Mongabay.co.id

Masyarakat Adat Minim Perlindungan, Penetapan Hutan Adat pun Lamban

 

 

 

 

 

 

Masyarakat adat di nusantara ini masih hidup dalam was-was dan ketidakpastian. Hak-hak mereka termasuk soal penguasaan hutan maupun lahan masih minim pengakuan dan perlindungan. Kalau tidak sedang gundah menghadapi detik-detik ‘penggusuran,’ wilayah adat mereka– pemukiman, kebun, lahan pertanian maupun hutan adat–,  tiba-tiba menjadi konsesi perusahaan atau area proyek infrastrktur skala besar dan lain-lain. Pemerintah daerah maupun pusat seakan melihat sebelah mata kepada mereka yang berperan penting dalam menjaga hutan dan alam di negeri ini.

Kegundahan seperti dialami masyarakat adat di Pemaluan, yang menjadi kawasan Ibukota Negara Nusantara (IKN).Masyarakat dapat batas waktu dari Otoritas IKN untuk merobohkan rumah-rumah mereka.

Menurut Otoritas IKN, keberadaan mereka tak sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) IKN—yang baru saja ada—sedang masyarakat adat di Pamaluan ini sudah tinggal menetap turun menurun di wilayah itu.

Nestapa Masyarakat Adat Pamaluan ini hanya satu dari begitu banyak persoalan masyarakat adat di Indonesia. Sepanjang 2023, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat,  setidaknya ada 2.578.073 hektar wilayah adat terampas oleh negara dan korporasi.

Sebagian besar penguasaan wilayah adat disertai kekerasan dan kriminalisasi. Pada 2023, menyebabkan 247 orang korban, dan 204 orang luka-luka, 1 orang ditembak sampai tewas, sekitar 100 rumah warga adat hancur karena dianggap mendiami kawasan konservasi.

“Sejak negara ini merdeka, masyarakat ada itu terus berada di suatu situasi ketakutan karena ruang hidup mereka dirampas negara dan korporasi atas nama investasi dan konservasi,” kata Erasmus Cahyadi dari AMAN, pada konferensi pers Badan Registrasi Wilayah Adat, 19 Maret lalu.

Menurut catatan AMAN tahun 2023, perampasan wilayah adat oleh negara karena political will pemerintahan sangat rendah. Misal, penetapan Perppu Cipta Kerja jadi UU Cipta Kerja, KUHP, dan revisi UU IKN. Juga berbagai peraturan perundang-undangan bidang agraria dan sumber daya alam yang mengandung unsur-unsur “penyangkalan” kuat terhadap eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisional mereka.

 

 

 

 

 

Penetapan hutan adat lamban

Bahkan, masyarakat adat sudah punya peta partisipatif tetapi tak juga memperoleh kepastian hak dari negara. Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per 18 Maret 2024, terdapat 28,2 juta hektar dari 1.452 peta wilayah adat dari yang telah teregistrasi. Dari jumlah itu, hanya 13,8% atau 3.939.106 hektar ada penetapan dari pemerintah daerah.

Sedangkan pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini baru menetapkan hutan adat sebanyak 131 komunitas dengan total 244.195 hektar. Padahal, potensi hutan adat dari peta wilayah adat teregistrasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektar.

Kasmita Widodo, Kepala BRWA mengatakan, mengatakan, dari angka-angka itu, bisa terlihat kesenjangan sangat lebar antara capaian penetapan wilayah/hutan adat oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Padahal, sejak 2014, Presiden Joko Widodo menggadang-gadang mengalokasikan penguasaan lahan kepada rakyat seluas 12,7 juta hektar dan reforma agraria seluas 5 juta hektar. Data-data dari BRWA menunjukkan janji tinggal janji, masyarakat adat menanti bak pungguk merindukan bulan.

Kasmita bilang, KLHK harus segera melakukan upaya percepatan verifikasi hutan adat yang sudah diusulkan.

“Sebenarnya,  sudah cukup banyak data-data usulan hutan adat masuk ke KLHK, namun belum cepat ditindaklanjuti untuk proses verifikasi hutan adat di daerah,” kata Kasmita.

