Mongabay.co.id

Penangkapan Ikan Berkelanjutan dan Kesejahteraan Nelayan: Manfaat Sertifikasi MSC di Maluku

 

Indonesia adalah negara penghasil tuna terbesar di dunia, dengan jumlah produksi sekitar 16% dari total pasokan tuna dunia. Berdasarkan data KKP, pada 2021 Indonesia menangkap 791.000 metrik ton tuna, termasuk cakalang, sirip kuning, dan tuna makarel (Euthynnus affinis), dengan nilai total sekitar Rp22 triliun ($1,4 miliar).

Salah satu daerah penghasil perikanan tangkap ikan tuna adalah provinsi Maluku. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ada 51.253 ton produksi tuna dari Maluku pada tahun 2021.

Namun, penangkapan ikan tuna dari alam yang berlebihan selama ini telah menyebabkan praktek perikanan yang tidak berkelanjutan.

Untuk mempertahankan tingkat produksi tuna yang berkelanjutan, pemerintah mendorong lebih banyak perikanan tuna untuk mencapai sertifikasi keberlanjutan dan pelabelan lingkungan (eco-labeling).

Hal itu menjadi fokus Marine Stewardship Council (MSC) untuk mengimplementasikan program pengelolaan perikanan berkelanjutan kepada pemerintah dan nelayan di Indonesia yang akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat, keberlanjutan ekosistem dan devisa negara.

MSC sebagai salah satu organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang sertifikasi penangkapan ikan laut (wild catch) berkomitmen meningkatkan pasokan, perdagangan dan ketersediaan makanan laut yang bersertifikat, yang mudah dilacak, dan berkelanjutan untuk membuat perubahan sebagai bagian dari program international Leaders for a Living Ocean Alliance.

Program ekolabel dan sertifikasi perikanan dari MSC berbasis sains, dimana makan laut harus berasal dari perikanan bersertifikat standar perikanan MSC. Standar tersebut dikembangkan melalui konsultasi dengan berbagai pakar termasuk ilmuwan, industri perikanan, dan kelompok konservasi serta lainnya. Standar ini ditinjau setiap lima tahun untuk memastikan praktik terbaik internasional dalam pengelolaan dan ilmu pengetahuan perikanan.

Sertifikasi sektor perikanan ini untuk memastikan, stok ikan bersifat berkelanjutan, terdapat cukup ikan yang tersisa di laut untuk berkembang biak. Kemudian dampak lingkungan diminimalkan, operasi penangkapan ikan harus dikelola secara hati-hati untuk menjaga struktur, produktivitas, fungsi dan keanekaragaman ekosistem laut. Selanjutnya pengelolaan yang efektif, dimana perikanan harus mematuhi undang-undang yang relevan.

baca :  Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Para nelayan kecil penangkap ikan tuna di Dusun Air Panas, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu di perairan Provinsi Maluku. Foto: Irfan/Ketua Kelompok Nelayan Tuna di Dusun Air Panas

Usmawati Anggita Sakti, Commercial Communication Officer MSC kepada Mongabay Indonesia di Ambon, pertengahan Januari lalu mengatakan, salah satu ikhtiar yang juga dilakukan MSC yakni, melacak dan memantau dampak upaya gabungan perikanan bersertifikat terhadap stok ikan, praktik penangkapan ikan dengan alat ramah lingkungan, dan pengelolaan perikanan agar tidak overfishing.

“Jadi memang seperti itu standar sertifikasi yang kami lakukan. Analisis kami menunjukkan bahwa praktek perikanan bersertifikat menghasilkan perbaikan dalam pengelolaan perikanan,” jelasnya.

Karena itulah MSC juga mendampingi Kelompok Nelayan Dusun Air Panas, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.  MSC tidak saja mendukung kesejahteraan para nelayan, namun juga memberikan edukasi terkait penangkapan ikan berkelanjutan, kemudian sebagai lembaga yang memonitoring kegiatan tersebut.

Dukungan oleh MSC berupa berbagai program training untuk memberikan pemahaman bagi nelayan terkait perikanan berkelanjutan sesuai standar penangkapan agar diakui oleh lembaga internasional dengan melibatkan Perusahaan Asosiasi Perikanan Indonesia, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan KKP.

“Kalau tidak pakai standar seperti itu, lalu bagaimana mereka mau jualan,” ujarnya.

Perikanan berkelanjutan tidak bisa hanya dilakukan oleh nelayan, lanjutnya, tetapi juga komitmen seluruh pihak, termasuk pemerintah, industri  perikanan dan asosiasinya. Oleh karena itu, MSC telah bekerjasama dengan KKP dan pemangku kepentingan terkait lainnya sejak 2019 juga untuk mengembangkan Program Perbaikan Perikanan (fisheries improvement project/FIP).

