Mongabay.co.id

Menekan Laju Ancaman Penyebaran Polusi Plastik di Pesisir Pantai Indonesia

 

Kotornya kondisi bibir pantai Kharisma di pesisir Desa Margarigi, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, Banten yang dijejali sampah-sampah masih tergambar jelas di benak Akia Kevin (25).

Walaupun ia tidak tinggal di wilayah tersebut. Namun, mendapati realitas pesisir pantai yang menjadi salah satu habitat bagi jenis burung-burung air yang kondisinya rusak itu membuat dia tidak mudah melupakan.

Padahal, sebelum mengikuti pengamatan ia selalu membayangkan bila habitat jenis burung air baik penetap maupun migran suasananya itu nyaman, bersih dan tidak ada gangguan. Terlebih, sependek pengetahuannya burung merupakan makhluk yang sensitif terhadap kondisi lingkungan yang tidak bagus.

“Yang membuat saya sedih lagi itu sampah plastik ini ukurannya lebih besar dari burung yang kami amati, sehingga sangat mengganggu sekali,” ujarnya kesal, Rabu (20/03/2024).

Lebih-lebih, lanjut pria yang sehari-hari bekerja di salah satu perusahaan konsultan kebijakan publik dan hubungan pemerintah di Jakarta ini, warna sampah plastik ada yang cenderung menyolok mata dan kontras dengan pasir ataupun lumpur.

Begitupun sebaliknya, plastik yang usianya jauh lebih lama dan tak kunjung terurai warnanya bisa hampir sama dengan pasir dan lumpur. Selain itu, akibat banyaknya sampah plastik ia merasa kesulitan dalam menavigasi medan.

Baca : Sampah Alat Peraga Kampanye Pemilu, Bagaimana Penanganannya?

 

Seorang fotografer memotret jenis burung air diantara tumpukan sampah plastik di pesisir Desa Margarigi, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, Banten. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Penasaran dengan realitas tersebut, pria ini kemudian tertarik melihat lebih jauh bagaimana sampah plastik tersebut berdampak pada kesehatan bahkan kematian hewan ovipar berdarah panas itu lewat mesin pencarian internet.

“Dari situ saya memahami bahwa sampah plastik itu dampaknya sangat negatif ke kehidupan burung. Seringkali burung salah mengira bahwa sampah plastik itu makanan mereka. Dan bahkan banyak artikel yang saya baca di badan-badan burung yang mati itu terdapat banyak sekali sampah,” katanya.

Menyadari buruknya realitas yang ia temui dan baca itu, Akia mengaku akan lebih bijak dalam mengelola sampah yang dihasilkan sendiri.

 

Menjadikan Kotor dan Berbau

Apa yang dijumpai Akia adalah salah satu potret bagaimana buruknya kondisi pesisir pantai yang ada di Indonesia. Kehadiran sampah plastik yang mencemari kawasan pesisir tak hanya menjadi ancaman bagi burung, namun juga menyebabkan visual menjadi kotor dan berbau.

Dilain sisi, adanya sampah yang mencemari pesisir juga bisa mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi melalui wisata pantai di lokasi tersebut.

Ahmad Bahri Rambe, Koordinator Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut ketika ditemui dalam kegiatan Kampanye Resik (Redefining Solutions on Plastic Poluttion Towards Integrated Policy and Knowlege) belum lama ini mengatakan, berdasarkan perhitungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terdapat 615.674 ton sampah plastik yang bocor ke laut Indonesia.

Dalam lima tahun terakhir, lanjut Bahri, jumlahnya mencapai 398.000 ton pada tahun 2022. Jumlah tersebut menurun 35,36 persen.

Menurut Bahri meski kebocoran sampah ke laut mengalami penurunan, namun tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah masih banyak. “Salah satunya yaitu minimnya lembaga pengawasan dan pendukung di daerah. Tapi sejauh ini kami akan terus melakukan upaya-upaya mengelola sampah menjadi lebih baik,” ujarnya.

