Mongabay.co.id

Heboh Reklamasi Ilegal di Pulau Kecil Nguan Batam, Siapa Pelakunya?

 

Beberapa pohon mangrove terlihat menyembul keluar dari dalam tanah timbunan di pesisir Pulau Nguan, Kecamatan Galang Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Seolah-olah tumbuhan ini masih berharap untuk hidup setelah dihantam timbunan tanah.

“Yang jelas bakau kena (timbun), tempat kita berdiri ini adalah mangrove,” kata Ridwan warga di Pulau Nguan, Kecamatan Galang, Kota Batam kepada Mongabay, Senin (05/02/2024).

Setidaknya seperempat hektar pesisir di Pulau Nguan ini habis direklamasi. Tanah reklamasi berasal dari pemotongan bukit yang terjadi di pesisir pulau kemudian ditimbun ke arah pantai.

“Reklamasi sudah dimulai sejak tanggal 11 Januari 2024 lalu, setelah itu kami melaporkan kejadian ini kepada DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau),” kata Ridwan yang juga merupakan Kelompok Masyarakat Pengawas Perikanan (Pokmaswas) DKP Provinsi Kepri wilayah Galang Baru.

Ketua Pokmaswas DKP Kepri wilayah Galang Baru Bahari mengatakan, reklamasi menyebabkan konflik sosial di tengah masyarakat. Masyarakat terbelah, ada yang menerima relokasi, ada juga yang menolak.  “Tugas kami hanya melaporkan, apakah itu reklamasi dilakukan masyarakat atau milik perusahaan, itu yang tidak kami ketahui,” kata Bahari.

Tetapi, menurut sebagian warga alat berat yang dipakai untuk reklamasi ini adalah milik pengusaha pariwisata perusahaan KC. “Yang saya ketahui adalah yang punya alat berat pengusaha pariwisata di Galang Baru ini, apakah alat berat itu dipinjamkan kepada masyarakat, itu tidak tahu,” ucapnya.

Sejak dilaporkan kepada DKP pada pertengahan Januari 2024, kata Bahari, sampai saat ini belum ada titik terang kasus reklamasi tersebut. Namun, informasi terakhir dari DKP Kepri, reklamasi bisa dilakukan asalkan masyarakat bisa mengumpulkan tanda-tangan dukungan pembangunan tersebut. “Menurut kami tidak bisa seperti itu, ini kan dilakukan (reklamasi) dulu, dukungan (masyarakat) menyusul, seharusnya didukung dulu baru kerjakan (reklamasi),” katanya.

Bahari berharap, jika memang melanggar hukum, DKP bisa melakukan pengecekan lapangan dan menerapkan aturan yang ada, meskipun reklamasi didukung sebagian masyarakat.

baca : Reklamasi Bermasalah di Batam: Nelayan Kehilangan Ruang Laut, Beralih Kerja Serabutan

 

Bahari Pokmaswas Keluarga Galang Baru menunjukan hutan mangrove yang ditimbun di Pulau Nguan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, 5 Februari 2024. Foto : Yoga Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Saat dihubungi Senin, (12/02/2024), Kepala Cabang DKP Kepri untuk Batam Sahrul Amri membenarkan adanya tindakan menyalahi aturan pemotongan lahan dan reklamasi di Pulau Nguan. “Terkait reklamasi Pulau Nguan, kami sudah menerima laporan tersebut melalui pesan WhatsApp, kami juga langsung menelusuri laporan itu,” katanya.

Ia menjelaskan, saat turun kelapangan petugas DKP menemukan warga sudah berkumpul di lokasi reklamasi, termasuk aparatur desa mulai dari Ketua RT, Ketua RW dan juga Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).

“Sebelum kami menjelaskan maksud tujuan kami datang kesana, mereka langsung mengatakan kepada kami bahwa penimbunan itu  adalah kerja mereka (masyarakat), dan memang mereka punya rencana kedepan untuk mengembangkan desa,” ujarnya.

Namun, lanjutnya, pihaknya langsung menjelaskan kepada masyarakat dan bertanya terkait izin reklamasi yang dilakukan. “Kami menemukan terjadinya penyalahan aturan-aturan yang sudah ditetapkan, warga mengakui ketidaktahuan mereka soal aturan itu,” katanya.

Sahrul juga menjelaskan kepada warga soal aturan yang dilanggar sekaligus menyampaikan sosialisasi aturan-aturan soal tata ruang laut termasuk juga wilayah konservasi. “Karena kawasan yang ditimbun juga terdampak di kawasan konservasi,” katanya.

