Mongabay.co.id

Asap Bakar Asa Petani Madu Ketapang

 

Saat petang tiba—sekitar pukul 3.00 sore, Marisa mulai sibuk menyiapkan tebauk, teronong, dan tali. Alat-alat ini menjadi bekal untuk anaknya, Muhammad Tayudi pergi muar. Muar adalah istilah yang digunakan masyarakat Desa Ulak Medang, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat sebagai proses memanen madu dari pohon lalao. 

Biasanye sore hari gian am, karena muar itu malam hari,“ ujar Marisa.

Pohon lalao adalah sebutan pohon tinggi, besar dan kokoh. Pohon lalao yang biasa dihinggapi lebah untuk bersarang adalah jenis rengas (Gluta renghas), cempedak air (Artocarpus maingayi), kayu ara, dan keranji (Dialium indum). Tinggi pohon ini mencapai 20 meter dan memiliki dahan lebar yang biasa dihinggapi lebah madu (Apis dorsata) untuk bersarang alami. Setiap pohon biasa memiliki lebih dari lima sarang lebah.

Tebauk terbuat dari akar jejawi (kayu ara) yang dikeringkan untuk membuat asap. Sedangkan teronong adalah wadah untuk membawa dan menurunkan madu dari pohon lalao. Bersama dengan Tayudi, perempuan 50 tahun ini membantu proses pasca panen madu hutan. Menyaring, memindahkan ke wadah bersih kemudian dijual. 

‘’Tak ade kesusahan gian bah, kami nyaring buang yang kotor-kotor,’’ katanya.

Madu alami ini sangat baik untuk kesehatan tubuh dan menjadi obat bagi anak saat flu, demam, atau batuk. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Madu merupakan hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi di Ketapang. Sekali panen, masyarakat bisa hasilkan 400 kg madu hutan. Harga tiap kilogram Rp200.000. 

Tradisi muar biasa diwariskan turun temurun. Sayangnya, kini regenerasi pemanen madu dengan tradisi ini kian menurun dan banyak dilakukan oleh orang-orang tua. Tayudi menjadi satu-satunya pemuda yang terlibat dalam proses muar. Tayudi bilang, tradisi muar memang memerlukan keberanian dan keterampilan. 

“Pemanen madu hutan menjadi bagian dari warisan keluarga,” kata pemuda 23 tahun ini.

Ayah Tayudi tak hanya mewariskan keterampilan memanjat, juga lima pohon lalao. Tahun 2023, hanya dua pohon panen yakni cempedak air dan rengas. 

Madu hutan menjadi produk penting tak hanya untuk Desa Ulak Medang, juga Ketapang. Permintaan madu pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2021, Pemerintah Ketapang memberikan perhatian khusus dalam pengembangan madu hutan di Desa Ulak Medang.

Baca juga: Istimewanya Madu Hutan Asli Danau Sentarum

Koloni atau sarang lebah madu yang bersarang di pohon lalao cempedak air. Pohon lalao adalah sebutan pohon tinggi, besar dan kokoh bagi masyarakat di Desa Ulak Medang, Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Winda Eka Putri/Mongabay Indonesia

Asap dan produktivitas madu turun

Potensi madu hutan di Ketapang cukup menjanjikan meski mengalami banyak tantangan. Tak hanya regenerasi, juga kebakaran hutan yang menyebabkan produktivitas madu turun. 

Tayudi mengatakan, sedikit banyak pohon panen madu hutan tergantung bunga mekar yang menjadi pakan lebah. “Kalau kembang banyak mekar, madu yang akan diperoleh juga semakin banyak,” katanya. 

Tahun 2022, dia bilang tak ada panen madu dari lima pohon lalaonya. Lebah, datang tidak menentu, kadang lima tahun sekali, dua tahun atau setahun sekali. 

Biasanya, dalam setahun ada dua kali musim panen, Desember hingga Januari, dan Juni. “Sejak tahun 2019, hasil panen menurun karena musim yang tidak menentu dan asap dari kebakaran hutan,” ujarnya.   

Baca juga: ‘The Power of Mama’: Perempuan Ketapang Lawan Kebakaran Hutan dan Lahan

Rudianto, pemanen madu juga mengatakan, karhutla tahun 2019 menjadi mimpi buruk baginya. “Puluhan hektar lahan habis, madu yang dipanen hanya kurang dari 20 kg,” kata lelaki 53 tahun ini.  Padahal, sebelumnya, dia bisa panen sampai ratusan kilogram.

Setahun setelah itu, kondisi cuaca lebih baik dengan ada La-Nina. Para petani pun mengalami panen raya dalam 2020. Sayangnya, pada 2021 kembali turun, panen hanya satu kali saja. 

Kondisi 2023 makin buruk. Fenomena El-Nino juga meningkatkan frekuensi kebakaran lahan di Kalimantan Barat, termasuk Ketapang. Berdasarkan data BPBD Kalbar 2021, 4.388 titik panas di Ketapang, tertinggi nomor dua di Kalimantan Barat. 

Kekeringan panjang memicu kebakaran hutan dan lahan, terutama lahan gambut, sangat mudah terbakar, seperti yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini. Foto: Sapariah Saturi

Pemerintah Kalimantan Barat  dalam rapat koordinasi Pengelolaan Bencana Asap di Kalbar melalui Gubernur Sutarmidji menyatakan, pada 2022, Ketapang merupakan tertinggi sebaran luas karhutla di Kalbar, seluas 4.573 hektar.

Hadisoesilo dan Kuntadi (2014) menyatakan, asap bisa menjadi faktor utama penurunan koloni lebah yang datang dan mendiami kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) serta sekitarnya. Terlihat saat karhutla di TNDS, terjadi penurunan produksi madu cukup signifikan, pada 2008/2009 hasil panen 16.5 ton menjadi 4,2 ton pada 2009/2010. Bahkan, pada 2010/2011 tidak ada panen.