Dia mengatakan, kerja-kerja advokasi masyarakat adat mendapatkan wilayah adat sangat kuat di lapangan.  BRWA pun secara signifikan menaikkan status kelengkapan data wilayah adat dari tercatat menjadi registrasi.

Di level pemerintah daerah, katanya, penetapan sekitar 3 jutaan hektar itu menunjukkan, kemauan politik, program kerja, dan anggaran untuk menyelenggarakan proses rekognisi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat ini belum cukup signifikan. Ada 934 wilayah adat seluas 21 juta hektar berada di kabupaten yang sudah ada peraturan daerah (perda).

Namun, kata Kasmita, perda itu hanya tata cara bagaimana mengakui masyarakat adat, belum ada penetapan. Untuk penetapan itu, katanya,  harus ada verifikasi dari panitia hukum adat yang harus dibentuk di setiap pemerintah daerah.

 

Orang Tobelo pesisir maupun Tobelo Dalam, protes hutan rusak karena tambang nikel, September 2022. Foto: Christ belseran/ Mongabay Indonesia

 

Meski begitu, katanya, panitia hukum adat harus mengetahui cara verifikasi wilayah adat dan semua itu perlu anggaran cukup besar. Sedangkan, pemerintah daerah , kabupaten dan provinsi mengalokasikan anggaran kecil untuk penyelenggaraan pengakuan wilayah adat.

Kasmita bilang, kondisi itu memicu kesenjangan besar antara wilayah adat yang pengaturan sudah ditetapkan. Terlebih lagi, banyak wilayah adat tumpeng tindih dengan kawasan hutan serta perizinan industri kehutanan, pertambangan, hingga perkebunan.

Pemerintah daerah pun enggan ini masuk ke ruang itu, karena bisa menimbulkan persoalan buat mereka. Menurut Kasmita, perlu upaya-upaya lebih kuat lagi dari pemerintah daerah untuk melakukan proses-proses verifikasi masyarakat adat dan wilayah adatnya.

“Jadi,  ada hambatan anggaran ada hambatan kemauan politik dari kepala daerah dengan perangkatnya yang kurang. Tak heran, masyarakat adat setiap daerah kerap mengalami konflik agraria,” katanya.

Erasmus mengatakan, masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil sudah terus menerus menuntut pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Namun, aksi pemerintah lamban hingga capaian sangat kecil.

Sebaliknya, wilayah adat itu justru dibikin parsial berdasarkan sektor masing-masing kementerian yang oleh hukum diberi wewenang untuk mengatur sumber daya alam.

Jalan pun makin rumit dan panjang hingga menyebabkan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat menjadi makin terjal. Tak pelak, wilayah-wilayah adat dengan mudah mudah terampas dan selalu berakhir pada kekerasan maupun kriminalisasi terhadap mereka.

Untuk itu, katanya, Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sangat penting.  Sayangnya, sudah belasan tahun sejak rencana UU ini pada 2010, hingga kini belum ada kejelasan.

 

 

 

 

 

UU Masyarakat Adat?

Akibatnya,  tidak ada kelembagaan dan program di tingkat nasional yang dapat menggerakkan seluruh proses perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di nusantara ini.

Karena lambatnya proses RUU Masyarakat Adat, pada Oktober lalu, AMAN dan komunitas adat mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Mereka menggugat DPR dan presiden karena pengesahan RUU Masyarakat Adat, tak kunjung tiba.

Sebaliknya, kata Erasmus, pemerintah justru mengeluarkan berbagai Undang-undang melegitimasi perampasan wilayah adat dan kekayaan di dalamnya. Masyarakat adat pun kehilangan ruang mereka.

Hampir 80 tahun Indonesia merdeka, perlindungan terhadap masyarakat adat masih jauh dari asa. Dari masa ke  masa pemerintahan, hak-hak masyarakat adat terus terampas. Laporan Walhi dan Auriga Nusantara pada 2022 berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi” memperlihatkan itu.

Dalam laporan itu menemukan bagaimana industri ekstraktif mendapat ruang seluas-luasnya menguasai wilayah Indonesia dengan berbagai bisnis mereka yang turut merusak lingkungan, merampas lahan masyarakat, memicu konflik agraria, memperparah kondisi bumi hingga memicu krisis iklim.