Setelah warga paham, kata Sahrul, pihaknya ketika itu langsung meminta kegiatan dihentikan. “Kami sampaikan, kalau memang ini pengembangan sarana desa, silakan warga secara resmi mengajukan izin reklamasi sesuai aturan yang berlaku, mulai aturan tingkat camat, walikota, dan provinsi, warga mengatakan akan melakukan hal itu,” katanya.

Terkait adanya laporan bahwa yang melakukan reklamasi bukanlah masyarakat desa, tetapi perusahaan pariwisata yang ada di Galang Baru, DKP tidak menemukan bukti tersebut. “Memang kita tidak dapat membuktikan (perusahaan itu), karena tidak ada plang pengerjaan di lokasi kejadian, yang ada hanya klaim masyarakat, bahwa itu dilakukan perusahaan bernama Kepri Coral,” katanya.

Sahrul juga mengaku sudah melakukan pemeriksaan ke PT Kepri Coral, tetapi hasil keterangan manajemen Kepri Coral tidak ada aset mereka di lokasi reklamasi. “Hasil wawancara warga alat berat itu mereka yang meminjam ke Kepri Coral, karena ingin buat lapangan bola,” katanya.

baca juga : KKP Gencar Stop Reklamasi Ilegal di Batam, Apakah Cukup Sanksi Administratif?

 

Reklalmasi di Pulau Nguan juga menimbun hutan mangrove. Foto : Yoga Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Karena ini bukan dilakukan perusahaan, tetapi oleh masyarakat, Sahrul mengatakan, pendekatan yang dilakukan adalah meminta masyarakat menyelesaikan masalah tersebut dengan musyawarah ditingkat desa. “Untuk luasannya kami tidak menghitungnya, pengakuan mereka (masyarakat yang melakukan reklamasi) hanya meninggikan lahan,” ujar Sahrul.

Sahrul mengatakan, memang sanksi paling ringan adalah memberhentikan paksa kegiatan seperti yang sudah dilakukannya, kemudian ada juga denda administratif. “Penentuan kesalahan itu setelah proses selanjutnya, bukan dikita tetapi juga ke PSDKP (Pangkalan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan),” katanya.

Saat dikonfirmasi, Ketua tim kerja intelijen dan pengawasan sumberdaya kelautan PSDKP Batam Anam mengatakan sudah turun ke Pulau Nguan. Pihaknya menegaskan, tindakan yang terjadi pulau tersebut belum termasuk reklamasi. “Itu masih daratan, jadi itu masuk ke dalam aturan pemotongan lahan yang terjadi di kawasan hutan, coba konfirmasi ke DLH (Dinas Lingkungan Hidup),” kata Anam, Kamis (14/03/2024).

Kabid Pengawasan dan Penindakan DLH Batam Ip akan melakukan pemeriksaan terjadi kejadian tersebut. “Nanti saya cek,” katanya, Kamis (14/03/2024).

 

Reklamasi Berdampak

Bahari dan beberapa masyarakat lainnya yang menolak reklamasi takut reklamasi seperti ini akan berdampak untuk masa depan nelayan nanti. Apalagi sebanyak 200 kepala keluarga di Pulau Nguan adalah berprofesi sebagai nelayan.

Meski saat ini belum berdampak, katanya, tetapi jika dibiarkan dampaknya pasti akan terjadi di masa yang akan datang. “Dampak (tanah akan mencemari laut) untuk sementara belum menyebar, ini akan menyebar luas kalau dibiarkan, karena berhasil dihentikan sebelum pekerjaan selesai makanya dampak tidak terlihat sekarang,” katanya.

Ridwan menambahkan, setiap reklamasi yang dilakukan di pesisir pulau pasti akan berdampak kepada laut itu sendiri. Seperti kelong-kelong nelayan di sekitaran reklamasi akan terdampak kalau pengerjaan terus dibiarkan.

Menurut Kepala Cabang DKP Provinsi Kepri untuk Batam Sahrul Amri, saat turun ke lokasi pihaknya tidak menemukan dampak reklamasi. “Kalau kami turun, justru kami tidak menemukan adanya dampak (reklamasi), memang laporan warga saat hujan tanah turun air laut keruh, tetapi saat kami turun cuaca sedang bagus, jadi kami tidak menemukan itu,” katanya.