“Program sertifikasi ekolabel MSC bermanfaat bagi upaya menjaga keberlanjutan perikanan. Selain itu membuka akses pasar secara global,” ujarnya.

baca juga : Kekhawatiran Nelayan Tuna Maluku Utara dengan Kapal Ikan PMA

 

Para nelayan tuna di Dusun Air Panas, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, saat mengejar ikan tuna di perairan Provinsi Maluku. Foto: Irfan/Ketua Kelompok Nelayan Tuna di Dusun Air Panas

 

Program Sertifikasi MSC

Herman Fisheries Manager Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) menjelaskan masuknya program perikanan berkelanjutan, mempengaruhi seluruh rantai perikanan termasuk ke nelayannya. Sehingga standar sertifikasi harus diperoleh para nelayan.

“Memang ada produk yang non sertifikasi MSC, namun kalau ada standar tersebut nelayan bisa bergerak dengan baik. Intinya kita ingin mereka sejahtera, dengan cara membedakan mereka dengan yang lain yaitu dengan program sertifikasi,” katanya.

Untuk program sertifikasi ini, AP2HI harus bekerjasama dengan Internasional Pole and Line Foundation Indonesia. “Kalau produk nelayan sudah premium dengan sertifikasi, maka mereka akan sejahtera,” jelasnya.

Untuk sertifikasi ini harus memenuhi tiga standar, yakni stok ikan yang lestari, meminimalisir dampak lingkungan atau habitat, dan manajemen atau pengelolaan perikanan yang efektif. Terkait stok ikan lestari, katanya, secara pengelolaan perikanan harus punya dokumen strategi pemanfaatan.

“Untuk menciptakan strategi pemanfaatan ini harus ada data, seperti data biologi ikan. Makanya AP2HI melaksanakan program data koleksi untuk mendukung hal dimaksud,” katanya.

Dia mengatakan, terkait dengan data tersebut memang dibuat oleh negara, namun AP2HI harus mendukung negara untuk menyiapkan data-data tersebut. Data koleksi ini dimulai dari 2014. Sebelum program MSC pada 2021, pihaknya sudah melakukan program perbaikan tersebut.

Selanjutnya standar meminimalisir dampak habitat, misalnya tangkapan sampingan tuna itu tidak lebih dari 2% atau 5%.  Kalau handline hanya menangkap cakalang atau tuna, itupun dengan jumlah yang kecil. Dampak lingkungan lain juga yakni hewan-hewan yang terancam punah.

“Kita sampaikan ke nelayan, hewan-hewan yang dilindungi dan terancam punah, yang ada hubungannya dengan rantai makanan tuna, seperti kelompok penyu, paus, juga burung untuk tidak ditangkap secara sengaja,” jelasnya.

Bila nelayan tidak sengaja menangkapnya, maka harus segara dilepaskan kembali ke habitatnya. AP2HI, katanya, juga ikut mensosialisasi ihwal tersebut ke para nelayan, termasuk di Dusun Air Panas.

baca juga : Tuntutan Perikanan Tuna Global Makin Ketat Terkait Ketelusuran dan Aspek Ekologisnya

 

Ikan tuna berukuran besar hasil tangkapan nelayan di Maluku Utara seperti ini sudah semakin jarang didapat. Foto : MDPI

Sementara untuk standar yang ketiga, sebisa mungkin ada kolaborasi di Indonesia, baik dengan pemerintah daerah, swasta maupun lainnya, agar kebijakan pengolahan perikanan bisa dilaksanakan.

Dia mengatakan, di Dusun Air Panas terdapat 33 nelayan kecil yang tergabung pada Januari 2024. Sudah tiga tahun mengantongi sertifikat MSC setelah mendapat pendampingan dari AP2HI.

“Awalnya sangat sulit ketika melakukan pendampingan para nelayan untuk memenuhi standar perikanan berkelanjutan. Mereka menolak lantaran menganggap berbagai proses yang dilakukan menyulitkan nelayan,” kisahnya.

Namun berbagai upaya terus dilakukan oleh AP2HI, termasuk menempatkan staf yang berasal dari masyarakat lokal agar mudah melakukan pendekatan kepada nelayan untuk melakukan sertifikasi perikanan berkelanjutan.

“Mereka lalu tertarik untuk merasakan keberlanjutan menangkap ikan dan menuai manfaat kesejahteraan dari akses pasar, kestabilan harga dan bahkan harga premium, karena mampu menembus pasar global,” katanya.

Bahkan dari berbagai upaya keras tersebut, Dusun Air Panas, Desa Tulehu, ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, masuk dalam 79 Kampung Nelayan Maju (Kalaju) pada 2023 lalu.