Saat Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun, ada sekitar 78 juta hektar hutan dan lahan diberikan kepada korporasi, terutama setelah terbit UU  Penanaman Modal Asing pada 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968. Pemberian penguasaan hutan dan lahan itu berupa izin kehutanan, sawit, maupun tambang.

Pada zaman Habibie, Gus Dur, dan Megawati yang berkuasa 2-3 tahun memberikan penguasaan lahan dengan total 6 juta hektar kepada korporasi.

Pada rezim Megawati, ada 13 korporasi dapat izin menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 hektar–dari luas izin 6.257.640.49 hektar—dengan terbit Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 1/2004 atas Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.

Selain itu, zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama 10 tahun berkuasa paling banyak menyerahkan penguasaan hutan seluas 55 juta hektar kepada korporasi, pasca reformasi.

Era Joko Widodo,  sejak 2014, menyerahkan hutan dan lahan ke korporasi sampai 8 juta hektar. Bagi-bagi hutan dan lahan ini diprediksi lebih masif setelah pengesahan UU Cipta Kerja.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, masyarakat adat sedang dalam kondisi kritis karena imbas kegagalan presiden dan DPR memenuhi mandat konstitusi melindungi dan memajukan hak-hak mereka.

Dari catatan AMAN, dalam 10 tahun terakhir terjadi perampasan 8,5 juta hektar wilayah adat dan 678 orang adat mengalami kriminalisasi dan kekerasan.

“Saat ini, kita berhadap-hadapan dengan seperangkat Undang-undang dan kebijakan untuk memberikan karpet merah bagi perusahaan untuk merampas wilayah adat kita. Ini kerugian besar buat masyarakat adat,” kata Rukka dikutip dari website AMAN.

 

Masyarakat adat di Kaluppini Kabupaten Enrekang menjaga hutan melalui kearifan dan tradisi yang ada. Sayangnya, d Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, termasuk terhadap hutan masih begitu minim. Foto; Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Data BRWA menunjukkan, dari analisis tutupan hutan pada 1.425 wilayah adat, ada sekitar 6,4 juta hektar berada di wilayah izin konsesi. Izin-izin itu terdiri dari HPH, HTI, izin usaha pertambangan (IUP), dan hak guna usaha (HGU).

Kasmita bilang, alih-alih menegaskan wilayah adat, justru pemerintah akan menerbitkan hak pengelolaan di atas tanah ulayat seperti diatur dalam PP Nomor 18/2021. Keadaan ini, katanya, memperlihatkan negara menerjemahkan hak menguasai negara secara eksesif. Terlebih lagi, Pemerintah Indonesia belum membuat atau menyiapkan satu infrastruktur pendaftaran wilayah adat.

Padahal, kata Kasmita, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 telah menyatakan,  hak menguasai negara dibatasi hak ulayat. Kebijakan negara menerbitkan hak pengelolaan di atas wilayah adat justru berpotensi menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka yang sudah turun-temurun. Ia juga menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang diatur di dalam konstitusi.

Kasmita bilang, masyarakat adat memiliki relasi kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidup. Mereka juga menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan tersisa, pemulihan degradasi hutan dari kepentingan bisnis, menekan laju perubahan iklim hingga penyelamatan keanekaragaman hayati.

“Ironisnya, hubungan masyarakat adat dengan hutan dan tanah leluhur coba diputuskan dengan kepentingan investasi. Ini akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya dan jati diri bangsa Indonesia,” kata Kasmita.

Ancaman terhadap masyarakat adat dan wilayahnya berisiko akan terus berlangsung di masa transisi pemerintahan maupun pada masa pemerintahan mendatang. Ketiadaan UU Masyarakat Adat, masifnya investasi, dan proyek strategis nasional (PSN) menjadi kombinasi sempurna penyingkiran masyarakat adat atas ruang hidupnya.

“Pemerintah pusat dan daerah perlu segera melakukan terobosan dan kemudahan bagi masyarakat adat melakukan pengakuan hak-hak mereka,” kata Kasmita.

 

 

 

******

 

RUU Masyarakat Adat Tak Ada Kejelasan, AMAN Gugat Presiden dan DPR

Exit mobile version