Begitu juga dampak reklamasi kepada keramba atau aktivitas usaha masyarakat lainnya. Menurut Sahrul kawasan pesisir Pulau Nguan tidak ada budidaya perikanan. “Nelayan tangkap juga tidak ada karena itu (pesisir) dangkal, tidak ada aktivitas terdampak, tidak ada keramba terdekat yang terdampak,” tegasnya.

baca juga : Reklamasi Pesisir Batam, Luhut Ingatkan Pembangunan Jaga Lingkungan

 

Suasana perkampungan Pulau Nguan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Foto : Yoga Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sayangkan Pernyataan

Reklamasi Pulau Nguan ini juga menjadi perhatian NGO Akar Bhumi Indonesia. Mereka meminta pemerintah tidak membiarkan kerusakan pesisir terjadi meskipun dilakukan oleh masyarakat desa itu sendiri. “Apakah masyarakat boleh merusak dan pengusaha tidak boleh?,” kata Hendrik Hermawan Founder Akar Bhumi kepada Mongabay, Selasa (20/02/2024).

Menurut Hendrik, pernyataan Kepala Cabang DKP Provinsi Kepri untuk Batam Sahrul yang mengatakan bahwa aktivitas tersebut adalah inisiatif warga itu menyesatkan. Padahal hasil temuan Akar Bhumi di lapangan pelakunya adalah perusahaan PT Kepri Coral, sebuah perusahaan pariwisata besar di area Galang Baru.

“Dalih bahwa itu dilakukan oleh masyarakat itu biasa kami temukan dalam kasus-kasus serupa, dan itu seolah merendahkan nilai informasi yang kami peroleh,” tegasnya.

Hendrik melanjutkan, dugaan keterlibatan perusahaan pariwisata itu memang perlu dibuktikan. “Tetapi pertanyaannya, siapa yang disebut ‘masyarakat’? kalau memang RT dan RW yang melakukan, ya perlu ditelusuri lebih lanjut, siapa saja yang terlibat,” katanya.

Apalagi reklamasi ini bersinggungan dengan zona kawasan konservasi perairan. “Kalau memang masyarakat melakukan hal tersebut (reklamasi) tentu saja dugaan kami pasti ada ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’ dibalik ini,” katanya.

“Mestinya PSDKP segera memasang papan penyegelan. Selain izin prinsip, amdal dan izin usaha, patut dipertanyakan kepemilikan status lahan,” lanjutnya.

NGO Akar Bhumi juga mengeluarkan siaran pers terkait temuan reklamasi yang diduga ilegal di pesisir Pulau Nguan tersebut. Dalam siaran pers mereka, Akar Bhumi juga menemukan gesekan sosial di masyarakat Pulau Nguan karena ada yang pro dan kontra dengan reklamasi itu.

Reklamasi yang diduga ilegal ini akan dilaporkan Akar Bhumi kepada Dirjen PSDKP KKP agar kasus ini segera ditangani, selain itu juga dengan Dirjen PRL KKP. Akar Bhumi juga menyebut banyak dampak lingkungan yang akan terjadi jika reklamasi di pulau-pulau kecil tidak memperhatikan aturan yang ada, mulai dari dampak sedimentasi timbunan tanah, hingga ancaman abrasi ketika mangrove ditimbun. “Perlu partisipasi semua pihak demi mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, baik dan berkeadilan,” katanya.

 

Bantah Lakukan Reklamasi

Ketua RT 02 Pulau Nguan, Galang Baru Jumada Ali mengaku kegiatan tersebut dilakukan olehnya bersama warga. Namun pria yang akrab disapa Made menegaskan kegiatan itu bukanlah reklamasi.

“Itu tidak ada reklamasi, kami hanya melakukan pembersihan lahan saja, yang dulunya itu lapangan bola kaki,” katanya saat dihubungi Mongabay, Kamis (14/03/2024).

Tidak hanya mempercantik lapangan bola pembersihan lahan itu kata Made juga untuk membuat dermaga nelayan. “Rencana kami ingin bangun pelabuhan beton untuk masyarakat. Kalau itu salah di mata pemerintah, saya tidak tahu lagi mau gimana,” katanya.

Ia tidak membantah adanya mangrove yang ditimbun, penimbunan mangrove terjadi untuk pembangunan tempat dok kapal. Made juga mengakui tidak memiliki izin khusus untuk melakukan pembersihan tersebut.

“Tidak salahlah kita membangun kampung kita sendiri. Kelong nelayan pun tidak ada terganggu. Ini langkah kami membangun kampung untuk masyarakat masa akan datang,”

Namun Made memastikan, pembangunan ini akan tetap berlanjut dengan pihaknya dan masyarakat yang setuju untuk mengurus semua aturan yang ada. “Ini untuk kebaikan kita semua, kalau ada aturan kita akan ikuti aturan itu,” katanya. (***)

 

 

Nasib Pulau Batam, Pasir Dikeruk, Hutan Mangrove Dirusak

 

Exit mobile version