“Karena mau berusaha, makanya mereka dapat prestasi. Prestasinya sangat besar, mereka bisa memenuhi MSC tingkat global, kemudian Kalaju di tingkat nasional. Kalaju di Indonesia hanya 76 desa, mereka memenuhi standar MSC,” katanya.

baca juga : Pengelolaan Stok Tuna Berkelanjutan Berbuah Sertifikat MSC

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurungkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

Manfaat untuk Nelayan

La Irfan, Ketua Kelompok Nelayan Tradisional Tuna Dusun Air Panas mengaku mereka mulai merasakan dampak ekonomi yang lebih baik dengan hadirnya MSC. Sebelumnya hasil melaut mereka hanya dijual begitu saja ke konsumen dengan harga yang tidak terlalu mahal.

Sebelum masuknya MSC, katanya, keberadaan nelayan di Dusun Air Panas tidak dikenal oleh lembaga terkait, seperti pemerintah provinsi maupun pusat. Kini mereka telah dikenal luas, bukan saja pada level daerah, namun juga global.

Dia mengatakan MSC telah melakukan banyak hal, seperti edukasi, termasuk cara bagaimana mengatur keuangan hasil dari aktivitas nelayan.

“Setelah adanya sertifikat MSC, kami nelayan Dusun Air Panas lebih banyak tahu tentang berbagai peraturan menyangkut perikanan. Jadi bagaimana kita menangkap ikan secara berkelanjutan, seperti ramah lingkungan dan melindungi berbagai jenis mamalia laut yang dilindungi undang-undang,” ujarnya.

Bahkan mereka pernah mengusir nelayan dari pulau lain yang datang berburu lumba-lumba di Nusa Laut. Mereka juga melarang warga melakukan penangkapan ikan menggunakan bom demi kelestarian lautnya.

Sementara Rusdi Makatita, Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Provinsi Maluku mengapresiasi MSC, karena selama ini telah memberikan pembinaan terhadap nelayan di Maluku, terutama untuk perikanan tuna.

Dia mengatakan, kehadiran MSC telah memberikan dampak positif dengan program sertifikasi tangkapan ikan tuna. Hal itu merupakan keinginan pemerintah agar produk perikanan tuna yang berasal dari WPP, baik WPP 714, 715 maupun 718, bisa memberikan nilai kontribusi terbesar untuk pertumbuhan ekonomi, khususnya nelayan perikanan tuna yang ada di Provinsi Maluku.

Saat ini, lanjutnya, Pemprov Maluku mempunyai kebijakan prioritas untuk menyediakan penerbangan langsung untuk ekspor melalui pesawat, salah satunya ke Jepang.

baca juga : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kuntoro Kusno, Direktur PT Aneka Sumber Tata Bahari mengatakan, kehadiran MSC melalui program sertifikasi bisa memperluas wilayah aktivitas kelautan. Meski demikian, dia mengakui bahwa masih ada kekurangan yang mesti disempurnakan oleh MSC.

“Contohnya, kita di Maluku ini alat tangkapnya pole and line maupun handline. Itu alat tangkap yang sangat berwawasan lingkungan. Kita punya moto untuk alat tangkap pole and line adalah satu mata pancing, satu umpan dan satu ekor dapatnya,” jelasnya.

Dia mengatakan, Maluku memiliki 3 WPP, yakni WPP 714, 715 dan 718. Namun yang menjadi wilayah penangkapan ada di WPP 714 dan 715. Untuk WPP 714 semuanya telah sertifikasi, dan yang menjadi masalah ada di WPP 715, dimana lautnya belum disertifikasi.

“Karena itu kami harap agar MSC dan AP2HI kalau bisa segera disertifikasi, agar nelayan-nelayan kita yang ada di utara Pulau Seram bisa menikmati harga premium karena sudah sertifikasi MSC,” harapnya.

Dia mengatakan, dengan adanya sertifikasi, terdapat juga perbedaan harga antara yang sudah MSC dan yang belum, yaitu Rp10.000/kg. Karena itulah, pihaknya menginginkan agar nelayan di Utara Seram, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur juga bisa menikmati harga premium, seperti dengan yang lainnya.

“Karena di WPP 715 kita masih terkendala dengan belum sertifikasi MSC, maka sekitar 95 persen ekspor MSC, dan semuanya itu dari WPP 714. Nah sedangka dari WPP 715, kita hanya beli untuk penjualan lokal aja. Karena permintaan ekspor untuk non MSC belum ada. Karena itu dari AP2HI dan MSC bisa memperluas wilayah sertifikasi,” harapnya.

Menurutnya ada sekitar 1.500 nelayan, dan 60 persen ada di WPP 715. Kata dia, sudah sekitar 30 tahun beroperasi di Tulehu, Maluku Tengah, dan 2023 merupakan tahun-tahun yang paling sulit. Dimana hasil produksi menurun.

“Menurun karena ikannya berkurang dan juga tidak membeli ikan-ikan yang non MSC. Muda-mudahan di tahun 2014 ini bisa lebih baik lagi,” pungkasnya. (***)

Undang Investor Luar Negeri, Pemerintah Bakal Kembangkan Sentra Budidaya Tuna di Papua

 

 

Exit mobile version