah perairan pesisir.
“Pemberian hak tersebut serupa dengan hak pengusahaan perairan pesisir yang sebelumnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” terang dia.
baca juga : Pulau Kecil Memiliki Biodiversitas Tinggi Sekaligus Kerentanan Tinggi

Ia menilai, pemberian hak tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan kepada Pasal 65 ayat 920 Peraturan Pemerintah No.18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Lebih dari itu, jika tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat adat, maka seharusnya pemberian hak dengan merujuk kepada UU. Upaya tersebut dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada hak komunal, bukan hak privat individual yang dapat mengarah pada pendekatan pasar atas hak tersebut.
Walau demikian, Marthin Hadiwinata tetap mengapresiasi kinerja yang sudah diperlihatkan Tim Percepatan Reformasi Hukum selama tiga bulan bekerja dari tujuh bulan rencana kerja. Waktu tersebut dinilai singkat, namun bisa dimaksimalkan oleh tim.
Namun, dia menilai kalau Pemerintah bisa juga fokus untuk mengangkat isu-isu kekinian yang sedang terjadi pada sektor kelautan dan perikanan. Utamanya, karena Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kekayaan alamnya dan rakyat yang bergantung pada sumber daya tersebut.
Rekomendasi Tim
Diketahui, Tim Percepatan Reformasi Hukum beranggota 38 orang yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok kerja (Pokja). Di antaranya, Pokja Reformasi Pengadilan dan Penegakan Hukum, Pokja Reformasi Hukum Sektor Agraria dan Sumber daya Alam, Pokja Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; serta Pokja Reformasi Sektor Peraturan Perundang-undangan.
Menariknya, Pokja Reformasi Hukum Agraria dan Sumber daya Alam yang dipimpin Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo, merekomendasikan pencabutan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang membahayakan ekosistem laut dan kehidupan nelayan.
Kemudian, izin tambang yang ada di pulau-pulau kecil juga direkomendasikan Pokja tersebut untuk segera dicabut. Juga, Pemerintah diminta untuk melaksanakan moratorium izin baru di daerah yang belum ada/memiliki kajian lingkungan (Kajian Lingkungan Hidup Strategis/KLHS) yang jelas.
Rekomendasi pencabutan PP No.26/2023 dan pencabutan izin tambang di pulau-pulau kecil, termaktub dalam rekomendasi agenda prioritas nomor 4 untuk Pokja Reformasi Hukum Agraria dan Sumber daya Alam.
baca juga : Kegiatan Tambang di Pesisir Pulau Kecil adalah Pelanggaran Konstitusi

Detailnya, rekomendasi nomor empat menyebutkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Tanah dan Korupsi SDA yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan fungsi melakukan kajian, identifikasi kasus dan agenda penyelesaiannya.
Satgas ini juga dibentuk dengan tujuan untuk penyelamatan dan pengoptimalan penerimaan negara dari ekspor mineral dan batubara, termasuk melalui pencabutan izin pertambangan yang bertentangan dengan peraturan.
Mengutip laman hukumonline, Wakil Ketua Tim Percepatan Reformasi Hukum Laode Muhammad Syarif meminta kepada Presiden RI Joko Widodo untuk mengerahkan seluruh jajaran yang ada di bawahnya untuk bisa menerapkan semua rekomendasi tim. (***)