Baca juga : Kedai Kopi Menjamur, Sampah Plastik Makin Menumpuk di Yogyakarta

 

Sejumlah jenis burung air hinggap di ranting kayu yang dililiti sampah plastik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Mengacu pada Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022 untuk volume timbulan sampah di Indonesia mencapai 19,45 ton.

Angka itu disebut menurun 37,52 persen dari 2021 yang sebanyak 31,13 juta ton. Sampah plastik di urutan kedua setelah sampah makanan yaitu sebesar 18,55 persen. Sedangkan lazimnya timbulan sampah nasional berupa makanan sebesar 41,55 persen.

Dari timbulan sampah itu, data KLHK mencatat, baru 2,85 persen sampah plastik di laut Indonesia yang bisa dikurangi pada 2018-2021. Di samping itu, capaian pengurangan sampah plastik di laut pada 2022 meningkat menjadi 35,5 persen.

Sementara berdasarkan perhitungan sampah plastik oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, terdapat 615.674 ton sampah plastik di laut pada 2018.

 

Masalah Antar Negara

Kondisi pesisir pantai negara yang memiliki panjang garis pantai mencapai 81.290 km ini sedang tidak baik-baik saja. Selain terancam oleh krisis iklim dan beban pembangunan, kondisi pesisir pantai Indonesia semakin rentan terhadap ancaman penyebaran polusi plastik dari daratan.

Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK menilai, permasalahan sampah plastik yang mencemari pesisir dan laut ini selain sudah menjelma persoalan antar daerah juga menjadi permasalahan antar negara.

Untuk itu, dalam penanganannya harus dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan berbagai pihak baik itu akademisi, swasta pemerintah maupun lembaga di luar pemerintah.

“Memperkuat kolaborasi dan kerjasama dengan berbagai rekanan dalam negri maupun internasional untuk mendorong pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir yang lebih berkelanjutan itu sangat penting,” kata dia.

Baca juga : Cerita Setyarti, Penggerak Sedekah Sampah dari Bali

 

Petugas kebersihan membersihkan sampah yang mencemari pesisir Jakarta. Permasalahan sampah selain sudah menjadi masalah antar daerah juga menjadi permasalahan global. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sejauh ini, lanjutnya, kebijakan untuk menekan laju ancaman polusi sampah plastik sudah banyak dibuat. Gerakan kepedulian masyarakat terhadap sampah juga dinilai cukup baik. Termasuk juga adanya komitmen para produsen.

Selain itu berbagai industri hilir recycling berskala rumah tangga juga mulai bermunculan di berbagai daerah. Pihaknya juga telah mendorong konsep pengelolaan sampah plastik melalui ekonomi sirkular.

“Pemerintah memiliki kebijakan extended producer responsibility atau memperluas tanggung jawab produsen dalam mengurangi persoalan sampah yang berasal dari produk atau packaging-nya,” tuturnya.

Dengan berbagai upaya yang ada itu Novrizal berharap bisa target pengurangan produksi sampah plastik di laut sebesar 70% persen pada tahun 2025 mendatang atau tersisa satu tahun lagi bisa tercapai. Target yang ditetapkan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

Sementara itu, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI saat dihubungi Kamis (21/03/2024) menilai adanya regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah masih belum cukup menuntut pertanggungjawaban korporasi sebagai bagian penting dari rencana aksinya.

Padahal, berdasarkan brand audit sampah plastik yang pernah dilakukan oleh pihaknya, terdapat tiga perusahaan besar yang menjadi penyumbang terbanyak, diantaranya Unilever, Indofood dan Mayora. Kajian ini dilakukan pada bulan Juni 2022 di 11 titik pantai yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia.

“Meskipun belum mempunyai undang-undang khusus, seharusnya sampah plastik ini dimasukkan ke dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun. Sebab, selain mencemari laut juga menjadi ancaman yang nyata bagi makhluk hidup,” tandasnya. (***)

 

 

Sensus BRUIN 2023, Sampah Plastik Persoalan Utama di Indonesia

 

 

Exit mobile version