Panas dan asap dari karhutla juga berdampak langsung pada lebah. Mereka alami kematian, cedera dan perpindahan. Dampak tak langsung selanjutnya, lanjutan bersifat tidak langsung, seperti perubahan kualitas habitat dan ketersediaan pakan.

Populasi lebah hutan liar sangat rentan pada asap dari karhutla yang dapat menyebabkan peningkatan stres, gangguan pernapasan, dan kerusakan struktur koloni. Hal ini khawatir menjadi salah satu penyebab kemusnahan lebah madu hutan. Muara dari hilangnya lebah hutan tentu akan mengancam keberlangsungan produksi madu hutan dari Desa Ulak Medang.

Ini yang dinamakan tikung atau sarang lebah buatan yang berada di kawasan Lupak Emang, Danau Sentarum. Foto: Hs Poetra

Baca juga: Dua Dekade Terakhir, Kalimantan Barat Kehilangan 1,25 Juta Hektar Hutan

Nilai ekonomi yang hilang

Muar menjadi tradisi pemanenan madu yang mendarah daging bagi Desa Ulak Medang. Kondisi cuaca dan pohon lalao menjadi faktor penentu nilai ekonomi dari hutan yang bisa masyarakat dapatkan. Akhmad Yani, peneliti dari Universitas Tanjungpura menyebutkan, pemanenan madu hutan tidak bisa bertahan jika hanya mengandalkan dari hutan, tanpa ada budidaya.

“Hutan yang rusak mengakibatkan penurunan produksi madu karena berkurangnya populasi lebah,” ujarnya saat ditemui Mongabay, (2/12/23).

Faktor-faktor produktivitas bergantung pada kondisi ekosistem. Kalau hutan masih utuh, tidak mengalami kerusakan, maka hasil madu bisa optimal. Berbeda kalau hutan sudah beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur tentu akan berdampak signifikan terhadap produksi madu. Saat produksi madu menurun, namun permintaan tetap, katanya, harga akan naik.

Faktor-faktor produktivitas madu bergantung pada kondisi ekosistem. Data: Hairunissa dan Winda Eka Putri.

Dia bilang, pengembangan usaha di wilayah ini masih belum maksimal sehingga membutuhkan dukungan peningkatan keterampilan, pengetahuan dan tradisi lokal.

Produksi madu hutan di Indonesia tahun 2022 capai 2,77 ton yang mana 1,79 ton berasal dari Kalimantan. Permintaan madu di Indonesia berkisar 3.000-4.000 ton per tahun namun kemampuan produksi hanya 1.000-2.000 ton per tahun. Sebagian besar produksinya masih bergantung dari alam. Dampak penurunan pasokan madu di pasar, sementara permintaan tetap tinggi, menimbulkan potensi risiko di masa depan. 

Muslim (2014) menyebutkan kerusakan hutan menyebabkan terganggunya habitat tempat lebah madu bersarang dan menghasilkan madu, yang pada gilirannya meningkatkan beredarnya madu palsu di pasaran. “Jadi meningkatnya harga madu tidak menguntungkan pemanen,” ungkap Akhmad Yani.

Hasil pemetaan partisipatif di Desa Ulak Medang yang difasilitasi Yayasan IAR Indonesia, hingga Februari 2018 terdapat 26 pohon lalao. Apabila hutan dalam keadaan baik dan seluruh pohon lalao dapat produksi madu, tentu akan memberikan nilai ekonomi hingga Rp780 juta setiap tahun bagi masyarakat.

Lahan bekas terbakar di Desa Ulak Medang yang dahulunya memiliki banyak pohon ubar. Pohon ubar ini merupakan sumber pakan lebah yang kini kian berkurang. Foto: Hairunnisa/ Mongabay Indonesia

Masyarakat desa Ulak Medang memang belum melakukan budidaya lebah. Pemanenan dari pohon lalao dengan tradisional berdasarkan pengetahuan lokal.

“Konsen kepada pengetahuan lokal untuk cukup menjamin keberadaan lebah di tahun depan,  lebah itu akan datang melalui pembungaan,” ujar Haryono, Direktur Yayasan Natural Kapital Indonesia kepada Mongabay.

Seringkali, pengetahuan tentang bunga dan periode pembungaan memungkinkan pemanen mempersiapkan kedatangan kawanan lebah madu dan setelah lebah menetap di suatu lokasi, mereka dapat memperkirakan waktu panen madu.

“Artinya, penting kesadaran itu harus ada, seperti apa kesadaran itu, misalnya, menjaga dari kebakaran, menjaga dari penerbangan liar,” lanjut Haryono.

Rudianto dan rekan-rekannya sudah menyadari pentingnya bunga pakan untuk keberhasilan madu mereka. 

“Kami pun sebetulnya dak mau gak am ada api, kalau ada api kembang tak jadi,” kata Rudianto.

Harus Jelas, Perda Usaha Berbasis Lahan Berkelanjutan di Kalimantan Barat


*Liputan ini merupakan hasil dari Pelatihan Menulis Orang Muda Into The Climate Stories: Fight For The Future yang didukung oleh IVLP Impact Award Project 2023 dan berkolaborasi dengan Mongabay Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah. Winda Eka Putri dan Hairunnisa, orang muda asal Kalimantan Barat yang merupakan founder dan relawan aktif di Keep Earth Borneo (KEB). KEB merupakan gerakan orang muda yang aktif mengampanyekan tentang perlindungan satwa liar dan perubahan iklim.

 

Exit mobile version